Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di pesantren. Sudah terlalu banyak peristiwa kekerasan ini menunjukkan pentingnya upaya-upaya itu dilakukan oleh semua pihak. Umah Ramah dengan dukungan dari National Organization of Asians and Pacific Islanders Ending Sexual Violence (NAPIESV) melakukan Pelatihan Kesehatan Reproduksi dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren Aisyah, Kempek, Cirebon pada Sabtu-Minggu, 13-14 Agustus 2022.
Dalam kegiatan tersebut, sebanyak 16 peserta, santri perempuan berusia 17-21 tahun belajar bersama untuk Memahami Diri, Tubuh, Kesehatan Reproduksi, Seksualitas, Kekerasan Seksual, Trauma, dan Membangun Ruang Aman Bersama.
Direktur Umah Ramah, Asih Widiyowati, menyebut pelatihan tersebut tidak lepas dari hasil penelitian Umah Ramah di tahun 2021 yang menunjukkan tingginya angka kekerasan seksual di pesantren.
“Saat kami katakan angka kekerasan seksual tinggi, orang beranggapan di pesantren banyak terjadi pencabulan dan pemerkosaan. Padahal persisnya bukan itu. Yang paling banyak itu kekerasan seksual yang dianggap kecil dan biasa saja. Tapi ini justru yang berbahaya,” katanya.
Hal tersebut menunjukkan kekerasan seksual sudah membudaya sehingga masyarakat kerap membiarkan, menganggap biasa, dan menormalisasinya. Kekerasan seksual yang ramai di media dan menjadi perhatian publik karena peristiwanya yang dianggap luar biasa hanya tampilan puncak gunung es saja. Di bawah puncak itu, kita tidak pernah tahu.
Normalisasi berangkat dari cara pandang yang keliru terhadap seksualitas. Normalisasi juga hidup di dalam suasana batin masyarakat yang menabukan seksualitas. Selama masalah tersebut belum dipahami dan diurai, kekerasan seksual akan terus terjadi.
“Seksualitas seringnya dianggap tabu atau saru. Padahal itu kan melekat dengan diri dan tidak bisa dipisahkan. Santri jarang mendapatkan pengetahuan seksualitas. Dengan mengajak mereka belajar seksualitas, semoga menjadi jalan untuk bersama-sama mencegah kekerasan seksual,” lanjutnya.
Penanggung Jawab Pelatihan, Mahirotus Shofa, mengatakan, tidak hanya santri perempuan yang mendapatkan pelatihan, tetapi ke depannya santri laki-laki juga akan mendapatkan pelatihan yang sama. Sebab kekerasan seksual adalah masalah bersama yang perlu mendapatkan perhatian dari semua orang, semua jenis kelamin. Siapapun bisa mengalaminya dan setiap orang harus berperan untuk menciptakan ruang aman di lingkungannya masing-masing.
“Ruang aman itu tidak tersekat tembok, tapi ada di dalam hidup sehari-hari. Ruang aman itu adalah orang-orang yang bersama-sama saling mendukung, memberikan perhatian, cepat tanggap, dan siap sedia menolong, sehingga menciptakan rasa aman bersama. Bukan malah menyalahkan orang yang mengalami kekerasan seksual,” katanya. []