Oleh: Abdul Rosyidi
Candi Sukuh terletak di lereng barat Gunung Lawu pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut, tepatnya di Desa Mberjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini sering disebut sebagai The Last Temple. Selepas Majapahit runtuh pada abad XV memang tak lagi ditemui pembangunan candi. Candi ini, bersama Candi Ceto dibangun pada akhir masa Majapahit pada abad ke-15. Candi ini dianggap para peneliti tidak sesuai dengan pakem pembuatan candi atau tempat suci menurut ajaran Hindu. Biasanya candi-candi Hindu menghadap ke Timur, Candi Sukuh menghadap ke Barat. Candi Hindu pun biasanya mengadopsi ruang simetris dengan pusatnya sebagai tempat paling suci, tapi Candi Sukuh menganut arsitektur megalitikum, punden berundak. Sukuh mempunyai tiga teras, Candi Ceto memiliki 11 teras.
Beberapa pengamat mengatakan bahwa ada kultus kembali pada ajaran lokal Jawa pada akhir-akhir masa kerajaan Majapahit. Dalam relief-relief di Candi Sukuh misalnya, muncul cerita asli Jawa tentang Bima, sebagai sosok yang dikultuskan, sebagai penjelmaan dari Siwa, Sang Pencipta. Kultus Bima itu berkaitan dengan sisi maskulinitas-nya yang ditonjolkan secara kasar, dengan ikon-ikon naturalis, bukan relief simbolik yang halus. Hal ini karena Sukuh berada di tengah-tengah petani dengan pemahaman yang tidak sama dengan para intelektual di dalam Keraton. Masyarakat di tengah pedesaan lebih mudah memahami gambar kasar yang naturalis dibandingkan gambar simbolik.
Para peneliti meyakini, di Jawa pada abad ke-15, muncul gelombang untuk kembali pada ajaran-ajaran lokal pada saat Kerajaan Hindu Majapahit mengalami krisis dan pada akhirnya tumbang oleh Demak. Ajaran lokal ini, menurut Denys Lombard dibawa oleh para agamawan (resi) yang keluar dari keraton Majapahit. Mereka kemudian memunculkan kultus baru terhadap Bhima sebagai penjelmaan Shiwa. Pada relief-relief di Candi Sukuh, banyak cerita tentang Bhima, lakon Bhimabungkus dan Bhimaswarga serta sosok Bhima yang maskulin demikian ditonjolkan.
Selain lakon bima, relief juga menceritakan lakon Garudeya dan Sudamala. Garudeya bercerita mengenai Garuda yang mencoba mencari air amarta (air kehidupan) untuk membebaskan kutukan yang menimpa ibunya. Sementara lakon Sudamala bercerita tentang raksasi Durga yang meminta Sadewa untuk membebaskan kutukannya. Raksasi Durga sejatinya adalah Dewi Uma yang dikutuk menjadi raksasi. Cerita durga sebagai raksasi hanya ada di luar keraton, di dalam keraton Durga diceritakan selalu sebagai Dewi, salah satunya adalah Durga Mahisamardini.
Candi Sukuh dipercaya sebagai tempat suci untuk pengruwatan. Sejumlah bukti menegaskan hal ini. Sebut saja misalnya relief lingga-yoni di gapura pertama. Selain berfungsi sebagai “suwuk”, relief ini juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. Selanjutnya, relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” sang Durga, juga relief Garudeya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya bernama dewi Winata. Prasasti tahun 1363 Saka pun menegaskan fungsi ngruwat ini lewat tulisan “babajang maramati setra hanang bango”. Termasuk prasasti tahun 1379 Saka yang mencantumkan kata “pawitra” yang berarti air suci (air untuk pengruwatan). Selengkapnya inilah beberapa makna relief pada candi ini:
Batara Kala dan Buta
Pada gerbang masuk, di atasnya terdapat relief Kala. Kala disimbolkan sebagai pelindung tempat-tempat suci. Pada pipi gapura terdapat relief raksasa sedang menelan manusia yang diintepretasikan sebagai sengkalan memet berbunyi “gapura bhuta mangan wong” atau sama dengan tahun 1359 Saka (1437 M).
