Struktur sosial terkecil masyarakat dalam keluarga tradisional di Cirebon terdiri dari relasi antara laki (suami) dan rabi (istri). Relasi keduanya disebut soma, yang merupakan serapan dari bahasa Jawa Kuno, somah. Lidah orang Cirebon melafalkan kata somah dengan menghilangkan suara huruf “h” sehingga dalam praktik kebahasaan sehari-hari, somah diucapkan dengan soma. Hilangnya suara “h” banyak terjadi dalam dinamika kebahasaan di Cirebon. Contohnya kata mutah, wayah, wadah, tadah, diucapkan dengan menghilangkan suara “h” nya menjadi muta, waya, wada, tada, dan sebagainya.
Dalam pelafalan sehari-hari saya juga sering mendengar ungkapan misalnya: “karo soma” yang kurang lebih berarti suami/istri sedang bersama pasangannya, lalu kata “sesoma” yang kurang lebih berarti sepasang suami-istri.
Menariknya, kata soma tidak mempunyai padanan yang benar-benar pas dalam bahasa Indonesia. Mungkin yang paling mendekati adalah istilah suami-istri. Saya katakan mendekati karena keduanya benar-benar tidak sama. Sepintas, kata suami-istri tidak menunjukkan kesatuan antara dua unsur yang berbeda melainkan hanya penggabungan antara dua entitas yang sama-sama masih berada dalam ke-diri-annya.
Dalam hal ini, meskipun telah disatukan, suami tetaplah suami dan istri tetaplah istri. Penggabungan keduanya tidak menyucikan diri masing-masing untuk kemudian melebur dalam satu entitas baru yang manunggal.
Berbeda, istilah soma atau somah menunjukkan bahwa penggabungan tersebut sudah menghilangkan entitas masing-masing. Sudah tidak ada lagi laki maupun rabi dalam kata tersebut. Karena keduanya sudah melebur, menyatu dan membentuk realitas baru yang menghilangkan kedirian masing-masing unsurnya. Begitupun seharusnya dalam kehidupan nyata, orang yang sudah mengikatkan diri dalam soma atau menikah hendaknya belajar untuk terus menghilangkan sifat kedirian atau egoisme. Karena tujuan menikah bagi orang Cirebon adalah brayan urip (hidup bersama dalam suka dan duka).
Dalam kamus Indonesia-Jawa Kuno (Depdikbud; 1992), somah mempunyai dua arti. Pertama, berarti istri, sepadan dengan istilah Jawa Kuno rabi dan bini. Kedua, berarti baik, sepadan dengan istilah Jawa Kuno, somya dan saddhu. Dalam arti yang kedua, konsep soma bisa kita artikan sebagai relasi antara laki dan rabi yang melahirkan kebaikan. Kebaikan yang dimaksud adalah somya dan saddhu. Somya berarti tenang, ramah, manis, elok, serta menarik, sementara saddhu berarti mulia dan berbudi luhur.
Dari makna-makna kebahasaan ini, kita bisa mengartikan bahwa kehidupan bersama orang lain dalam soma akan membuat kita belajar untuk mengikis egoisme. Soma bisa membimbing manusia untuk melebur kedirian untuk kemudian menyatu tanpa aku. Kemenyatuan ini dalam taraf tertingginya akan tercermin lewat laku, berupa kebaikan, kedamaian, ketenangan, serta budi pekerti dan perilaku yang mulia.
Spritualitas Soma
Jika kita telusuri, istilah soma yang masih digunakan secara aktif oleh masyarakat Cirebon merupakan pengaruh dari kebudayaan pra-Islam, terkhusus kebudayaan Hindu Nusantara. Kebudayaan ini tidak luntur begitu saja meskipun pada kemudian hari berbagai kebudayaan dan agama baru datang ke Cirebon dan dipeluk hampir seluruh penduduknya hingga kini. Maka tidak salah jika pelacakan makna filosofis dari bahasa Jawa Kuno ini kita cari dalam ilmu kuno orang Nusantara, tantra.
