Perempuan Berhak Menentukan

First slide

22 Juli 2020

Oleh: Siti Nur Anisa

AISYAH r.a. pernah bercerita tentang perempuan muda bernama Khansa binti Khidam Al-Anshoriyah. “Ayahku telah mengawinkan aku dengan anak saudaranya. Ia berharap dengan menikahi aku kelakuan buruknya bisa hilang. aku sendiri sebenarnya tidak menyukainya.”

Kemudian Khansa dipersilahkan duduk untuk menunggu Rasulullah datang. Begitu Rasul datang, Khansa pun bercerita akan hal itu. Kemudian Rasulullah SAW langsung memanggil ayahnya Khansa, dan menyuruh ayahnya untuk memberikan hak perjodohan itu pada anaknya (Khansa).

Cerita tersebut aku temukan dalam bagian di buku Fiqh Perempuan. Buku ini ditulis dengan begitu detil dan menjelaskan kenyataan yang sering terjadi tapi jarang dibicarakan, bahwa perempuan juga berhak menentukan sendiri nasibnya.

Khansa hanya ingin menunjukkan pada perempuan lain, bahwa dia juga punya dan bahkan berhak memilih calon suami berdasarkan kehendaknya sendiri, walaupun Khansa akan menuruti apa yang dikendaki ayahnya.

Mungkin selama ini kebanyakan orang berpandangan bahwa Ayah adalah penentu yang baik untuk kehidupan anaknya, karena Ayah lebih tahu dari anaknya. Tapi kan mana Ayah tahu isi hati dan tipe suami yang diidamkan anaknya? Dan mana Ayah tahu kehidupan anaknya akan lebih baik jika si anak menikah dengan si “A” atau si “B” misalnya. Mana Ayah tahu? Lah kan yang menjalani hidup berumah tangga untuk anaknya kan si anak sendiri, bukan Ayah atau Ibu, apalagi orang lain.

Mungkin iya perlu pendapat dari Ayah atau Ibu mengenai penilaian untuk si calon anaknya, tapi hak untuk menentukan pendamping dalam hidupnya adalah anak itu sendiri. Ayah dan Ibu hanya boleh berkomentar, tidak untuk memaksakan anaknya untuk menikah dengan si “A” atau si “B”.

Apalagi sebuah keputusan penting itu pastinya butuh keberanian dan keputusan yang tepat. Maksud saya di sini yaitu, perempuan memang harus berani untuk bersuara, memberikan pendapat apalagi terkait pasangan hidupnya nanti di masa yang akan datang. Jangan hanya iya, he em, manut dan manggut-manggut saja.

Saya jadi teringat dengan kejadian yang dialami salah seorang sahabat, setahun yang lalu. Dia sangat terpuruk, bangkit pun rasanya sulit. Tiada siapa pun di sisinya, mungkin hanya ada kontak sahabatnya di hp yang dia punya.

Kemudian beberapa saat dia mulai bercerita kepada saya akan masalahnya. Dia sudah terlanjur bertunangan dengan seorang pemuda asal Indramayu yang ternyata dia sendiri belum siap untuk hubungan tersebut. Awalnya dia diam ketika aku menanyakan bagaimana kabarnya? Senangkah? Dan bagaimana perasaannya ketika hari yang direncanakan terlaksana?

Tapi dia tidak menjawab pertanyaanku dengan sumringah. Dia diam, dan hanya menjawab, “saya tidak tahu.” “Lho …,” jawabku kemudian.

Wah saya di sini sudah punya perasaan yang aneh dan sangat tidak menyenangkan. Coba saja pikir, bagaimana mungkin ketika seorang bertunangan dengan lelaki/perempuan pilihannya sendiri dan pada waktu yang telah disepakatinya lalu dia sedih. Tampak murung wajahnya.

Sesekali aku mendesak untuk menanyakan ada apakah gerangan sebenarnya yang terjadii? Dia pun perlahan menceritakan bagaimana dengan rasa yang sebenarnya dia rasakan.

Dia bercerita bahwa sebenarnya dia tidak siap untuk melangkahkan hidupnya ke jenjang pernikahan saat ini. Memang usianya sudah terbilang dewasa, 23 tahun. Tapi apalah gunanya pernikahan jika belum siap menjalani kehidupan dalam ikatan pernikahan. Sedangkan dia masih punya impian dalam hidupnya. Cita-cita yang ingin dia capai sebelum menikah.

Saya sebagai sahabat hanya memberi saran solusi dan semangat. Selebihnya dia sendiri yang harus tegas pada masalah yang sedang mendera hidupnya.

Pada akhirnya dia pun berani mengambil tindakan untuk tidak melanjutkan ke jenjang pernikahan, dia berani memutuskan pertungan yang sudah terjadi. Awalnya keluarga sangat kaget, tetapi ketika dia menjelaskan perihal alasannya. Keluarga pun menerima alasan tersebut. Meski sebenarnya mereka tetap kecewa. Hingga kini, keluarganya masih menginginkan dia untuk segera menikah.

Tapi ada pelajaran yang bisa kita petik, bahwa kejujuran dan keberanian perlu diungkapkan. Jangan takut untuk bicara tentang apa yang kita inginkan. Dalam sebuah pernikahan bukan hanya usia yang matang, akan tetapi perlu juga kesiapan mental. Biasanya ketika pada awalnya ada kehendak yang dipaksakan, kehidupan selanjutnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.[]

Share to :