Kemanusiaan dan Seksualitas

First slide

3 Maret 2023

Oleh: Abdul Rosyidi

Kemanusiaan berdiri pada prinsip persamaan semua manusia sebagai makhluk yang berharga. Dalam prinsip ini, secara universal semua orang mengakui kesamaan derajat dan martabat manusia lainnya, tanpa melihat ras, jenis kelamin, bangsa, dan sebagainya. Dengan begitu, kita tidak bisa membicarakan kemanusiaan tanpa memahami seksualitas.

Seksualitas adalah wujud keberadaan kita di dunia. Begitu lahir ke dunia, sejak saat itu kita berada pada mode seksual. Semua manusia terlahir dalam tubuh seksual. Sebagai contoh, saya tak pernah minta lahir menjadi laki-laki. Istri saya tak pernah minta lahir menjadi perempuan. Kami tak pernah tahu menjadi hetero. Begitupun teman-teman saya yang tak pernah meminta menjadi ini dan itu, atau menjadi apapun yang berbeda.

Begitupun, saya tak pernah bisa bernegosiasi dalam suasana seperti apa dilahirkan. Kita, begitu saja lahir. Dan karena terjadi begitu saja, tak ada lagi ruang untuk bertanya pada diri. Katanya, itu sudah dari sananya. Yang tak terpahami itu kemudian terlalu banyak mendapatkan penanda-penanda, tafsir-tafsir, pemaknaan-pemaknaan, cerita dan mitos-mitos. Yang dari sananya itu pada akhirnya selalu menggoda untuk didefinisikan, dibentuk, dikategorisasikan, diurut berdasarkan hirarki, dinormalkan, dan diabnormalkan. Itulah biang dari moralitas seksual.

Moralitas seksual sangat memengaruhi kemanusiaan kita hari ini, termasuk membentuk bagaimana kita berpikir, bersikap, berperilaku, berpakaian, berhubungan, dan bermasyarakat.  Saat banyak orang percaya itu satu-satunya cara memahami, panduan-panduan itu menjadi ideologi. Secara garis besar, ideologi dunia hari ini adalah patriarkhi yang percaya bahwa seksualitas perempuan lebih rendah dibandingkan seksualitas laki-laki. Inilah yang memunculkan banyak diskriminasi gender atau ketidakadilan karena seksualitas seseorang.

Patriarkhi menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya benar lewat pendisiplinan dalam sistem sosial terkecil, yakni keluarga. Contoh, saya lahir dan tumbuh menjadi laki-laki. Keluarga dan orang-orang terdekat mendorong saya untuk memiliki sifat-sifat dan karakter yang mereka pahami sebagai apa itu lelaki. Saya pun akhirnya selalu ingin menjadi seseorang seperti anggapan-anggapan orang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki.

Nah, saat berbicara kemanusiaan, anggapan-anggapan itu, mau tidak mau, harus kita analisa kembali. Proses penguraian akan membuka pemahaman kita tentang kemungkinan keberbedaan dan pintu gerbang untuk membuka diri terhadap seksualitas orang lain yang berbeda-beda. Tidak ada kemanusiaan tanpa upaya untuk memahami yang berbeda.

Proses penguraian itu, baik jika berangkat dari diri. Diri yang seksual harus benar-benar disadari keberadaannya. Saat pemahaman tentang diri telah rampung, pemahaman terhadap “yang liyan” menjadi mungkin. Ideologi-ideologi seksual yang mengerangkeng “yang liyan” itu telah lama membelenggu diri kencang-kencang. Bahkan lebih kencang dibandingkan ideologi-ideologi lainnya.

Melepas ikatan-ikatan itu akan berujung pada pelebaran cara pandang. Sebagai orang beragama saya sendiri merasakan bahwa ungkapan “man ‘arofa nafsahu fa qod arofa robbahu” benar adanya. Siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya. Katanya, untuk mengenal Tuhan, seseorang harus mengenal dirinya sendiri dulu. Tapi untuk mengenal diri, seseorang tidak akan bisa dengan hanya bercermin atau melakukan psikotes. Pengenalan diri berhasil saat seseorang mampu menggunakan nalar empatiknya atas rasa-rasa orang lain.

Dalam hal ini, penemuan diri berangkat dari perasaan yang sama atas penderitaan orang. Siapa orang yang paling menderita di dunia ini? Mereka adalah orang-orang yang terpinggirkan. Benar juga dikatakan bahwa Tuhan berada di sisi orang-orang terlantar, kelaparan, menderita, dan sejenisnya. Karena untuk mengenal Tuhan, seseorang harus bertautan rasa dengan penderitaan mereka. Tanpa itu, Tuhan yang dirasakan seseorang sejatinya adalah berhala atau jimat yang mendatangkan keberuntungan, kebahagiaan dan kekayaan belaka.

Kesalahpahaman dan Komedi

Meski begitu dekat dan akrabnya kita dengan seksualitas, banyak orang masih salah paham. Saat bicara dengan teman maupun dengan para santri saat pelatihan bersama Umah Ramah, asumsi pertama mereka terhadap kata seksualitas adalah tentang jima’, hubungan seksual, alat kelamin, alat vital, dan wicara-wicara yang menjijikan.

Padahal, seksualitas ada di dalam rumah, di sekolah, di tempat ibadah, di fasilitas publik, di televisi, di media sosial, dia gedung-gedung pemerintah, di sawah-sawah dan lahan perkebunan, di stasiun ruang angkasa, dan di tempat yang kita tidak pernah tahu.

