UR Ajak Mahasiswa Pahami Potensi dan Risiko Bermedsos

First slide

18 September 2025

Oleh: Mahirotus Shofa

Kemudahan dalam mengakses informasi di internet sejalan dengan meningkatnya potensi kekerasan, khususnya terhadap perempuan di media sosial (medsos). Fenomena ini menjadi keresahan tersendiri bagi sebagian mahasiswa UIN Syekh Nurjati Cirebon.

Menanggapi isu tersebut, pada Rabu, 17 September 2025, Himpunan Mahasiswa Sosial (HIMASOS) UIN Syekh Nurjati Cirebon berkolaborasi dengan Umah Ramah mengadakan kajian bertema “Feminisme Digital: Representasi dan Perlawanan Perempuan di Media Sosial.” Kajian ini dihadiri oleh 30 Mahasiswa yang terdiri dari mahasiswa perempuan dan laki-laki.

Dalam pemaparannya, pendiri Umah Ramah, Asih Widyowati, mengawali penjelasan dengan mengajak para mahasiswa untuk lebih peduli dan melek terhadap teknologi, mengingat mereka lahir di era digital yang serba terhubung.

Ia menyampaikan kalau lahir pada era ini ibarat pisau bermata dua, di satu sisi, dunia digital memberi peluang besar untuk mengembangkan diri, di sisi lain, ada risiko besar juga yang harus dipahami.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya  kehati-hatian dalam menggunakan media sosial, apa lagi jika itu melibatkan orang lain, sekalipun itu artis. Hal yang dianggap sebagai candaan atau hiburan oleh sebagian orang, bisa saja menimbulkan ketidaknyamanan atau bahkan dianggap sebagai pelecehan oleh pihak lain.

Ia mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi di dunia digital harus diiringi dengan pemahaman terhadap dampak dan risiko yang mungkin timbul.

“Kalau kita melakukan sesuatu, kita harus paham risikonya, jangan maunya bebas tapi tidak paham dampak atau risiko dari bebasnya itu, pahami itu.” tegasnya.

Asih Widyowati juga menjelaskan bagaimana kenyamanan setiap individu memiliki konteks yang berbeda-beda. Namun, dalam praktiknya, masyarakat sering kali menetapkan indikator baku yang justru menormalisasi nilai-nilai yang mengandung kekerasan, diskriminasi dan ketidakadilan.

Nilai-nilai tersebut seolah diterima begitu saja tanpa mempertanyakan asal-usulnya atau dampaknya terhadap orang yang mengalaminya.

Ia menegaskan bahwa jika suatu nilai atau budaya melahirkan ketidakadilan dan kekerasan, maka hal tersebut tidak seharusnya diteruskan.

“Kalau ada nilai atau budaya yang melahirkan ketidakadilan dan kekerasan itu jangan diteruskan. Ingat ya, kalau itu buatan manusia dan itu melahirkan ketidakadilan, itu sangat bisa diubah, jadi ayo kita perbaiki lagi,” ajaknya.

Kajian ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang berlangsung aktif. Satu di antaranya mempertanyakan apakah terdapat undang-undang yang secara khusus membatasi perilaku dalam bermedia sosial, serta bagaimana regulasi tersebut melindungi pengguna dari kekerasan daring.

Peserta juga mempertanyakan apakah konsistensi dalam menampilkan diri di media sosial merupakan sebuah keharusan, atau justru bisa menjadi beban. Selain itu, muncul pula pertanyaan penting: bagaimana jika seseorang telah berhati-hati dan menjaga perilakunya di media sosial, namun tetap menjadi korban kekerasan seksual secara daring?

Setelah menjawab pertanyaan, Asih menutup sesi dengan menegaskan kembali bahwa gerakan feminis bukan hanya gerakan perempuan, tapi gerakan kemanusian. Gerakan yang tidak melihat hanya laki-laki atau perempuan, tapi gerakan bersama memperjuangkan kemanusiaan, termasuk bagaimana menciptakan ruang media sosial yang aman bagi kita semua tanpa kekerasan. []

Share to :