Mengulas Buku Orgasme: Bukan Buku Pornografi

First slide

26 Mei 2025

Oleh: Mahirotus Sofa

Ada kalanya banyak di antara kita merasa enggan membeli buku yang mengangkat tema seksualitas, seperti halnya buku dengan judul Maaf, Orgasme bukan Hanya Urusan Kelamin karya Ester Pandiangan. Hal ini saya rasakan saat membuka bazar buku di acara bedah buku yang sempat dilaksanakan oleh Umah Ramah akhir tahun 2023.

Ditampilkan dengan judul dan sampul buku yang cukup berani, saya melihat beragam reaksi orang saat akan membeli buku ini. Ada yang merasa malu, geli melihat sampulnya, takut dikira mesum ketika membeli bukunya, atau bahkan ada yang merasa ragu, takut ketahuan orang tua atau teman sebayanya dan disangka yang macam-macam ketika ketahuan membaca buku seperti ini.

Apa yang saya temui setidaknya kurang lebih sama dengan apa yang dikhawatirkan penulis, Ester Pandiangan, dalam bukunya. Dia menyatakan bahwa walau zaman semakin maju dan obrolan tentang seksualitas sudah muncul di ruang-ruang publik, pemahaman yang benar mengenai topik ini belum berkembang dengan baik. Termasuk pemaknaan orang-orang mengenai orgasme, khususnya dari sudut pandang perempuan. Buktinya masih banyak reaksi kurang mengenakkan yang diterima tentang beberapa karyanya, termasuk karyanya yang diterbitkan oleh Penerbit Mojok pada Maret 2022 ini.

Menunjukkan wajah secara utuh. Lalu mengerang seolah keenakan, menaikkan bola mata ke atas, membuka separuh bibir, mengejang dan menggelepar beberapa kali. Kemudian Dia mengatakan “Ini tandanya kalau perempuan orgasme”.

Dalam essainya yang pertama, penulis langsung menceritakan pengalamannya melakukan hal demikian ketika menanggapi saudarinya yang mengatakan kalau orgasme perempuan terjadi ketika perempuan mengeluarkan cairan dari vaginanya. Berbeda dengan apa yang dia pelajari pada jurnal kesehatan, dikatakan kalau orgasme perempuan itu ditandai dengan kontraksi pada rahim, tubuh mengejan untuk kemudian rileks, dan diiringi semburat rona wajah memerah.

Ditulis dengan bahasa yang reflektif, dia juga menambahkan penjelasan mengenai orgasme secara jujur melalui pengalaman dan penemuannya. Mulai dari perbedaan orgasme antara laki-laki dan perempuan, tanda-tanda orgasme secara fisik maupun psikis, presentase, foreplay, dan banyak lagi. Yang pada dasarnya data atau apa yang dijabarkan bukanlah hasil final, atau kebenaran yang mutlak, karena semua memiliki perspektif yang beragam begitu pun mengenai orgasme. Tapi setidaknya pemahaman kita tentang orgasme tidak tersesat pada simpang siur antara mitos dan fakta. Dan menelan semua itu bulat-bulat.

Meskipun minimnya pengetahuan mengenai orgasme atau seksualitas tidak bisa menjadi tolok ukur utama mengapa perempuan tidak mengenali reaksi tubuhnya sendiri. Secara kalau kita menelisik lebih dalam, manusia mempunyai naluri alamiah untuk merespon dan bereaksi terhadap apa yang diterima. Oleh karenanya, penulis juga menjelaskan dalam tulisannya yang lain mengapa perempuan sampai memalsukan orgasme?

Banyak perempuan yang Ester tanyai dan amati, termasuk ibunya sendiri dalam memahami kepuasan seks atau pandangan mereka terkait seks sendiri. Dari apa yang disampaikan dalam tulisannya, hampir sebagian perempuan mempunyai pandangan yang sangat kompleks mengenai seks.

Pertama, sedari ia lahir, perempuan sudah “dikondisikan” untuk tidak mengekspresikan seksualitasnya secara berlebihan. Perempuan yang ketubuhannya juga direpresi oleh konstruksi sosial untuk menjadi ibu yang baik, istri yang baik, tetangga yang baik, tidak akan sempat memikirkan kepuasan seks. Bagaimana dia mau memikirkan orgasmenya sendiri ketika dia selalu disibukkan untuk memikirkan kepuasan suami, anak-anak, dan tetangga tentangnya?

