Oleh: Abdul Rosyidi
Wacana untuk berketurunan atau tidak bagi suatu pasangan kembali mengemuka. Wacana ini sekilas hanyalah tren debat yang akhir-akhir ini muncul di media sosial. Sebagaimana sebuah diskursus, ia menuai pro dan kontra. Bedanya sekarang, budaya berinternet mengarahkan perbedaan pendapat yang biasa itu ke level polarisasi.
Beberapa orang yang setuju dengan wacana ini beranggapan bahwa beranak adalah hak individu. Sehingga tidak ada satu pun institusi (moralitas, hukum, agama, dan sebagainya) yang bisa memaksa seseorang untuk beranak. Sedangkan yang kontra alasan utamanya berkisar pada masalah tujuan utama pernikahan, yang diyakini kelompok ini adalah untuk beranak atau berketurunan.
Lalu ada kelompok ketiga muncul dan menganggap, pilihan apapun, baik untuk beranak ataupun tidak beranak (childfree), sama-sama sebagai pilihan yang patut dihormati dan tidak boleh dicela.
Jika merujuk pada tujuan pernikahan (hubungan seksual), maka ada dua tujuan besar, yakni untuk prokreasi (berketurunan) dan rekreasi (kenikmatan). Masing-masing relasi seksual sebenarnya bisa saja memilih untuk tujuan-tujuan tersebut, asalkan dilakukan secara bertanggung jawab. Apakah yang pertama, yang kedua, pertama plus kedua, atau sekadar menghormati semua pilihan-pilihan itu. Semuanya sah-sah saja asalkan paham konsekuensinya.
Kencangnya perdebatan isu ini lebih dikarenakan banyak orang masih menganggap bahwa tujuan pernikahan itu adalah hanya untuk mempunyai anak. Oleh karena itu kemudian menganggapnya sebagai kodrat yang tidak boleh ditawar. Alhasil, semua prinsip, sikap, perilaku, perbuatan, realitas, yang bertentangan dengan itu, dianggap sebagai “melenceng” dari kodrat kemanusiaan.
Padahal, Imam al-Ghazali pernah mengatakan bahwa tujuan pernikahan tidak tunggal. Ia bisa untuk mendapatkan keturunan, penyaluran hasrat seksual, dan memelihara dari kerusakan. KH Husein Muhammad secara lebih tegas mengatakan bahwa pernikahan itu bertujuan agar hubungan seksual bisa dilakukan secara bertanggung jawab, sama sekali tidak untuk tujuan berketurunan.
Sementara Ki Ageng Suryamentaram menyebut inti dari kehidupan adalah pangupa jiwa (melangsungkan hidup) baru setelah itu berketurunan (melangsungkan jenis). Perbantahan biasa terjadi karena inti itu mempunyai jalan yang berbeda-beda dalam implementasinya. Mengapa demikian? Karena setiap manusia mempunyai pangrasa, pengalaman, kebijakan, penghayatan, pengetahuan, dan budaya yang berbeda-beda.
Akan tetapi, dalam sebuah narasi besar tentang prokreasi, keragaman individu dan konteks hidupnya tidak pernah diberikan tempat yang semestinya. Apalagi jika narasi besar itu terkait dengan keluhuran budaya, moralitas, ataupun teologi tertentu.
Beranak ataukah Memiliki Anak?
Orang yang memilih beranak sebaiknya sadar dan siap betul untuk mengemong, menyuluh, dan membimbing anak agar menjadi manusia dewasa yang siap menapaki kehidupan. Ketidaksiapan dan ketidaksadaran akan tanggung jawab ini bisa berakibat pada pola relasi dan pengasuhan yang tidak tepat.
Berapa banyak dari kita yang sudah mempunyai keawasan tersebut sebelum menikah? Nyatanya masih banyak yang beranak karena seolah-olah sebagai imbas dari hasrat seksual yang sudah tak tertahankan. Keputusan untuk menikah pun lebih karena takut hubungan seksual akan mencemari masyarakat dengan zina. Di sini, moralitas asusila terlihat lebih menjadi panduan dibandingkan kesadaran dan kesiapan penuh untuk mempunyai anak. Jika benar demikian, maka jangan heran jika anak yang lahir dari situasi seperti itu lebih mencerminkan ego dan syahwat orang tua.