Ia adalah kualitas keberadaan kita di dunia. Ia ada di mana-mana. Sangat dekat dengan keseharian. Memengaruhi cara berpakaian, berpenampilan, membawakan diri, cara berbicara, berelasi dengan orang lain, berpikir, menjadi spiritual, memaknai diri, memaknai keberadaan orang lain, memaknai keberadaan Tuhan.

Seksualitas mematri diri dalam ruang-ruang kebudayaan dan sejarah. Tanpa memahami seksualitas, kita tak akan pernah bisa memahami budaya secara mendalam dan tak bisa menawarkan seni ataupun sastra yang jujur dan menggetarkan.

Banyak budayawan, seniman, sastrawan, dan sebagainya, yang “gagal” menautkan karyanya dengan rasa, karena mereka tidak berhasil mengelaborasi materi yang paling mendalam, tersebar luas, paling fundamental, sekaligus paling disalahpahami dan dibenci: seksualitas.

Anehnya, saking dekatnya, seksualitas juga kerap menjadi komedi yang diperagakan kebanyakan laki-laki. Saya pernah membaca tulisan seorang ahli psikologi fenomenologis, katanya humor-humor ranggenah itu karena seksualitas tidak cukup bisa dimengerti oleh mereka. Saya tidak sepenuhnya setuju. Karena bisa jadi, itu satu bentuk arogansi lelaki saja yang tidak rela melepas privilise patriarkhi yang sudah didaku sejak semula. Maskulinitas hegemonik itu terlalu sayang untuk dibuang.

Ataukah memang, para lelaki tak cukup pandai mengungkapkan rasa, perasaan, dan kasih. Karena sejak kecil, mereka dididik dengan cara-cara khusus dalam keluarga patriarkhi. Saya cukup bisa membayangkannya saat nonton “Ngeri-Ngeri Sedap”.

Humor seksis, kekakuan, keras mendidik anak, tak bisa mengungkapkan perasaan, takut menangis, mau menang sendiri, ingin terus menguasai, menaklukkan, keras kepala, dan arogan, sepertinya menjadi masalah kebanyakan lelaki. Dan katanya, sifat-sifat seperti inilah yang sejak lama mengatur dunia.

Dunia yang Maskulin

Banyak yang menuding, semua masalah-masalah di dunia sekarang, kekerasan, perang, perubahan iklim, dan kerusakan alam berasal dari kekeliruan kita mengelola dunia. Dan kesalahan terbesar itu karena cara kita hidup dan mengelola kehidupan di dunia dengan sangat maskulin.

Kita belajar menjadi seperti itu dari segala sumber pengetahuan, sinema kita dipenuhi kekerasan dan darah. Kekerasan ditampilkan “selalu” sebagai solusi konflik antar manusia, antar teman, antara kepentingan.

Olahraga kita juga sangat maskulin. Menonjolkan kompetisi, otot, ketangkasan, dan juara yang mengalahkan lawan. Berita-berita kriminal dan kekerasan juga bertebaran saban hari di mana-mana, koran, televisi, dan media sosial.

Cara sekolah mendidik kita juga sangat maskulin. Sistemnya mendorong siswa untuk mengalahkan lawan untuk berprestasi. Keluarga pun mendorong anak-anaknya untuk mengalahkan lawan untuk menjadi juara. Meskipun kekerasan dilarang, tetapi cara kita mendidik dan berharap pada anak menstimulasi mereka terus berlomba-lomba untuk mengalahkan dan menaklukkan.

Kita memang tidak menerima semua itu serta merta, tapi ia telah berhasil masuk ke alam bawah sadar sambil menunggu waktu yang tepat untuk meledakkan dirinya. Siang tadi saya memikirkan betapa ledakan itu sangat dahsyat dan terjadi di mana-mana. Hanya saja sebagian ledakan itu tidak kita sadari keberadabannya.

Ledakan itu bisa menyerang orang lain atau menyakiti diri sendiri. Jika ledakannya ke arah luar maka di permukaan terlihat sebagai perilaku menyakiti orang lain, membunuh, bahkan membantai sekelompok orang. Akan tetapi jika ledakan terjadi di dalam diri, dia bisa menjadi self-harm ataupun bunuh diri.

Selama ini, membunuh orang selalu kita maknai secara harfiah sebagai penghilangan nyawa. Padahal pembunuhan yang paling banyak terjadi di sekitar kita adalah pembunuhan secara maknawi. Yaitu mengabaikan orang lain, terutama mengacuhkan orang yang butuh pertolongan, orang lemah, orang-orang yang terpinggirkan, atau menderita.

Begitupun, peristiwa bunuh diri selalu membuat kita bertanya-tanya karena peristiwa tersebut mengguncang kemanusiaan. Akan tetapi kita tidak terlalu awas dengan depresi. Bisa jadi secara fisik seseorang dikatakan sehat dan hidup, akan tetapi dia menganggap diri tidak ada. Dimulai biasanya dengan rasa tidak percaya yang terus menerus terhadap diri, menganggap diri ternoda, tidak suci, berdosa, bersalah, dan sebagainya.

Kemarin saya mendengar cerita, ada orang yang tidak buta dan tuli akan tetapi memilih untuk tidak melihat (mengabaikan penglihatan mata) dan tidak mendengar (mengabaikan pendengarannya). Entah karena tidak mau memedulikan keberadaan orang lain atau justru itu sebagai bentuk pengabaian diri. Tapi cerita itu lebih dari cukup bagi saya untuk berpikir, betapa dunia ini penuh dengan ledakan-ledakan seperti demikian. Sambil melamun saya tafakur, saya sendiri berada pada area ledakan yang mana? ***

Share to :