SIAPA KAMI

Umah Ramah (UR) adalah impian pasangan Asih Widiyowati dan Abdul Rosyidi, yang telah bekerja dan menulis tentang isu-isu Kesehatan Reproduksi selama lebih dari satu dekade, dan bermimpi membangun gerakan Kesadaran Kesehatan serta Hak Seksual dan Reproduksi di Indonesia. Impian mereka berkembang dan pada tahun 2020 secara resmi meluncurkan Umah Ramah sebagai Yayasan Nirlaba dengan dukungan awal dan berkelanjutan dari National Organization of Asian and Pacific Islanders Ending Sexual Violence (NAPIESV)

Dalam perkembangannya, jumlah penggiat terus bertambah, baik perempuan muda, laki-laki maupun kaum queer. Selain penggiat inti, relawan juga berperan besar dalam organisasi dalam memperluas jangkauan Umah Ramah di masyarakat. Relawan direkrut dari komunitas dan alumni Sekolah Sudhamala pada tahun 2023. Penggiat dan relawan Umah Ramah aktif menjadi pembicara di berbagai acara, menggelar pelatihan dan diskusi, melakukan penelitian, menerbitkan buku, berkampanye di media sosial, dan mendampingi anggota masyarakat yang mengalami kekerasan seksual. Dengan bantuan dari Nina Jusuf (Co-Founder NAPIESV) dan Husein Muhammad (Ulama Feminis Muslim), kami berkomitmen untuk melanjutkan gerakan mengakhiri kekerasan seksual.

NILAI, VISI DAN MISI KAMI

Organisasi kami mempunyai visi untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang bebas dari kekerasan, adil, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Misi kami adalah mengakhiri kekerasan seksual, melalui:

  • Penelitian tentang Kekerasan Seksual; meliputi akar penyebab dan dampaknya pada individu dan komunitas melalui lensa budaya dan keyakinan/agama setempat
  • Menemani individu-individu yang pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang rentang kehidupan

UR mendengarkan dan mengutamakan kepemimpinan/suara individu yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam mengembangkan analisis, strategi kerja, dan membangun ruang aman di masyarakat.

Kami percaya, mendukung dan mempraktekkan kepemimpinan perempuan dalam organisasi dan ruang dalam gerakan, mengingat kekerasan ini berakar dari ketidaksetaraan gender.

PRINSIP KAMI

Dalam melakukan misi atau kerja-kerja untuk mewujudkan visi tersebut, kami berpegang pada tiga prinsip utama, yakni: Keadilan, Kemanusiaan dan Rahmatan lil ‘Alamin (kasih untuk semesta). 

KEGELISAHAN KAMI

UR memahami bahwa kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang berakar dari kekuasaan dan kontrol; Namun, kekerasan seksual memiliki karakteristik yang tidak bisa disamakan dengan bentuk kekerasan lainnya.

Dampak kekerasan seksual seringkali parah, baik bagi individu yang mengalaminya maupun bagi masyarakat itu sendiri karena berkaitan dengan seksualitas, hal seringkali menjadi topik yang tidak dapat dibicarakan (tabu) dalam beberapa budaya dan kepercayaan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memasukkan faktor budaya dan kepercayaan ketika kita bekerja dalam mendukung individu yang mengalami kekerasan seksual dan komunitas tempat mereka berada.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan kepada kita selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual pada setiap harinya. Tahun 2012 mereka mencatat ada 135.170 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan sebanyak 4.336 adalah kekerasan seksual.

Tahun 2013 total 180.746 kasus kekerasan terhadap perempuan, 5.629 adalah kekerasan seksual. Tahun 2014 total 185.458 kasus kekerasan terhadap perempuan, 4.457 adalah kekerasan seksual. Tahun 2015 total 204.794 kasus kekerasan terhadap perempuan, 6.499 adalah kekerasan seksual. Tahun 2016 total 163.116 kasus kekerasan terhadap perempuan, 5.765 adalah kekerasan seksual. Tahun 2017 total 230.881 kasus kekerasan terhadap perempuan, 5.293 adalah kekerasan seksual.

