Oleh: Winarno
Anak cowok ko cengeng seh. Laki-laki ko di rumah terus. Pria ko gak bisa panjat pohon. Suami ko takut sama istri. Cowok kalau berkendara motor/ mobil itu harus cepat, masa pelan seh, dasar cemen.
Di berbagai ruang, waktu dan lapisan. Seringkali kita mendengarkan pernyataan-pernyataan itu. Baik di keluarga, lingkup pendidikan, pertemanan, masyarakat, termasuk di media sosial (medsos) kita
Yang pada akhirnya, mau tidak mau, sadar dan tak sadar. Anggapan keberadaan laki-laki dituntut atau dipaksa harus kuat, mendominasi, tidak boleh mengungkapkan perasaannya, dan lain sebagainya.
Itulah problem toxic masculinity. Dimana laki-laki yang dikonstruksi untuk memiliki karakter, peran, atau perilaku maskulin beracun.
Apa itu toxic masculinity?
Menurut Terry A. Kupers, toxic masculinity merupakan suatu istilah yang menggambarkan tekanan dalam sistem sosial dan budaya berkaitan dengan aspek-aspek penguasaan, mendorong dominasi, dan merendahkan pada “the other” yang tidak memiliki maskulin dominan.
“The term toxic masculinity is useful in discussions about gender and forms of mas-culinity because it delineates those aspects of hegemonic masculinity that are sociallydestructive, such as misogyny, homophobia, greed, and violent domination; and thosethat are culturally accepted and valued.”[1]
— Terry A. Kupers
Dari pengertian di atas, menurut penulis ada tiga dampak yang ditimbulkan dari toxic masculinity, yakni:
Kesehatan Mental
Toxic masculinity membuat laki-laki sangat kesulitan menyalurkan emosinya, dan mengungkapkan kesedihannya. Karena bagi masyarakat “patriarki”, laki-laki tidak boleh cengeng, harus kuat menghadapi segala masalah kehidupan.
Menurut Desvira Jufanny dan Lasmery RT Girsang ketika laki-laki yang dikonstruksi tidak boleh menangis, mereka tidak memiliki wadah untuk menyalurkan emosinya. Nah ketidakmampuan inilah yang membuat mereka terjebak dalam maskulinitas yang beracun. [2]
Mengutip Social Psychological and Personality Science dari tulisannya Eka Amira “Tak bisa Dianggap Remeh, Ini 5 bahaya Nyata dari Toxic Masculinity” menyebutkan penekanan emosi ini dapat menyebabkan laki-laki bersikap agresif.[3] Sehingga hal ini dapat mengancam pada persoalan relasi, baik pasangan, keluarga, pertemanan dan lainnya.
Dalam kasus lainnya, laki-laki cenderung memilih diam, menyendiri dan kecil kemungkinan mencari bantuan kepada yang lain ketika menghadapi masalah sosial. Ketakutan-ketakutan menyelimutinya, dan tetap mempertahankan maskulin-negatif.
Hal ini membuat maskulinitas meracuni pikirannya, sehingga merusak mentalnya. Pengekangan semacam inilah yang mengganggu kesehatan mental bagi laki-laki, disadari atau tidak.
Laki-laki bisa jadi korban
Tuntutan-tuntutan menjadi pria kuat, harus dominan, tidak menangis juga menjadi beban bagi laki-laki yang kurang kuat secara fisik, lemah lembut, dan mudah menangis. Laki-laki semacam ini bisa disingkirkan, diperlakukan tidak adil dalam lingkup pertemanan, keluarga, dan masyarakat. Perlakuannya bisa di-bully, diejek, hingga bentuk kekerasan fisik, hingga seksual.
Tak hanya itu, toxic masculinity juga membuat laki-laki itu cenderung tidak berani mengungkapkan perlakuan itu. Jika pun terungkapkan, peristiwa kekerasan tersebut meragukan. Justru dari pengungkapan inilah, mereka (korban) justru memperoleh stigma karena menentang maskulinitas. Dianggap payah, kurang macho, dan bukan laki-laki seutuhnya.[4]
Oleh karena itu, kekerasan berbasis gender bisa menimpa siapa saja, termasuk pada laki-laki. Sebab laki-laki semacam ini dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas.