Mari kita cermati lagi, masih banyak orang tua yang menganggap anaknya sebagai pelampiasan atas ambisi dan cita-cita yang belum terwujud. Sehingga banyak dari mereka memaksakan anak mereka ke sekolah dan universitas dengan lebel favorit, walaupun dengan mengorbankan suara hati dan keinginan anak. Pilihan karir, panggilan hati, dan misi jiwa anak tidak diakomodir. Bukankah kita sering mendengar bahwa ada anak bersekolah dan beprestasi hanya untuk “menyenangkan” orang tuanya.
Realitas kebahasaan juga menunjukkan kepada kita bahwa anak adalah hasil karya dan kepemilikan orang tuanya. Dalam frase “mempunyai anak” atau “memiliki anak” pada perdebatan mengenai childfree, menunjukkan bahwa status anak adalah barang milik. Sebagai kepemilikan, maka sah-sah saja jika kemudian orang tua menganggapnya sebagai aset.
Seperti pepatah kita yang bilang: “banyak anak, banyak rezeki”. Kemudian orang-orang mengartikan bahwa anak adalah aset ekonomi bagi keluarga. Anak akan mendatangkan rezeki bagi orang yang melahirkannya. Setiap kegiatan ekonomi anak harus pula menyumbangkan keuntungan bagi keluarga. Makanya di kampung-kampung kita banyak sekali seorang anak bekerja di luar negeri untuk menghidupi keluarganya. Bahkan pada saat sudah berkeluarga, keluarga lamanya (orang tua) masih menagih hak ekonomi kepadanya.
Begitupun dengan terjadinya fenomena generasi sandwich. Generasi yang harus menanggung beban ekonomi tiga generasi sekaligus, dia sendiri, orang tua, dan anak-anaknya. Negara tidak terlalu peduli dengan isu ini meskipun korbannya sudah banyak berjatuhan. Tempo hari saya mendengarkan cerita dari seorang teman yang begitu menderita memikul beban ini. Setiap bulan dia harus ke psikiater dan menebus obat yang harganya tidak murah.
Tidak Beranak
Di sisi lain, saya juga pernah mendengar sebuah cerita tentang keluarga yang memilih tidak beranak karena alasan yang unik. Mereka mengatakan lebih memilih tidak mempunyai anak karena tidak rela jika anaknya lahir di tengah dunia yang kacau. Bagi mereka, dunia dan kondisi kehidupan kita saat ini, sangat tidak ramah anak. Melahirkan anak ke dunia, bagi mereka, sama saja dengan menjerumuskan mereka ke kehidupan yang mencelakakan.
Ada juga yang memilih untuk tidak berketurunan karena belum siap untuk mengasuh dan membimbing anak. Termasuk beberapa yang belum siap secara ekonomi. Keputusan untuk tidak beranak pun diambil karena untuk memastikan keluarga kecil bisa mendapatkan kebahagaiaan yang lebih maksimal. Hadirnya anak disadarinya akan memengaruhi pola perhatian pasangan dan pola pembagian peran, diantara domestik dan publik.
Tentu saja, keputusan untuk beranak atau tidak bukanlah keputusan final seumur hidup. Setiap pasangan mempunyai komitmen bersama yang bisa terus dibicarakan sepanjang relasi itu masih berjalan. Termasuk jika sepakat untuk melanggengkan keputusan awal. Lagi-lagi, bergantung pada situasi dan kondisi yang terus berkelindan
Seberapa alasan-alasan itu kadang terdengar berlebihan dan tidak masuk akal, bukankah realitasnya ada di sekitar kita. Pilihan-pilihan tersebut tentu saja berkaitan keragaman realitas, konteks, dan hidup individu, yang dalam perdebatan kerap disederhanakan dengan rumusan yang berbau teologis dan teleologis.
Alih-alih mendengarkan dengan seksama setiap narasi dan cerita tentang pilihan itu, kita kerap terjebak pada alasan yang berdasar pada narasi besar. Narasi besar ini selalu mengandung logika biner antara baik atau tidak baik, normal atau menyimpang, sesuai kodrat atau menyalahinya, islami atau tidak, dan sebagainya.
Bukankah lebih baik jika kita mendengarkan setiap narasi itu dari perspektif yang lebih memanusiakan. Yakni dengan segenap perhatian, empati, dan kebertautan rasa.
Kenapa setiap pilihan yang berdasarkan pengalaman dan pengetahuan individu, kita lalu kerap menghubungkannya dengan narasi-narasi besar yang menggenaralisir? Sebagai pertimbangan sih boleh saja, tapi jika untuk menghakiminya, buat apa? Dan bukankah setiap keputusan itu pada masanya juga akan menemukan titik-titik ubahnya sendiri? ***