Kawin Tangkap: Kekerasan Atas Nama Budaya

First slide

14 September 2023

Oleh: Abdul Rosyidi

Kawin tangkap kembali terjadi dan ramai diperbincangkan setelah video penculikan perempuan oleh banyak laki-laki beredar di media sosial. Video itu menunjukkan peristiwa terjadi di Sumba Barat Daya pada Kamis, 7 September 2023.

Itu bukan peristiwa pertama, pada 6 Desember 2019, salah satu akun di Facebook menyebarkan video berdurasi setengah menit. Video kawin tangkap itu menjadi polemik hingga ditutup pihak Facebook. Akan tetapi video tersebut sudah tersebar ke berbagai platform media sosial lainnya. Hingga pada 22 Juni 2020, video tersebut di Twitter sudah ditonton lebih dari 500 ribu kali.

Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) mencatat sejak 2013 hingga 2023 terdapat 20 kasus Kawin Tangkap yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Meskipun kerap disebut sebagai perbuatan yang keji dan tak berperikemanusiaan, masih ada beberapa orang yang menyebut kawin tangkap sebagai tradisi. Banyak juga yang mengatakan bahwa kawin tangkap adalah budaya yang sudah turun temurun sehingga tidak mungkin bisa dihentikan. Praktik kawin tangkap sangat terkait dengan budaya orang-orang Sumba, menghilangkannya akan menghilangkan identitas dan budaya orang setempat. Benarkah demikian?

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sudah menyampaikan sikapnya bahwa kawin tangkap adalah kekerasan terhadap perempuan yang berbasis pada budaya patriarkhi. Kasus kawin tangkap menurut Komnas Perempuan masuk dalam kategori kekerasan dan pemaksaan perkawinan. Hal ini melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam UU anyar yang memihak korban tersebut, kawin tangkap masuk dalam unsur kekerasan seksual.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, pada 9 Desember 2019 mengatakan bahwa budaya kekerasan tidak sepatutnya diteruskan. Istilah pelestarian budaya tidak bisa digunakan untuk melanggengkan kekerasan. Dia juga menyinggung banyaknya tradisi di Indonesia yang masih terus melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Sebut saja misalnya tradisi sunat perempuan dan pernikahan anak. Tradisi-tradisi tersebut harusnya bisa dilihat kembali agar tidak menimbulkan kerugian dan penderitaan pada perempuan.

Antropolog dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang, Pater Gregorius Neonbasu mengatakan, kawin tangkap di pulau Sumba bukanlah budaya. Itu hanyalah tindakan yang pragmatis, yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat. Bagi masyarakat di pedalaman Pulau Sumba, seperti di wilayah Kodi dan Wawewa, mereka menganggap hal tersebut ada karena budaya turun-temurun yang tak bisa dihilangkan, walaupun hal tersebut dianggap merendahkan martabat kaum perempuan.

Gregorius mengatakan, ada beberapa peneliti dari negara lain yang melakukan penelitian soal praktik tersebut, beberapa di antaranya adalah Janet Alison Hoskin yang meneliti di Kodi Sumba Barat Daya dan Joel C Kuipers yang melakukan penelitian di Wawewa Sumba Barat. Mereka berpendapat bahwa kawin tangkap tidak boleh dikatakan sebagai suatu budaya, itu hanya kebiasaan yang selalu terjadi berulang-ulang.

Ia pun menilai bahwa masyarakat Sumba pada umumnya juga berjuang untuk sedapat mungkin menghindari praktik tersebut, karena sudah banyak yang tak sependapat dengan hal tersebut. Sebab, kata dia, secara antropologis orang Sumba, seperti masyarakat NTT pada umumnya, menilai peran perempuan sangat tinggi sehingga harus dihormati.

Saya sendiri sangat setuju jika praktik kawin tangkap harus dihentikan karena tradisi itu menyakiti, merugikan, dan merampas hak-hak perempuan. Terjadinya peristiwa itu juga menodai rasa kemanusiaan semua orang. Adapun kalau ada yang bilang itu adalah budaya, maka budaya yang merupakan akumulasi dari kebiasaan masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-harinya harusnya berdasar pada asas yang menjunjung tinggi kehidupan semua makhluk, terutama manusia dan rasa kemanusiaan.

Untuk bisa memenuhi kebutuhan manusia, harusnya budaya terus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Budaya harus bisa berjalan beriring dengan perubahan zaman sehingga selalu terkait dengan konteksnya. Budaya juga adalah sebuah kesepakatan yang harusnya persetujuan itu berasal dari semua orang dalam masyarakat, bukan hanya laki-laki.

Perempuan dalam banyak budaya dan bahkan agama, seringkali dianggap sebagai harta benda atau kehadirannya tidak diperhitungkan. Karena itu budaya dan agama harus senantiasa ditafsirkan dengan konteks hari ini sehingga nilai-nilai kemanusiaan yang diusung budaya maupun agama tetap relevan.