Kemudian, pandangan soal seks yang hanya diperuntukkan untuk prokreasi pun kian mengokohkan kalau tidak ada kepentingan lain dari hubungan seks selain untuk menghasilkan keturunan. Di luar dari pada itu tidak penting. Jadi, boro-boro membicarakan soal orgasme, memikirkan keperluannya sendiri saja mereka tidak sempat. Ya walaupun hari ini, dengan banjirnya arus informasi dan edukasi yang ada, mungkin tidak semua perempuan berpikir hal yang sama.

Namun menurutnya, kita juga tidak bisa memungkiri realitas yang ada, masih banyak perempuan/istri yang masih bergantung secara finansial kepada suaminya. Karena tidak mempunyai kebebasan secara finansial. Ketergantungan ini kerap dijadikan alat untuk memanipulasi perempuan, termasuk dalam mendapatkan kepuasan seks. Akhirnya ketika ingin membeli sesuatu atau meminta uang tambahan, perempuan rela melakukan apa pun untuk memuaskan suaminya. Padahal ia sendiri tidak menyukai itu.  

Dan bukan hanya ini, ada faktor lain yang dapat kalian temukan dalam tulisan Ester yang dipadukan dengan realitas yang ia temui. Tapi balik lagi membicarakan tentang orgasme, bukan hanya tentang pertemuan antar kelamin saja. Di antara tulisannya, Ester juga mengingatkan tentang pentingnya komunikasi dalam berhubungan seksual. Hal yang kerap anak adam lupa lakukan bersama pasangannya. Lalu tanpa sadar kita jadi melupakan hal-hal kecil yang sebenarnya lebih penting daripada mencapai puncak orgasme, yaitu consent.

Ketika kita tidak mengkomunikasikannya, bagaimana kita akan tahu kebenaran dari apa yang dirasakan atau disukai oleh pasangan? Yang ada malah kesalahpahaman yang selalu dianggap kebenaran. Karena terkadang kode melenguh, senyum, bahkan “basah” sekalipun bukan jaminan kalau pasangan menyenangi aktivitas tersebut.

Lebih fatalnya lagi, lantaran tidak adanya komunikasi, tanpa sadar kita menyakiti pasangan, bahkan melakukan kekerasan seksual kepadanya. Karena bisa jadi tanda-tanda yang dianggap sebagai kenikmatan, itu hanyalah reaksi alamiah tubuh manusia saat menerima rangsangan. Tidak ada rasa menyenangkan, yang ada hanya rasa sakit yang disembunyikan, sebab memasang wajah tertekan pun tidak dihiraukan.

Sebenarnya masih banyak pembahasan mengenai orgasme dan segala kaitannya yang Ester sampaikan dalam buku ini. Kita dapat mengambil pelajaran pada setiap cerita yang dia hadirkan dalam tulisannya. Entah kisah dari obrolan ringan bersama pasangan, curhatan teman, komentar pakar, cerita film, hingga refleksi dari berbagai film. Meski dikemas secara naratif, buku ini tetap menghadirkan kajian jurnal untuk memperkuat perspektifnya.

Melalui tulisan-tulisan ini juga, kita akan disadarkan bahwa terdapat gap yang luas dalam memahami seks dan orgasme. Selama ini, pembahasan tentangnya sering kali hanya berfokus pada aspek biologis atau psikologis saja, padahal sebenarnya pemahaman itu jauh lebih kompleks. Pemahaman kultural, sosial, ekonomi, spiritualitas, dan politik saling berkaitan dalam membentuk perspektif mengenai seks dan orgasme.

Karena itu, sering kali yang tampak di permukaan hanyalah jalan buntu yang membuat banyak orang merasa tersesat. Beberapa hal tersebut dapat kita temukan dalam kisah-kisah yang Ester tuliskan. Maka dari itu, saya rasa buku ini cocok untukmu yang ingin belajar mengenal diri yang seksual ini lebih dalam. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun menurutku juga perlu belajar, ya. Biar kita tidak terjebak bersama dalam ilusi kebenaran yang sudah mengakar. []

Share to :