Sekolah Sudhamala tahun 2023 digelar dalam dua gelombang, Angkatan Pertama pada Juni-Juli dan Angkatan Kedua pada Agustus-Oktober. Kegiatan sekolah ini secara resmi berakhir pada Minggu, 15 Oktober 2023 kemarin. Ada beberapa catatan penting yang patut untuk digarisbawahi dari penyelenggaraannya, sebagai berikut:
1. Prinsip
Sekolah Sudhamala mempunyai dua prinsip: Islam rahmatan lil ‘alamin dan kearifan lokal. Islam rahmatan lil ‘alamin dalam pemahaman kami adalah Islam yang menghormati perbedaan latar belakang, pengalaman-pengalaman, cerita-cerita, dan keyakinan-keyakinan setiap orang. Hal ini bersumber pada semangat tauhid di mana tidak adalah yang lebih tinggi dari Allah swt. sehingga setiap manusia pada hakikatnya adalah setara, semuanya dianugerahi dengan kasih.
Sedangkan kearifan lokal yang kami maksudkan dan gunakan dalam pelaksanaan Sekolah Sudhamala diantaranya adalah kemauan untuk mendengarkan. Mendengarkan adalah salah satu kebijaksanaan untuk memahami orang lain. Mendengarkan membantu kita untuk bisa memahami apa yang dirasakan orang lain dengan empati.
Mendengarkan juga berarti kita memahami, mengakui, dan menghormati pemikiran atau laku dari setiap orang meskipun berbeda.
Selain itu, kami juga tidak lupa untuk selalu mengaitkan pembicaraan kita tentang seksualitas, kekerasan seksual, dan trauma dengan sejarah dan kebudayaan Nusantara. Misalkan mengaitkan seksualitas dan standar moral dengan relief-relief seksualitas di Candi Sukuh, mengenalkan cerita-cerita kuno Nusantara tentang seksualitas (contoh: Cerita Sudhamala) dan pemikiran-pemikiran yang menunjang untuk memahami dan mengurai realitas.
Kearifan yang kami maksud dalam praktiknya juga dilakukan dengan mengajak peserta untuk menyadari dan mempraktikkan bagaimana kita terhubung dengan alam semesta. Bagaimana bagian-bagian dari diri, baik tubuh fisik, mental, maupun spiritual, tidak bisa dipisahkan dari lingkungan. Itulah mengapa penyelenggaraan Sekolah Sudhamala, dalam beberapa pertemuannya, berada di tengah alam.
Kedua prinsip itulah yang meskipun tidak ada di dalam materi, akan tetapi menjadi pemandu bagi jalannya pembelajaran dan pembicaraan di Sekolah Sudhamala. Digunakannya kedua prinsip itu juga untuk memandu segala pembicaraan di dalam kegiatan ini untuk menopang cita-cita menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan mewujudkan keadilan.
2. Ruang Aman
Dalam sekolah ini, semua orang yang terlibat dalam kegiatan bersepakat untuk menegakkan prinsip-prinsip:
- Semua orang di dalam forum memiliki kedudukan yang setara, yakni peserta, narasumber, fasilitator, dan penyelenggara. Semua bisa berpendapat sesuai dengan opininya masing-masing.
- Setiap orang bisa bercerita atau berpendapat apapun dengan aman dan nyaman tanpa takut dianggap aneh, dikucilkan, diasingkan, dicibir, disalahkan, dan sebagainya.
- Setiap orang tidak membicarakan cerita sensitif yang berasal dari orang lain ke luar forum. Jika ingin menceritakannya sebagai pembelajaran untuk orang lain, tidak boleh menyebutkan nama, identitas, dan apapun yang merujuk pada subjek pencerita.
- Semua orang saling menghargai pendapat orang lain dan tidak memotong pembicaraan orang lain.
Prinsip-prinsip ini memunculkan rasa percaya di dalam forum sehingga kemudian Sekolah Sudhamala menjadi ruang aman bagi semuanya. Dalam testimoni para peserta terlihat bagaimana mereka merasa Sudhmala sebagai ruang aman bagi mereka untuk bercerita apapun. Mereka pun merasa bisa berpendapat dan menjadi diri sendiri tanpa merasa dihakimi dan merasa salah.