Selama ini, kita sering mendengar kontekstualisasi ajaran agama atau ayat-ayat suci, tapi tidak pernah melakukan kontekstualisasi terhadap teks-teks kebudayaan. Masyarakat Nusantara yang kaya akan tradisi dan kebudayaan harusnya mulai melakukan kontekstualisasi. Tanpa upaya itu, jargon “melestarikan budaya” akan kehilangan makna dan relevansinya bagi hidup kita hari ini.

Tradisi berangkat dari nilai-nilai tertentu yang menjadi panduan bagi seseorang di dalam masyarakat. Nilai-nilai ini dianggap para anggotanya sebagai suatu yang sakral karena selain menjadi panduan hidup juga berkaitan dengan eksistensi diri dan kelompok, pemaknaan atas hidup, dan identitas. Nilai itu sejatinya adalah hasil dari upaya manusia menangkap pesan-pesan kehidupan, sehingga kebanyakan berbeda-beda di setiap tempat. Akan tetapi nilai utama dari semua nilai adalah kehidupan dan kesejahteraan manusia.

Nilai-nilai yang terakumulasi kemudian menjadi norma di tengah masyarakat. Norma mengatur apa yang boleh dan yang tidak boleh sehingga setiap anggota masyarakat tetap berada di dalam lingkaran. Sedangkan tradisi adalah pengejawantahan nilai-nilai tadi dalam berbagai kebiasaan, kesenian, dan ritual. Tradisi-tradisi itu tentu saja berubah tergantung pada banyak faktor yang memengaruhi nilai maupun material.

Nilai, norma, dan tradisi yang sudah turun temurun itu dianggap sebagai warisan budaya yang tetap. Padahal, dari dulu hingga sekarang budaya akan terus berubah sesuai dengan perubahan zaman. Klaim atas tetapnya tradisi biasanya berangkat dari rasa memiliki dan identitas kultural masyarakat. Pemapanan dilakukan dengan menyakralkan dan menghubungkannya dengan sesuatu yang adikodrati. Budaya yang dimapankan itu bisa jadi kemudian melenceng dari nilai-nilai kemanusiaan awal selain karena sulit beradaptasi dengan zaman juga karena melupakan substansi segala kebudayaan itu ada: untuk memanusiakan manusia.

Asumsi bahwa manusia berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan adalah nilai utama bagi kebudayaan lama kita yang patriakhal. Nilai-nilai ini harusnya sudah mulai bisa kita tinggalkan sebab semua manusia itu setara, tanpa melihat jenis kelamin, dan sebagainya. Nilai baru itulah yang menjadi nilai universal hari ini yang diyakini, disepakati, dan dijadikan pedoman seluruh umat manusia di dunia. Harusnya, kemanusiaan universal itu menjadi semacam cita-cita bagi transformasi nilai, norma, tradisi dan budaya kita.

Banyak sekali budaya lama yang sejalan dengan cita kemanusiaan universal, akan tetapi banyak juga yang tidak sejalan sehingga penggunaannya pada hari ini sangat problematik. Nilai-nilai lama yang sudah usang dan tidak relevan itu kerap menimbulkan masalah kemanusiaan karena kerap bertentangan dengan nurani masyarakat hari ini. Ada juga nilai lama yang sudah tidak terlalu dikenali masyarakatnya akan tetapi praktik dan ritualnya masih terus dilaksanakan hingga hari ini.

Tidak hanya kawin tangkap di Sumba sana, di sekitar kita juga masih banyak tradisi yang berasas pada nilai-nilai lama yang mendiskriminasi perempuan. Selain sunat perempuan dan nikah anak yang telah disebutkan di atas, kita tentu mengenal istilah kawin paksa. Praktik kawin paksa masih terjadi di mana-mana. Kawin paksa terjadi saat ayah atau wali perempuan “berhak” untuk menikahkan perempuan tanpa persetujuannya. Seorang perempuan dianggap tidak mempunyai otonomi untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam ajaran Islam, seorang wali mujbir mempunyai hak ijbar, yakni hak untuk menikahkan secara paksa perempuan perwaliannya dengan tanpa persetujuan.

Kawin tangkap, kawin paksa, sunat perempuan, nikah anak, dan tradisi-tradisi lainnya harus dilihat kembali, tentu dengan mempertimbangkan dimensi sosio-kulturalnya. Pelarangan kawin tangkap secara langsung tidak akan efektif karena melihat kaitannya dengan budaya masyarakat Sumba. Yang paling mungkin saat ini adalah memproses tindakan pelanggaran hukumnya.

Selain itu, penting juga untuk melakukan pembudayaan nilai-nilai baru pada masyarakat yang hidup pada struktur lama. Tapi yang paling utama sebenarnya adalah bagaimana struktur baru (pemerintah dan aparatus modernnya) bisa memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat. []

Share to :