Selain relief tersebut, dinding gapura juga dihiasi relief sepasang burung yang hinggap di atas sebatang pohon. Di bawah pohon terdapat seekor anjing, serta relief seseorang sedang berlari dan menggigit ekor seekor ular yang diduga sebagai sengkalan memet berbunyi gapura bhuta anahut buntut atau sama dengan tahun 1359 Saka. Pada dinding gapura juga terdapat relief yang melukiskan seekor garuda dengan sayap terbuka sedang mencengkeram dua ekor ular yang saling melilit yang dihubungkan dengan kisah Garudeya.
Lingga dan Yoni
Penanda seks pada relief candi-candi di Jawa digambarkan sebagai gentalia pria (phallus), atau yang disebut lingga dan wanita (vulva), atau yoni. Kadang juga penyatuan keduanya dalam persetubuhan (sanggama, koitus). Relief yang ada di lantai gerbang teras I Candi Sukuh ini adalah wujud penggambaran koitus yang naturalis.
Garudeya
Dalam kisah Garudeya diceritakan Garuda adalah putra angkat Dewi Winata. Sang dewi mempunyai saudara yang juga menjadi madunya, yang bernama Dewi Kadru. Dewi Kadru mempunyai beberapa anak angkat yang berwujud ular. Dalam sebuah pertaruhan Dewi Winata dikalahkan oleh Dewi Kadru, sehingga ia harus menjalani kehidupan sebagai budak Dewi Kadru dan anak-anaknya. Garudheya mendapatkan Tirta Amerta (Air Kehidupan) yang menjadi syarat peruwatan atau pembebasan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru dan anak-anaknya.
Sudamala
Sudamala berasal dari ”cuddha-mala” berarti “bersih dari noda dosa”, juga berarti “pelepasan”, yang di dalam pewayangan disebut “ruwat”. Cerita Sudamala mengisahkan tentang Sadhewa, salah satu dari satria kembar di antara kelima satria Pandawa, yang berhasil meruwat (menghilangkan kutukan) dalam diri Dewi Uma, istri Bathara Guru.
Dewi Uma dikutuk oleh suaminya karena tidak dapat menahan kemarahannya terhadap suaminya yang minta untuk dilayani pada saat yang menurutnya kurang layak. Karena menunjukkan kemarahan yang meluap-luap, Sang Dewi dikutuk dan berubah wujud menjadi seorang raksasa bernama Bathari Durga. Durga yang menyamar sebagai Dewi Kunthi, ibu para Pandawa, mendatangi Sadewa dan meminta satria itu untuk meruwat dirinya. Kisah tersebut dituangkan dalam lima panel relief. Cerita Sundamala dipahat di panel-panel lepas yang dahulunya memagari kolam untuk upacara diksa dengan air.
Relief pertama menggambarkan Dewi Kunti palsu yang merupakan penyamaran Bathari Durga yang mendatangi Sadewa dan meminta satria itu ‘meruwat’ (menghilangkan kutukan) dirinya.
Relief kedua menggambarkan ketika Bima, kakak Sadewa, berperang dengan seorang raksasa. Tangan kiri Bima mengangkat tubuh raksasa, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku Pancanaka (senjata pusaka Bima) ke perut lawannya.
Relief ketiga menggambarkan Sadewa, yang menolak untuk ‘meruwat’ Bathari Durga, diikatkan ke sebuah pohon. Di hadapannya berdiri Bathari Durga yang mengancamnya dengan menggunakan sebilah pedang.
Relief keempat menggambarkan pernikahan Sadewa dengan Dewi Pradhapa yang dianugerahkan kepadanya karena berhasil ‘meruwat’ Bathari Durga.
