Oleh: Abdul Rosyidi
Pada saat peristiwa kekerasan seksual terjadi, salah satu pertanyaan besar kita barangkali adalah kenapa ada orang yang tega melakukan itu kepada orang lain? Dari berbagai peristiwa, kami diyakinkan bahwa peristiwa kekerasan seksual tidak akan pernah lepas dari seksualitas. Pengetahuan kita tentang kekerasan seksual, dengan begitu selalu berkait dengan pemahaman kita tentang apa itu seksualitas?
Kekerasan seksual biasanya akan selalu dikaitkan dengan peristiwa kekerasan, di mana aspek pemaksaan kehendak, menyakiti dan merugikan orang lain menjadi perhatian utama. Akan tetapi, pemahaman terhadap “yang seksual” pada tubuh dan diri manusia serta kebudayaan telah sekian lama luput dari perhatian. Bagaimana “yang seksual” itu mengada di tengah kehidupan manusia?
Di UR, kami banyak belajar untuk mengurai. Obrolan kita tentang seksualitas tidak pernah habisnya. Minggu-minggu ini kami bersua dengan pengetahuan bahwa Diri terdiri dari kualitas-kualitas, seksualitas, intelektualitas, dan spiritualitas. Kualitas-kualitas tersebut tidak bisa dipisah-pisah seperti tidak terpisahkannya tubuh, akal, dan jiwa. Bagian-bagian itu juga bukan sebuah hierarki di mana yang satu lebih unggul dibandingkan yang lain.
Manusia disebut sebagai makhluk yang berpikir, namun manusia juga disebut sebagai makhluk seksual. Sebagai makhluk seksual, manusia dianugerahi Allah dengan naluri dan hasrat seksual untuk kesenangan diri dan memungkinkannya untuk melestarikan jenis atau berketurunan (bereproduksi). Hasrat seksual seringkali disalahpahami sebagai naluri biologis manusia yang membuatnya sama dengan binatang. Penyaluran hasrat ini, meskipun satu sisi dinikmati, akan tetapi di sisi lain juga dilaknat sebagai manifestasi dari perilaku yang rendah seperti binatang.
Banyak orang mengakui, naluri dan hasrat seksual membuat mereka tidak bisa berpikir dan kehilangan kontrol atas diri. Akan tetapi kenyataan ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa mempelajari dan menganalisis hasrat tersebut. Bagaimana jika ketidakmampuan kita untuk berpikir tentang seksualitas yang kita alami sebenarnya datang dari upaya memahami yang belum usai? Pada saat ilmu pengetahuan lebih maju dari sebelumnya, norma dan tabu tentang seksualitas terlanjur lebih kita percaya dibandingkan cara memahami yang lebih baik.
Pengetahuan tentang seksualitas sudah berkembang dengan sangat maju. Di dalam biologi sendiri sudah dipelajari tentang evolusi reproduksi manusia. Dalam dunia kesehatan, berkembang bagaimana ilmu memahami organ dan fisiologi anggota tubuh reproduktif, bagaimana cara kita bersenggama yang baik, bagaimana menjaga kesehatan alat reproduksi, dan agar terhindar dari penyakit menular seksual.
Tidak hanya dalam aspek biologis, seksualitas juga mengilhami psikologi untuk mendapatkan pendekatan yang lebih baik dalam memahami jiwa. Filsafat sudah mulai meneliti dan mengkaji hasrat dalam diri dan kebudayaan manusia. Ini semua membuktikan bahwa seksualitas sama sekali bukan sesuatu yang tidak bisa dipahami dan berada di wilayah abu-abu. Seksualitas, sepenuhnya bisa dipelajari, dan pengetahuan tentangnya sangat penting bagi kita untuk memahami kekerasan seksual dengan lebih baik.
Akan tetapi, sebagaimana yang sudah diungkap Michel Foucault, seksualitas menjadi ladang bagi orang-orang berkepentingan untuk mengabadikan kekuasaan lewat pengetahuan, penanaman nilai, moral, dan etika.
Kebudayaan menempatkan seksualitas dengan berbagai macam penafsirannya yang membuat tubuh, sensualitas, naluri, dan hasrat seksual dianggap sebagai hal terpenting bagi keberlangsungan peradaban manusia. Oleh karenanya beberapa pihak merasa penting untuk menjaga “kesucian” seksualitas. Kesucian ini diartikan dengan penanaman aturan-aturan yang tak jarang justru menjauhkan manusia dari kodrat seksualnya.
Semangat agama terhadap seksualitas sebenarnya sangat baik karena ingin mendukung reproduksi manusia, memastikan status janin, dan memastikan tidak ada pihak yang dirugikan. Sayangnya, semangat itu sangat bias patriarkhi. Norma yang tercipta dari ajaran agama selalu mendahulukan kepentingan laki-laki untuk terus menjaga kekuasaannya. Pengetahuan yang dibangun di atasnya, dengan begitu, sangat patriarkhal, kecuali kalau kita di masa ini mampu mengembalikan semangat agama yang sejati dan keluar dari jebakan patriarkhi.
Tidak selesai hanya pada taraf intelektualitas –dengan menjadikannya pengetahuan—seksualitas juga sangat berhubungan dengan spiritualitas manusia. Dalam psikologi dan filsafat, kita sudah mengetahui bahwa kondisi kejiwaan manusia berkait dengan seksualitasnya. Dalam pengetahuan-pengetahuan kuno Nusantara kami juga mendapati bahwa aspek seksualitas selalu digunakan sebagai media bagi manusia untuk memahami kosmologi dan aspek-aspek ilahiah. Kemenyatuan manusia dengan zat yang adikodrati juga sering digambarkan sebagai penyatuan tubuh secara seksual, penyatuan lingga dan yoni ataupun Shiwa dan Sakti. Beberapa aliran dalam ajaran Tantrik bahkan memaknai penyatuan tubuh ini secara harfiah.
Kami di UR belajar memahami itu semua, bahwa baik intelektualitas, seksualitas, dan spiritualitas tidaklah terpisah. Ketiga kualitas itu, meskipun berbeda karena berasal dari tubuh, akal, dan jiwa, akan tetapi mewujud dalam bahasa yang satu: rasa. Lewat rasa itu, kami belajar untuk menginternalisasi juga mentransmisikan pengetahuan dan pengalaman tentang rasa kepada teman-teman, terutama mereka yang mengalami kekerasan seksual.
Lewat rasa kami menyimpan asa, bahwa semua manusia mempunyai potensi-potensi itu, kualitas-kualitas itu, dan oleh karenanya semua orang niscaya mampu untuk “mengurai”. []
Caption foto: ilustrasi relief “tapal kuda” di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah.