Oleh: Abdul Rosyidi
Selibat atau tidak menikah dan hidup membujang memang ada di dalam ajaran Buddhis. Akan tetapi ajaran menjauhi hidup berpasangan dan melakukan hubungan seksual itu hanya ada pada kalangan terbatas, yakni para biksu dan biksuni. Mereka yang memilih untuk memiliki pasangan tetap menjadi bagian dari ajaran Buddha dan menerapkan ajaran-ajaran tentang seksualitas dan hubungan seksual yang baik.
Sangat menarik mencermati bagaimana kita memahami seksualitas, hubungan seksual, dan kenikmatan seksual dari perspektif Buddhisme. Dalam Buddhism and Sex karya M. O’C Walshe, yang diterjemahkan Amri, disebutkan bahwa kenikmatan seksual bukanlah hal yang buruk. Oleh karenanya, kenikmatan seksual sama sekali bukanlah sebuah kejahatan.
Sila ketiga dalam Pancasila Buddhis berbunyi: “Kamesumicchacara veramani sikkhapadam samadiyami“. Biasanya sila ini diartikan “saya menghindari tindakan salah dalam seksualitas.” Akan tetapi, kata “kama” dalam sila ketiga di atas dalam bahasa Pali bermakna tidak hanya hasrat seksual, akan tetapi semua hasrat manusia terhadap daging. Termasuk di dalamnya adalah makan.
Kita juga mesti mengingat bahwa dalam Buddhism tidak ada istilah perintah, pahala atau dosa. Tidak ada balasan Tuhan untuk setiap tindakan yang melaksanakan atau tidak melaksanakan sila. Sila di dalam Buddhisme lebih menunjukkan sebuah ajakan untuk berlatih, dibandingkan sebuah perintah yang mengikat. Sila bukan doktrin akan tetapi seperti rambu-rambu yang diambil dari diri orang yang bersangkutan.
Ajaran Buddhis membedakan antara perbuatan manusia dan hasil dari perbuatan tersebut (vipaka). Apabila perbuatan itu menghasilkan sesuatu yang sesuai maka akan timbul rasa senang, sebaliknya bila tidak sesuai akan menimbulkan rasa tidak senang. Dalam kerangka ini, maka kenikmatan seksual adalah hasil perbuatan atau vipaka, bukan sebuah perbuatan. Jadi kurang tepat jika ada yang mengatakan bahwa kenikmatan seksual adalah sesuatu yang buruk, jahat atau tidak baik.
Begitupun kita tidak bisa mengatakan kenikmatan seksual sebagai hal yang pasti baik. Kita tidak bisa mengatakan terhadap sesuatu yang bukan perbuatan. Apalagi men-stigma subjek perbuatannya dengan berbagai macam penyebutan. Karena tidak bisa disebut, didefinisikan, dihitam-putihkan, perasaan senang (kenikmatan seksual) itu harusnya bisa dinikmati dan dihayati dengan sepenuh hati tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Masalah baru akan muncul jika telah ada kemelekatan pada kenikmatan seksual. Seperti ungkapan “uang bukanlah masalah, yang masalah adalah cinta pada uang.” Kemelekatan pada setiap kama (hasrat akan daging), sama saja dengan kemelekatan terhadap hal lainnya. Ia akan membawa manusia pada karma yang tidak sesuai (akusala). Akusala inilah yang akan membawa masalah pada kehidupan.
Mungkin kita bisa memahami juga bahwa kemelekatan atas daging itulah yang menjadi sumber masalah-masalah seksualitas kita pada hari ini. Kemelekatan itu adalah nafsu dan keinginan yang berlebihan sehingga menghasilkan kesengsaraan pada diri sendiri. Kemelekatan itulah yang dalam Buddhisme akan menciptakan dukkha, perasaan frustasi dan ketidakpuasan terhadap hidup. Dua hal ini adalah sumber dari semua sumber masalah abadi umat manusia dari dulu hingga sekarang.
Kemelekatan pada kama dalam perbuatannya bisa berbentuk perilaku seksual yang tidak pada tempatnya, tidak pada waktunya, berlebihan, dengan kekerasan, atau dengan pemaksaan.
Dalam ajaran Buddhis, hubungan seksual apa pun yang melibatkan kekerasan atau pemaksaan jelas merupakan pelanggaran. Pelanggaran atau kekerasan seksual ini akan membahayakan relasi antar manusia. Termasuk ke dalam pelanggaran itu adalah ketidaksetiaan dan pengkhianatan terhadap komitmen untuk berhubungan seksual, sesingkat apapun komitmen tersebut. Sebab, dari perbuatan itu muncul rasa sakit dan kebingungan pada orang lain. Pelanggaran seksual terjadi saat di sana terjadi perbuatan yang mementingkan diri sendiri dan berakibat pada penderitaan orang lain yang mendapat pengaruh buruknya.
Tanpa melihat hubungan seksual itu ada di dalam pernikahan atau tidak, ajaran Buddhis begitu jelas mengatakan bahwa kekerasan seksual adalah pelanggaran dan kejahatan. Sementara kama (hasrat) dan kenikmatan seksual bukanlah pelanggaran. Jadi, masalah bukan pada kenikmatan seksual, subjek yang melakukan, orientasi seksual, jenis kelamin, ataupun ekspresi seksualitasnya. Akan tetapi pada egoisme seksual yang mengakibatkan penderitaan pada orang lain. ***