Waspada! Pelaku Kekerasan Seksual Adalah Orang Terdekat

First slide

6 Oktober 2022

Oleh: Abdul Rosyidi

Seorang bapak tega melakukan kekerasan seksual kepada anaknya sendiri. Seorang paman berkali-kali memperkosa keponakannya. Kakek-kakek tega mencabuli cucunya sendiri. Di tempat lain, guru melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya. Sementara itu, seorang ustadz dan pengajar agama menghamili santri-santrinya.

Hari ini, peristiwa seperti di atas sering terjadi. Sudah tidak lagi menjadi kejadian yang langka. Peristiwa keji tersebut berulangkali kita dengar, kita lihat, dan pelakunya tak lain adalah orang-orang di sekitar kita.

Belum lama masyarakat Cirebon digegerkan oleh berita seorang bapak memperkosa anak tirinya. Pelaku yang merupakan oknum anggota polisi tersebut akhirnya ditahan setelah ibu korban bersuara dan melaporkan suaminya sendiri.

Kemarin saya berbincang dengan warga di sekitar tempat peristiwa. Ternyata, kasus-kasus seperti demikian tidak terjadi satu dua saja. Ada banyak kasus serupa dengan berbagai latar belakangnya. Dan yang lebih banyak lagi adalah yang tidak diketahui, tidak dicatat, dan tidak dilaporkan ke lembaga layanan terkait maupun penegak hukum.

Kasus oknum polisi itu semakin menambah deretan kejadian serupa di mana pelakunya adalah orang terdekat korban.

Selama ini kita mengetahui bahwa kekerasan seksual hanya dilakukan oleh orang yang tidak pernah dikenal. Seperti kekerasan seksual di fasilitas umum atau di jalan-jalan seperti begal payudara, cat calling, dan sebagainya. Anggapan itu tidak sepenuhnya benar karena kebanyakan kasus kekerasan seksual justru terjadi di dalam ruang yang lebih kecil: keluarga dan lingkungan terdekat.

Memang benar kekerasan seksual di ruang publik kerap dilakukan orang yang tidak dikenal. Akan tetapi jangan lupa kekerasan seksual juga terjadi, bahkan kebanyakan, terjadi di ruang keluarga. Dalam ruang tersebut, kekerasan seksual kerap tidak mudah untuk diidentifikasi.

Child-Grooming

Susianah Affandy dari Keluarga Kongres Wanita Indonesia menyebut kurang lebih ada tiga penyebab anak sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual. Pertama, anak mudah dipengaruhi oleh iming-iming pelaku, terlebih bila ada hubungan keluarga atau lingkungan pendidikan. Kedua, anak tidak bisa mengekspresikan secara verbal atas apa yang dialaminya. Ketiga, anak menggantungkan hidupnya kepada pelaku. Dan keempat, anak yang menjadi korban tidak berani untuk melaporkan kekerasan.[1]

Selain empat hal tersebut, anak-anak juga belum sepenuhnya memahami tubuh serta seksualitasnya. Meskipun sudah akil balig (menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah/keluar cairan mani bagi laki-laki), belum tentu anak memahami seksualitas. Akil balig juga bukan jaminan mereka bisa memberikan persetujuan atas aktivitas seksual. Anak juga belum bisa memahami apa yang sebenarnya mereka inginkan atas seksualitasnya.

Undang-undang sendiri membatasi anak dengan usia 18 tahun, akan tetapi masyarakat kita kadung mempercayai bahwa tanda dewasa adalah akil balig. Tanda kesiapan reproduktif pada manusia tidak bisa dijadikan patokan bahwa anak sudah menjadi dewasa, bisa memahami seksualitasnya, dan mampu memberikan persetujuan.

Kekerasan seksual pada anak di ruang keluarga/sekolah/pesantren dimulai dari situasi di mana mereka “dikondisikan”, “dididik”, dan “diajarkan” oleh orang dewasa untuk memberikan persetujuan terhadap tindak kekerasan. Hal ini dimungkinkan karena anak-anak mempunyai ketergantungan yang amat besar terhadap orang dewasa yang ada di sekitarnya. Baik ketergantungan ekonomi, emosi, hingga spiritual yang sangat memengaruhi kelangsungan hidup maupun perkembangan jiwa anak.  