Suasana yang dibangun di dalam kegiatan ini pun sangat santai, ringan, dan kekeluargaan. Pelaksanaannya pada setiap Sabtu, hanya dalam sekali selama seminggu, juga membantu mereka merasa tidak terbebani secara waktu. Rentang waktu itu memberikan mereka jeda dan mendialogkan materi sekolah dengan realitas keseharian.
3. Menggugah Kesadaran
Sekolah Sudhamala berusaha agar seksualitas dan kekerasan seksual tidak dipahami hanya sebagai pengetahuan melainkan sebagai sebuah kesadaran. Perbedaan mengetahui dan menyadari ini sesuai dengan pembelajaran yang kami dapatkan dari “raos mardika” atau rasa bebas yang diajarakan Ki Ageng Suryamentaram.
Menurut beliau, rasa bebas di dalam diri itu muncul saat tidak ada lagi pertentangan di dalam diri. Dalam pemahaman kami, pertentangan di dalam diri terjadi saat masih ada paradoks antara pengetahuan dan pengalaman. Nah, dalam memahami kekerasan seksual dan seksualitas, pertentangan ini muncul saat ada perbedaan antara teori (pengetahuan) tentang itu dengan praksis (pengalaman) diri maupun masyarakat.
Di dalam Sekolah ini, prinsip-prinsip, materi-materi (contoh: interseksionalitas, sungai kehidupan, trauma, refleksi, dan sebagainya), metode belajar (contoh: kekeluargaan, santai, dan sebagainya), tempat dan waktu belajar (contoh: tempat bisa di kantor, melalui zoom, dan di tengah alam; waktunya tidak berurutan dalam beberapa hari), serta suasana (saling menghormati dan mendengarkan satu sama lain) di dalam Sekolah mendorong para peserta untuk menyadari kekerasan seksual dan seksualitas tidak terlepas dari dirinya, alur kehidupannya, konflik batinnya, hingga ia ada dalam lingkup diri, keluarga, dan masyarakatnya.
Ketidaklepasan seksualitas dengan diri mendorong individu untuk mempunyai tanggung jawab atas setiap kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya.
Jadi, kesadaran yang kami maksud di sini persis sama dengan “raos mardika” itu, di mana tidak ada lagi pertentangan antara kekerasan seksual dan seksualitas secara teoritik dengan pengalaman mereka tentang itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga tidak berlebihan jika kami kemudian meyakini bahwa Sekolah Sudhamala bisa menggugah kesadaran para peserta.
4. Ramah bagi Semua
Dari amatan kami, pembelajaran di Sekolah Sudhamala memberikan pengaruh yang cukup kuat untuk para peserta baik yang sebelumnya sudah mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas maupun yang belum mendapatkannya sama sekali.
Bagi mereka yang sudah mengetahuai ihwal seksualitas sebelumnya, Sudhmala memperkuat dan memberikan jangkar bagi pemikirannya. Jangkar itu membuat teori, pemikiran, dan gerakannya mempunyai dasar pada realitas keseharian.
Sementara bagi mereka yang belum mengetahuai seksualitas sebelumnya, Sudhamala memberikan pengetahuan baru lewat pengalaman yang dia sudah lalui yang berkaitan dengan seksualitas dan kekerasan seksual.
Dari situlah, Sekolah Sudhamala memiliki kelebihan dalam memberikan pengetahuan dan pengalaman tentang seksualitas, kekerasan seksual, interseksionalitas, trauma, dan proses mengurai dengan caranya yang khas. Sekolah ini tidak menekankan pada pemberian pengetahuan teoritik melainkan mendorong mereka untuk melampauinya sehingga muncul kesadaran.
Kesadaran yang dimaksud tidak hanya berdasar pada pengetahuan melainkan juga pengalaman. Sekolah Sudhmala selalu mendorong agar setiap pembicaraan tentang kekerasan seksual dan seksualitas dipahami dalam ruang kesadaran diri dan kolektif. []