Mitos Kejantanan dan Lahirnya Budaya Kekerasan

First slide

7 Desember 2023

Reporter: Ahmad Hadid

Umah Ramah menggelar diskusi terbuka tentang maskulinitas pada Kamis, 23 November 2023 yang lalu, di Kantor Umah Ramah, Perum Bumi Linggahara IV Blok. B No.14, Desa Kertawinangun, Kec. Kedawung, Kab. Cirebon. Adapun tema yang diangkat pada diskusi hari itu adalah tentang mitos-mitos kejantanan dan lahirnya budaya kekerasan.

Jika biasanya diskusi tentang kekerasan seksual mengambil sudut pandang perempuan, kali ini dalam kegiatan yang dihadiri puluhan peserta dari berbagai kalangan, Umah Ramah mencoba untuk mengambil perspektif dari laki-laki.

Peneliti Umah Ramah, Abdul Rosyidi yang menjadi pemantik diskusi tersebut menjelaskan, laki-laki dalam kontruksi ketubuhan dan sosialnya tidak lepas dari ragam mitos yang dilekatkan masyarakat kepadanya. Jika perempuan dikontruksi dengan kecantikan seperti yang dijelaskan Naomi Wolf dalam bukunya “Mitos Kecantikan”, laki-laki juga dikontruksi sebagai manusia yang kuat dan perkasa.

Mitos kejantanan mengatur tubuh laki-laki harus berbadan besar, kuat, dan kekar berotot. Begitupun dengan alat kelamin, juga harus besar, kuat, dan tahan lama.Jika ada laki-laki yang bertubuh kecil, letoy, dan klemar-klemer, maka ia dipandang tidak laki, tidak macho dan tentu saja dianggap bukan laki-laki normal.

“Mitos seperti itu sangat meresahkan karena pada akhirnya laki-laki berjuang mati-matian untuk hidup dengan memenuhi ekspektasi-ekspektasi masyarakat. Dia tidak menjadi dirinya sendiri,” katanya.

Mitos kejantanan sudah berjalan berabad-abad lamanya dan disematkan terhadap semua bayi laki-laki lahir ke dunia. Pada titik tertentu, saat laki-laki tidak sanggup lagi sanggup memenuhi ekspektasi-ekspektasi itu, hal-hal negatif bisa saja terjadi.

“Laki-laki yang bisa memenuhi kehendak mitos kejantanan akan terjebak pada pola-pola kekerasan dan berpotensi besar melakukan kekerasan. Akan tetapi jikapun tidak sanggup memenuhinya, dia tetap berpotensi melakukan kekerasan karena tertekan dan depresi. Itulah ironinya,” imbuhnya. []

Share to :