Pengkondisian seperti itulah yang kemudian disebut sebagai grooming. Alisdair A. Gillespie menyebut grooming atau child-grooming sebagai proses dimana seorang anak mempunyai hubungan dekat dengan pelaku (bisa hubungan kekeluargaan, persaudaraan, tetanggaan, lingkungan pendidikan, pertemanan, dan sebagainya). Dalam hubungan tersebut, pelaku kemudian berupaya untuk mendapatkan kepercayaan anak agar si anak “menyetujui” kekerasan.

The process by which a child is befriended by a would-be abuser in an attempt to gain the child’s confidence and trust, enabling them to get the child to acquiesce to abusive activity. It is frequently a pre-requisite for an abuser to gain access to a child.[2]

Alisdair A. Gillespie

Cara untuk mendapatkan kepercayaan anak, dalam setiap kasus kekerasan, tentu saja berbeda-beda. Ada yang dengan modus operandi memberikan imbalan berupa permen, uang, atau benda material lainnya. Modus bisa juga berupa eksploitasi kepatuhan anak terhadap orangtua, hormat dan percaya terhadap paman dan kakek, atau ketaatan mutlak kepada guru/pengajar agama.

Salah satu ciri mencolok dalam proses child-grooming yang berujung pada kekerasan seksual adalah terjadinya seksualisasi pada anak. Seksualisasi adalah proses di mana seksualitas anak (termasuk perasaan seksual, sensualitas, dan sikap seksual) “dibentuk” dengan cara yang tidak sesuai dengan perkembangannya.[3]

Salah satu praktik seksualiasi identik dengan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering dianggap sepele, seperti cat calling, obrolan seksis, bercanda seksis, memegang area tubuh sensual dan memberikan pemahaman yang keliru tentang sensualitas maupun seksualitas anak. Selain itu, seksualisasi juga dilakukan dengan menanamkan moralitas seksual tertentu dan menekankan untuk tidak membicarakan hal-hal seksual dengan orang lain. Di sini terlihat bahwa moral dan ketabuan terkait seksualitas ternyata dimanfaatkan betul oleh pelaku untuk menopang proses seksualisasi.

Dalam konteks ruang yang lebih luas, seksualisasi muncul dalam budaya perkosaan (rape culture) yang tidak menganggap hal-hal tersebut sebagai kekerasan. Penormalan kekerasan seksual bahkan bisa menjadi victim blaming, di mana sumber masalah kekerasan seksual adalah korbannya sendiri.

Dalam obrolan kemarin, dengan bapak-bapak di lingkungan yang sering terjadi kekerasan seksual, saat saya bertanya mengapa, mereka menjawab: “Ini semua terjadi karena perempuannya cantik”, “Kata tetangga, dia sering keluar rumah”, “Dia sering keluar sama temannya yang laki-laki”, ”Mungkin dia maunya begitu”, dan sebagainya.

Dalam situasi serba sulit seperti ini, Negara harusnya hadir untuk membina masyarakat dan keluarga kita yang tergagap-gagap menghadapi masalah kekerasan seksual. ***


[1] Akhmad Muawal Hasan, Orang Terdekat adalah Pelaku Kekerasan Seksual, akses dari https://tirto.id/orang-terdekat-adalah-pelaku-kekerasan-seksual-cjBL pada Kamis, 6 Oktober 2022.

[2] Samantha Craven, Sarah Brown, and Elizabeth Gilchrist, Sexual grooming of children: Review of literature and theoretical considerations, Journal of Sexual Aggression (November 2006), Vol. 12, No. 3, 288.

[3] Trauma Akibat Kekerasan Seksual pada Masa Kanak-kanak, akses dari https://umahramah.org/trauma-akibat-kekerasan-seksual-pada-masa-kanak-kanak/ pada Kamis, 6 Oktober 2022.

Share to :