Dalam bukunya, I Ketut Sandika, praktisi dan penulis buku “Tantra: Ilmu Kuno Nusantara”, mengartikan somya dengan situasi “terkendali”-nya hasrat. Menurutnya, pengendalian hasrat, keangkuhan, dan egoisme tidak akan terwujud melalui nasihat-nasihat, kata-kata bijak, ataupun keberlimpahan materi, melainkan lewat pengalaman kemenyatuan. Dalam hal ini, di dalam soma, unsur kemenyatuan tersebut adalah sanggama.
Mungkin masih banyak dari kita akan terhenyak dengan istilah sanggama. Iya, sanggama sering disalahartikan, disalahpahami, bahkan distigmatisasi. Sanggama dipandang sebagai penghalang bagi manusia untuk meniti jalan spiritual. Banyak orang masih memandang sebelah mata sanggama, menabukan seksualitas, dan memilih untuk membuatnya tetap menjadi sesuatu yang tak pernah dibicarakan.
Orang-orang tua kita akan menutup mulut rapat-rapat saat anaknya bertanya tentang hal alamiah dan manusiawi seputar sanggama. Dan mereka pun akan berkata: “nanti kamu juga tahu sendiri”. Seksualitas yang naluriah itu semakin dipinggirkan dari permukaan peradaban Nusantara bahkan dipisahkan dari spritualitas, selama berabad-abad lamanya. Spritualitas dan seksualitas lalu dihakimi beramai-ramai sebagai dua hal yang tak mungkin bersatu. Nah, dalam tantra, kedua hal ini justru berkait erat.
Tantra meyakini bahwa dorongan seksual adalah anugerah dari Tuhan yang membuat kita menjadi manusia. Hasrat seksual manusiawi belaka. Dan tidak ada seorangpun yang bisa menampiknya. Menurut Ketut Sandika, pengekangan terhadap naluri seksual bisa membuat sebuah “ledakan seksual” yang mendorong manusia melakukan perbuatan keji dan kekejaman.
Dalam tantra, sanggama tidak berusaha mengekang hasrat seksual, melainkan melampauinya. Sanggama yang dimaksud bukan perbuatan yang hanya ingin melampiaskan nafsu birahi dan mencapai kenikmatan belaka, melainkan sanggama dengan penuh kesadaran akan menyatunya energi maskulin dan feminin.
Dengan begitu, makna spiritual soma lebih dalam dari sekadar penyatuan dua tubuh. Bisa dikatakan, secara simbolik, soma adalah penyatuan dua esensi (maskulin dan feminin) melalui penyatuan tubuh (sanggama). Makna soma yang demikian sangat spiritual sekaligus substansial. Makna yang mungkin sudah tidak disadari lagi oleh para pengucap bahasa Cirebon, yang masih menyebutkan kata soma dalam keseharian.
Soma merupakan penyatuan yang bisa membawa manusia pada kondisi tertinggi kemanusiaan, tapi juga sebaliknya kondisi terendah kemanusiaan. Kondisi terendah terjadi saat penyatuan hanya berorientasi pada tubuh (hasrat libido) saja, sementara kondisi tertinggi bisa dicapai jika penyatuan dilakukan raga sekaligus juga jiwa. Sanggama seperti ini bisa memberikan pengalaman spiritual yang dalam. Pengalaman yang bisa membawa manusia pada kedamaian dan ketenangan (saddhu), mencapai pemahaman tentang kehidupan dan kematian serta mencapai puncak kesadaran bahwa diri adalah bagian tak terpisah dari Sunya. []
Abdul Rosyidi,
Bhumi Linggahara, 10 Maret 2021
Caption: Ilustrasi penyatuan Siwa dan Sakti sebagai simbol penyatuan dua energi, energi maskulin dan feminin. Sumber: Tantra: Ilmu Kuno Nusantara.