Oleh: Khawakibb ***
Saya sering sekali mendengar dan membaca istilah “self love” atau “berdamai dengan diri sendiri” dan yang paling banter adalah “pulih dari trauma”. Tapi itu hanya berhenti sebagai pemuas logika. Saya hanya memahami semua istilah itu sebagai pengertian kosong.
Sangat jarang ada yang sukarela memberi informasi sekaligus memberikan ilmu praktis bagaimana praktiknya mencintai diri sendiri. Bagaimana berdamai dengan diri sendiri? Dan pada akhirnya bagaimana kita bisa pulih dari trauma?
Kadangkala ada yang menyediakan fasilitas itu namun kita harus merogoh kocek cukup dalam untuk mengikuti kelas transformational coach. Sekolah Shudhamala hadir sebagai jawaban atas keraguan saya untuk menemukan ruang untuk belajar menyelami dan mengenali diri tanpa terbebani secara materi.
Sekolah Sudhamala yang diadakan Umah Ramah-NAPIESV tak hanya memberikan pengetahuan tentang bagaimana menyelidiki diri lebih dalam, tapi di dalamnya saya diajak untuk mempraktikkan pengetahuan itu dengan cara mengurai pengalaman-pengalaman masa lalu. Saya tidak sendirian, ada tujuh kawan satu angkatan lainnya, sehingga total ada 8 orang.
Melalui materi-materi seksualitas, saya dan kawan-kawan diajak menelusuri ketubuhan masing-masing hingga sampai pada titik gelap yang sebelumnya tidak pernah dijamah.
Kami berbagi kisah satu sama lain sebagai salah satu bentuk mengurai trauma-trauma yang kami semua pendam. Ternyata itu cukup efektif sebagai modal awal berdamai dengan diri sendiri. Kami belajar menerima segala pengalaman yang mampir ke dalam tubuh.
Asih Widiyowati, salah seorang fasilitator Sekolah Sudhamala yang juga Pendiri Umah Ramah mengatakan bahwa bukan hanya otak yang menyimpan trauma dan pengalaman masa lalu, melainkan juga tubuh kita. Tubuh kita juga menyimpan memori dan trauma. Dari pernyataan Ibu Asih itu saya menjadi paham, reaksi-reaksi tubuh dan refleks badan saya bisa jadi adalah bagian dari respon dari memori masa lalu.
Respon-respon jiwa dan tubuh tidak hanya terjadi karena stimulus dari luar, kadang ia muncul tanpa adanya stimulus langsung akan tetapi pastinya tidak serta merta terjadi tanpa alasan.
Berkaca Dari pengalaman sendiri, saya kerap bertanya mengapa saya selalu apes? Entah kenapa sepertinya diri ini selalu berada dalam relasi toxic. Entah itu berupa pasangan yang memanfaatkan saya secara materi, atau relasi yang menganggap saya hanya pemuas nafsu belaka. Semesta seolah dengan sengaja terus mendekatkan saya dengan orang-orang yang salah.
Bertahun-tahun saya hidup seperti orang buta, hingga beberapa kali saya harus menabrak dan menimbulkan dampak trauma. Bertahun-tahun saya hidup kesepian dan merasa tidak layak dicintai oleh siapapun. Namun tragisnya saya tidak kunjung mengetahui dari mana semua perasaan itu muncul? Pangkal apa yang menyebabkan saya terkungkung di dalam relasi tak sehat, baik dengan teman atau pasangan?
Setelah mempelajari seksualitas dan ketubuhan di Sekolah Shudhamala, pertanyaan-pertanyaan itu satu persatu tercerahkan.
Jauh dari perkiraan awal. Saya pikir, mempelajari seksualitas tidak jauh-jauh dari pengetahuan-pengetahuan yang disuguhkan media sosial dan buku mainstream, yakni tentang kesehatan alat reproduksi. Atau paling banter mengenali macam-macam gender, orientasi seksual, dan ketertarikan seksual seseorang.
Ternyata aspek seksualitas itu sangat kompleks, dan beririsan dengan banyak hal seperti agama, sosial, budaya, psikologis, geografis, dan sebagainya. Dampak-dampak kekerasan seksual yang dialami pun sangat beragam dan tidak sesepele yang diberitakan akun-akun media sosial.
Saya semula yakin tidak pernah mengalami kekerasan seksual, nyatanya itu sebuah ilusi. Rasa sakit yang saya tekan sampai trauma itu berhasil masuk tidak terkenali.
Pengalaman masa kecil terkait seksualitas dan kondisi keluarga yang tidak sesuai harapan ternyata menyimpan pengalaman traumatis. Memori-memori gelap yang terus saya tekan itu pada akhirnya secara tidak sadar menjebak saya dalam lingkaran relasi yang tidak sehat.
Proses penguraian itu terjadi tidak bisa saya lakukan dengan serta merta. Saya baru menyadari pernah mengalami kekerasan saat kecil karena mempelajari dampak kekerasan seksual terhadap anak-anak dalam salah satu sesi di Sekolah Sudhamala. Dari situ, saya mencoba untuk mengidentifikasi diri sendiri dari beberapa dampak tersebut, kemudian saya menemukan beberapa kecocokan.
Menguliti dan membuka luka lama memang tidak pernah mudah. Akan tetapi saya paham betul bawah untuk menjadi sehat dan pulih, adakalanya kita harus rela menahan pahitnya jamu yang harus kita minum. Rasa pahit itu barangkali harga yang harus saya bayar demi kedamaian diri.
Sekolah Sudhamala, bagi saya, adalah ruang aman dan nyaman untuk sesama. Di dalamnya, kami saling berbagi cerita tanpa adanya penghakiman. Kami saling menjaga privasi pemilik cerita setelah kami keluar dari ruangan.
Kami banyak bicara tentang seksualitas, eksistensi, dan nilai diri yang sangat berharga. Dari pembicaraan itu kami kemudian diajak untuk memahami kemanusiaan diri. Salah satunya bahwa kita semua adalah makhluk seksual yang tidak bisa dilepaskan dari tubuh, keinginan, dan hasrat. Menurutku, ini yang menjadi dasar dan patokan utama dari Sekolah Sudhamala.
Dari sana kami mulai mengurai dan menyadari tentang keberhargaan tubuh dan jiwa secara utuh. Bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang tetap mulia dan bernilai terlepas dari pengalaman buruk di masa lalu.
Kita juga diajak dan dilatih agar tidak berlarut-larut terpenjara oleh stigma, meski itu bukan pekerjaan mudah. Mula-mula kita harus berani membuka diri dan menyapa satu per satu pengalaman traumatis. Kemudian kita buka dan kuliti mereka dengan penuh kesadaran dan penerimaan.
Terkadang memilih orang yang bisa dipercaya untuk menjaga rahasia sangatlah susah, bahkan orang terdekat sekalipun, ada kalanya tak luput menjadi pelaku victim blaming. Sekolah Shudamala bagi saya memenuhi kebutuhan kami yang kurang beruntung dalam mendapatkan partner untuk berbagi kisah pilu.
Harapan besar berikutnya, setelah saya dan kawan-kawan selesai mengikuti Sekolah Sudhamala, adalah bisa terus belajar seksualitas dengan tak henti mengurai diri. Berharap kami bisa lebih legowo menerima semua cerita pahit dan tidak meneruskan trauma maupun kekerasan terhadap orang lain.
Tak kalah pentingnya saya juga berharap agar kita semua tidak mengalami dan juga tidak melakukan kekerasan seksual. Akhirnya, semua pengetahuan dari Sekolah Sudhamala semoga bisa menjadi bekal bagi kami untuk menjadi ruang aman bagi diri sendiri, syukur jika kemudian juga bisa menjadi ruang aman bagi orang lain. []
*** Penulis adalah peserta Sekolah Sudhamala Angkatan ke-2 tahun 2023.