Kekerasan seksual
Terjeratnya toxic masculinity ini membuat mereka tidak dapat mengelola atau mengontrol emosinya, sehingga laki-laki cenderung akan meluapkan emosinya dengan kemarahan, bahkan tidak jarang hal ini diluapkan dalam beragam bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Budaya patriarki membangun konstruksi bahwa laki-laki merupakan sosok yang kuat, berani, memiliki posisi tawar dan berkuasa yang lebih atas perempuan. Sehingga akan sangat sulit terjadinya persetujuan (consent).
Hal ini pun ditegaskan Eka Amira bahwa toxic masculinity mendidik laki-laki untuk menggunakan kemampuan mereka dengan cara dominasi atas perempuan. Penegasan dominasi mereka, salah satunya melalui kekerasan seksual.[5]
Salah satu unsur lainnya terjadinya kekerasan seksual ialah relasi kuasa. Relasi kuasa bisa dilihat baik dalam sistem hierakis, yang meliputi posisi atau jabatan tinggi rendahnya. Kemudian relasi kuasa bisa dilihat dari status sosial, ras, bahasa, budaya, pengetahuan, ekonomi, agama, usia, hukum dan Negara.
Dari penjelasan di atas, maka consent dan relasi kuasa ini merupakan salah satu akibat dari kuatnya budaya toxic masculinity pada laki-laki di dalam kehidupan atau sistem patriarki kita saat ini.
Pencegahan
Sejatinya semua manusia, baik laki-laki, perempuan atau “yang lain” pada dasarnya memiliki karakter atau perilaku maskulin. Nah perbedaan maskulin tentu bervariasi, tidak tunggal, tergantung lokus, culture, sejarah, ras, dan lainnya.
Jadi hal pertama yang kita lakukan untuk mengatasi toxic masculinity adalah merenung dan berefleksi. Apakah kita melakukan toxic masculinity? Jawablah dengan jujur pada diri masing-masing.
Berikutnya, baru kita dapat memikirkan apa yang ingin kita ubah dari pola pikir dan tindakan kita? Karena perubahan selalu dimulai dari diri sendiri, maka ketika memulai sangat penting untuk terus belajar dan mendengarkan.
Dari sini kita bisa mempraktikannya perlahan-lahan, tapi pasti. Terkadang orang lain tidak melihat dari ungkapan, tapi tindakannya.
Jadi adil gender bukan hanya dipahami, tetapi diamalkan. Bentuknya pun bisa beragam. Implementasinya minimal bagi diri sendiri, baru mengajak keluarga, lingkungan sekitar dan yang lain.
Berilah kebebasan pada anak-anak kita dalam mengungkapkan emosi dan pendapatnya, tanpa melihat jenis kelamin. Jangan menghentikan anak-anak ketika meluapkan emosinya, kesedihannya. Biarkanlah sejenak. Setelah berhenti, baru kita ajak bicara.
Ajarkan pula nilai-nilai egaliter di lingkup keluarga dan lingkungan sekitar kita. Beri juga pemahaman bahwa laki-laki, perempuan dan “yang lain” itu sama. Sama-sama sebagai manusia. Ajarkan pula bahwa urusan domestik dan publik itu bisa dilakukan oleh semua manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Semoga kita bisa terhindar dari toxic masculinty.
[1] Terry A Kupers, Toxic Masculinity as a Barier to Mental Health Treatment in Priso, (Wiley Online Library, Journal of Clinical Psychology Volume 61 Issue 6, June 2005) hlm 716.
[2] Desvira Jufanny dan Lasmery RT Girsang, Toxix Masculinity dalam Sistem Patriarki: Analisis Wacana Kritis Van Dijk dalam Film “Posesif”, Jurnal SEMIOTIKA, Vol. 14 (No 1) Tahun 2020, hlm 9
[3] Eka Amira, Tak bisa Dianggap Remeh, Ini 5 bahaya Nyata dari Toxic Masculinity. Diakses dari Idntimes.com pada hari Senin, 17 Oktober 2022.
[4] Abdullah Faqih, Intan Kusumaning Tiyas, dan Rizka Antika, Glorifikasi Sifat Maskulin: Bumerang Penanganan Kekerasan Seksual pada Laki-laki. Diakses dari magdalena.co pada hari Selasa, 18 Oktober 2022
[5] Eka Amira, Tak bisa Dianggap Remeh, Ini 5 bahaya Nyata dari Toxic Masculinity. Diakses dari Idntimes.com pada hari Kamis, 20 Oktober 2022.