Oleh: Asih Widiyowati
SEKSUALITAS acap kali masih dianggap barang tabu dan tak pantas untuk kita diskusikan. Padahal saban kali kita melihat berita, baik di medsos ataupun televisi, ada saja kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak. Mau sampai kapan kita diam melihat begitu banyak korban kekerasan seksual terjadi?
Pelecehan seksualitas bisa dialami siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur, pendidikan, agama, etnis, latar belakang maupun status sosial. Meskipun sampai saat ini korban terbanyak adalah perempuan dan anak.
Dalam catatan tahunan 2019, Komnas Perempuan mengungkapkan ada 3.915 kasus pelecehan seksual di ranah publik atau masyarakat. 64% kekerasan terhadap wanita di Ranah Publik atau Komunitas itu adalah Kekerasan Seksual yaitu Pencabulan (1.136), Perkosaan (762) dan Pelecehan Seksual (394). Sementara itu persetubuhan sebanyak 156 kasus.
Sayangnya dari banyaknya data pelecehan seksual yang dialami perempuan, sedikit perempuan yang berani melapor ke aparat hukum. Kebanyakan mereka diam dan memendam sendiri kasus tesebut sebagai pengalaman yang buruk.
Seperti yang diungkapkan Ibu Aisyah (bukan nama sebenarnya), peserta pendidikan Publik “Stop Kekerasan seksual” diadakan di Fatayat PAC Gempol 13 maret 2020 dalam rangkaian Internastional Women Day (IWD) bersama Jaringan Cirebon untuk Kemanusian.
Beliau merasa takut saat ada tetangga yang menjadi korban pemerkosaan. Untuk mendekati si korban nanti dianggap melindungi, karena masyarakat menganggap bahwa si korban adalah perempuan yang centil dan suka memakai baju mini.
Anggapan inilah sebenarnya yang membuat si korban semakin tersudut dan rapuh karena tak ada ruang aman untuk dirinya memulihkan trauma dan luka.
Perlu kita cermati dari berbagai kasus dan berita terkadang korban kerap kalih yang disalahkan atau stigma. Itu yang membuat saya bingung dan sedih, kok bisa orang sudah jadi korban kekerasan seksual malah disalakan?
Dalam Mengupas Seksualitas, Musdah Mulia menyebutkan setidaknya ada empat alasan yang menyebabkan perempuan korban kekerasan seksual enggan melaporkan.
Pertama, korban bukanya dilindungi tapi malah dipublikasikan. Ini kadang membuat si kobran tidak nyaman dan dampak trauma dari apa yang dialami karena pemberitaan yang dilakukan oleh media yang kadang menyudutkan.
Kedua, dominasi nilai-nilai patriarki, biasanya korban dilaporkan balik oleh si pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Ketiga, tidak siap menghadapi proses hukum yang lama. Faktor ini kadang yang membuat si korban enggan melaporkan karena proses hukum di Indonesia biasanya berjalan lama.
Keempat, belum adanya undang-undang pelecehan seksual yang spesifik. Sistem hukum yang berlaku sekarang, baik dari segi subtansi, aparat penegak hukum, maupun budaya hukum masyarakat, masih kurang repsonsif terhadap kepentingan perempuan, terutama dalam kasus-kasus kekerasan seksual.
Tidak bisa kita pungkiri anggapan /stigma itu begitu melekat di alam bawah sadar masyarakat kita. Konstruksi sosial mengenai relasi seksual masih sangat didominasi ideologi dan sistem patriaki yang bersifat paternalistik. Hal ini membuat laki-laki menguasai dan mengontrol kehidupan perempuan dalam urusan seksualitas.
Akibatnya, kasus-kasus perkawinan paksa, perkawinan anak-anak, pemerkosaan, trafiking (perdagang perempuan), prostitusi, poligami, perceraian semakin merebak dan banyak saja.
Butuh kesadaran kemanusian dan kerjasama bersama semua stekeholder untuk mengurai persoalan kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak-anak.
Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual juga jangan ditunda-tunda lagi untuk melindungi korban. Karena tak ada satupun yang tak rentan mengalami kekerasan seksual tanpa terkecuali.
Semoga kita semua mau menjadi ruang aman dan pendengar yang baik bagi para korban kekerasan seksual untuk tetap semangat menata kehidupannya dengan bahagia tanpa luka.[]