Relief kelima menggambarkan Sadewa beserta pengiringnya menghadap Dewi Uma yang telah berhasil diruwat.
Bhimaswarga
Bhimaswarga menceritakan Bhima membebaskan arwah Pandu, Madrim, orang tuanya, dan arwah-arwah lainnya dari siksaan neraka setelah mengalahkan Dewa Yama. Bhima dilukiskan sebagai wakil Siwa untuk menolong manusia yang berusaha untuk mencapai moksa.
Bhimabungkus
Dalam kisah pewayangan Bhima keluar dari bungkus berkat bantuan Gajah Sena. Gajah Sena yang bersatu dengan Bima dalam bungkus kemudian mampu keluar hingga kemudian dikenal sebagai Bimasena. Salah satu kisah Bhimabungkus menggambarkan adegan Bhima di Candi Sukuh yakni saat Bhima sedang berperang melawan raksasa, pada sudut atas panil tersebut ada inskripsi berbunyi “bukut tirtha sunya” yang berarti “menghormati air suci (untuk mencapai) kehampaan”.
Tapal Kuda
Ornamen yang berbentuk tapal kuda ini bagian atas terdapat hiasan kepala kala dengan janggut panjang. Di kanan-kiri kala terdapat hiasan yang bentuknya seperti makara yang menjulur ke bawah. Di dalam ornament terdapat hiasan dua tokoh yang berdiri berhadapan, di atas seekor naga yang berkepala dua. Tokoh yang di kiri digambarkan bertangan empat, dengan pakaian kebesaran dan bermahkota, berdiri di atas alas atau lapik yang berbentuk seperti perahu, di atas kepala naga. N.J.Krom berpendapat tokoh ini adalah dewa Siwa, sedang tokoh di depannya adalah Arjuna. Stutterheim mengatakan bahwa kedua tokoh tersebut adalah Betara Guru dan Bhima.
Di bawah hiasan dua tokoh yang berdiri berhadapan tersebut terdapat hiasan seorang wanita dengan anak kecil dan di dekatnya terdapat hiasan rumah panggung. Di bawahnya lagi terdapat gambar dua tokoh yang tengah tarik-menarik seakan saling memperebutkan bayi. Gambaran relief tersebut nampaknya menceritakan tentang asal-usul manusia yang diawali dari terjadinya embrio dalam rahim perempuan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan ajaran mengenai dari mana manusia berasal dan kemana kelak manusia akan pergi setelah mati. Di masyarakat Jawa ajaran ini dinamakan “Sangkan paraning dumadi” (asal tujuan penciptaan). Ornamen tapal kuda ini menggambarkan betapa tingginya intelektual dan jiwa seni mereka yang hidup pada masa itu.
Seksualitas Candi Sukuh: Pengantar Diskusi
Candi Sukuh memunculkan banyak relief dan arca yang menggambarkan seksualitas manusia pada zamannya, masyarakat Jawa abad ke-15. Dengan konstruksi masyarakat sekarang, Candi Sukuh sering disalahartikan sebagai candi porno, cabul, vulgar, tidak sopan, amoral, tidak senonoh, melanggar kesusilaan dan sebagainya.
Bagaimana kita bisa memahami alam pikir masyarakat Jawa pada zaman itu? Dan bagaimana kita bisa memahami bias kita sendiri yang hidup di zaman ini saat melihat jejak-jejak peradaban masa lalu?
Sesuatu yang sakral menurut masyarakat Jawa pada zaman itu apakah sama dengan zaman sekarang? Bagaimana perbedaan itu bisa muncul? Dan dari mana pensakralan itu berasal dan bisa dijelaskan?
Sesuatu yang menurut kita senonoh hari ini apakah sama dengan yang senonoh pada zaman sebelumnya? Sebaliknya, apakah yang menurut orang zaman dulu senonoh apakah juga sama menurut kita pada zaman ini?
Dari mana dan bagaimana yang etis dan tidak etis itu muncul? Dan apa hubungannya dengan seksualitas kita hari ini?