Tahun 2018 total 280.185 kasus kekerasan terhadap perempuan, di mana 4.658 kasus adalah kekerasan seksual. Tahun 2019 total 302.686 kasus kekerasan terhadap perempuan, 4.829 adalah kekerasan seksual. Tahun 2020 total ada 226.062 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan 2.903 diantaranya adalah kasus kekerasan seksual. Angka kekerasan terhadap perempuan pada 2020 turun karena ada banyak layanan di pengadilan agama yang tidak berjalan semasa Covid-19.

Angka kekerasan terhadap perempuan pun semakin meningkat dari tahun ke tahun, hingga pada 2021, angkanya menjadi 338.496 kasus, yang merupakan angka gabungan dari Badan Peradilan Agama (BADILAG), Komnas Perempuan, dan lembaga layanan. Jika berdasar aduan yang diterima Komnas Perempuan saja, sebanyak 4.660 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual.

Kekerasan seksual dalam setiap laporan tahunan Komnas Perempuan tersebut menjadi bentuk kekerasan terhadap perempuan yang banyak ditemukan. Pada peringkat pertama kekerasan fisik sebanyak 4.814 kasus (30 %), kekerasan psikis 4.754 (29 %) di urutan kedua, kekerasan seksual (29 %) di urutan ketiga dengan perbedaan tipis, dan kekerasan ekonomi 1.887 (12 %).

Jika dilihat dari ranahnya, kekerasan seksual selalu menjadi yang tertinggi dalam laporan setiap tahunnya di ranah publik. Sementara di ranah personal/privat/rumah tangga, kekerasan seksual menempati posisi kedua atau ketiga. Mengingat masih sedikit orang di dalam ranah domestik tersebut yang mau melaporkan. Juga karena masyarakat maupun aparat penegak hukum kita masih belum menerima istilah kekerasan seksual atau perkosaan di dalam perkawinan (marital rape).

Kita semua tahu bahwa data ini berasal dari kasus yang dilaporkan ke lembaga negara dan layanan sosial terkait. Sedangkan jumlah kasus yang tidak dilaporkan/tidak tercatat jauh lebih banyak. Kekerasan seksual selalu menjadi fenomena gunung es.

KEKERASAN SEKSUAL DI PESANTREN

Seluruh anggota UR merupakan alumni Pesantren atau memiliki pengalaman hidup dalam komunitas Islam yang ketat. Pengalaman ini mendorong kami untuk merumuskan analisis yang jelas tentang Kekerasan Seksual di Pesantren ketika media mulai meliput dan mengangkat isu tersebut. Kami sangat prihatin dengan tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi di pesantren. Tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi para remaja dan anak muda untuk belajar.

Komnas Perempuan dalam siaran persnya pada 27 Oktober 2020, menyatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan kedua dengan kasus kekerasan seksual terbanyak (19%). Urutan pertama, kekerasan seksual terjadi di Perguruan Tinggi (27%). Fakta kekerasan seksual di pesantren juga dilaporkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahwa selama tahun 2017-2019, kasus pencabulan anak yang terjadi di pesantren cukup tinggi, meskipun tidak semuanya dilaporkan.

Kasus demi kasus kekerasan seksual di pesantren semakin santer diberitakan di media. Hasil penelitian kami di tahun 2021 juga menunjukkan bahwa kekerasan seksual banyak terjadi di pesantren.

Data ini dan berdasarkan hasil penelitian kami dan sesi mendengarkan, semakin meyakinkan kami bahwa kekerasan seksual terjadi di mana-mana, di semua ruang. Kami yakin jika hal ini tidak diselesaikan, akan membawa bahaya laten bagi generasi penerus kita.