Oleh: Prasetyo Aditya
Sehari sebelum peringatan Hari Santri Nasional, Sabtu, 21 Oktober 2023, Umah Ramah bekerjasama dengan Kopi Satu Visi melakukan diskusi buku berjudul “Bahaya Laten Kekerasan Seksual: Hasil Penelitian dan Refleksi Umah Ramah atas Seksualitas, Kespro, dan Kekerasan Seksual di Pesantren.”
Sebagaimana judulnya, buku bergambar gunung es berlatar biru yang terbit pada April 2022 tersebut mengangkat kisah mengenai bermacam fenomena seksualitas dan kekerasan seksual di pesantren yang dialami dan atau disaksikan oleh masing-masing penulis.
Di bawah lampu temaram kedai Kopi Satu Visi, belasan anak muda duduk melingkar guna berbagi pengalaman, pengetahuan, serta keresahan masing-masing ihwal fenomena kekerasan seksual di pesantren.
Diskusi menjadi menarik lantaran sebagian besar peserta pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Menurut mereka, apa yang tertulis di buku terbitan Umah Ramah itu sangat relevan dengan apa yang pernah mereka alami dan atau saksikan.
Apabila dipandang dari sudut moralitas atau kasalehan spiritual, tentu fenomena kekerasan seksual di pesantren merupakan suatu hal yang paradoks dan membingungkan.
Bagaimana mungkin di suatu komunitas yang saban hari melumat ilmu-ilmu agama melakukan kekerasan seksual? Tapi faktanya, hal itu acapkali terjadi. Realitas itu ada, dan sukar untuk ditampik.
Rupanya, ada banyak hal yang melatarbelakangi kekerasan seksual di pesantren, dan mungkin di banyak tempat lain, di antaranya adalah faktor relasi kuasa, normalisasi kekerasan, serta kajian-kajian seksualitas yang masih dianggap tabu untuk dibincangkan.
Tiga faktor tersebut merupakan faktor krusial. Tentu, ada banyak lapisan lain yang turut melanggengkan fenomena kekerasan seksual. Tapi paling tidak, tiga faktor itulah yang menjadi poin utama dalam diskusi di malam Minggu yang hangat itu. []