Oleh: Abdul Rosyidi
Retret Sekolah Sudhamala 2024 dihelat di Tompak Watu, Girimulyo, Panggang, Kab. Gunungkidul, 13-16 Desember 2024. Kegiatan yang diikuti 10 peserta alumni Sekolah Sudhamala Angkatan ke-3 ini merupakan kerjasama antara Umah Ramah, NAPIESV, dan Padepokan Tompak Watu. Dalam kegiatan tersebut, peserta mendapatkan materi pengenalan diri dari fasilitator, pendalaman materi seksualitas dan kekerasan seksual, serta pengalaman hidup bersama alam, budaya, dan masyarakat di Padukuhan Wintaos, Girimulyo, Kab. Gunungkidul.
Sebelumnya, selama delapan pertemuan dalam Sekolah Sudhamala September-November 2024, para peserta mendapatkan materi tentang seksualitas, kekerasan seksual, interseksionalitas, dan trauma. Dalam kegiatan ini, pesan yang selalu ditekankan adalah bahwa seksualitas dan kekerasan seksual tidak terpisah dengan ruang kehidupan sehingga membicarakannya pertama-tama adalah membicarakan diri dan bagaimana ia tidak terpisah dari manusia, budaya, dan alam.
Dalam sambutannya, Co-Founder National Organization of Asians and Pacific Islanders Ending Sexual Violence (NAPIESV), Nina Jusuf menegaskan bahwa kekerasan seksual terjadi karena adanya relasi kuasa. Akan tetapi jarang sekali orang memahami bahwa relasi kuasa itu ada di dalam sistem kehidupan dan kemasyarakatan (budaya) kita.
“Maka dari itu kita tidak mau menggunakan cara-cara Barat karena terkadang tidak pas. Contohnya, kata consent itu di Indonesia sering disalahartikan. Kita dibentuk oleh budaya yang tidak boleh menolak, manut. Jadi seringkali orang yang mengalami kekerasan seksual dikondisikan untuk menerima perilaku itu sebagai kesalahannya,” jelasnya.
Kekerasan seksual, dengan begitu, bukanlah sekadar wacana teoritik, melainkan masalah kemanusiaan yang tidak terpisah dengan diri dan masyarakat. Begitupun masalah-masalah lain yang berkaitan dengan kekerasan seksual selalu mempunyai dimensi kontekstualnya dalam alam kebudayaan Nusantara.
Seperti yang dikatakan Nina Jusuf bahwa sebenarnya setiap orang bisa menyembuhkan dirinya sendiri asalkan mengetahui cara penyembuhannya. Artinya, upaya penyembuhan itu tidak harus dilakukan di bawah prinsip patron-klien. Begitupun, cara penyembuhan pun sangat beragam. Kita bisa menjelajahinya dalam alam kebudayaan Nusantara maupun yang menjadi warisan kebudayaan dunia. Bahkan seringkali cara untuk sembuh merupakan kegiatan-kegiatan kecil yang selama ini sering dipelekan, seperti jalan kaki, melihat pohon-pohon hijau, dan sebagainya.
Kita sudah mengetahui bahwa kekerasan seksual yang terjadi di mana-mana dan bisa melibatkan siapa saja. Maka dari itu, upaya untuk melakukan pencegahan dan penyembuhan pun seharusnya bisa diakses oleh semua orang, semua usia, setiap waktu, dan di semua tempat. Pemahaman yang baik terhadap diri, masyarakat, alam, dan kebudayaan Nusantara akan memudahkan kita menemukan cara-cara baik dan ramah bagi setiap orang untuk mengatasi kekerasan seksual.
Udar Rasa
Setelah sambutan, para peserta retret diajak untuk melakukan Udar Rasa. Masing-masing dari mereka menceritakan tentang kisah pemahaman dan perubahan diri selama mengikuti Sekolah Sudhmala. Ada beberapa poin dalam penyampaian mereka. Pertama, bahwa mereka sudah mulai bisa melakukan penguraian, diantaranya lewat interseksi dan sungai kehidupan. Lewat penguraian mereka bisa menemukan lapisan-lapisan relasi dan titik-titik traumatik dalam kehidupan masing-masing.
Dalam perjalanannya, proses penguraian itu juga menemukan hambatan dan tantangan, terutama dari proses batin yang naik turun. Fluktuasi penguraian itu pun dikhawatirkan akan menghambat proses secara keseluruhan. Pada akhirnya, di tengah forum, semua peserta menyadari bahwa proses naik dan turun dalam mengurai dan menemukan diri adalah wajar belaka.
Salah seorang peserta mengatakan bahwa pembelajaran di Sekolah Sudhamala memberikan dampak positif dalam kehidupannya. Dampak itu tidak hanya perubahan dalam memahami seksualitas dan kekerasan seksual, melainkan juga memahami kehidupan.
“Saat orangtua saya tanya Sudhamala, saya bilang Sekolah Sudhamala adalah sekolah tentang kehidupan,” kata Putri Awaliyah (26 tahun), salah seorang peserta.
Peserta lainnya, Halimah Tusadyah (22 tahun) menceritakan bahwa sebelum mengikuti Sekolah Sudhamala dia tidak pernah melakukan proses mengurai. Dia tidak mau mengingat-ingat masa lalu. “Sekarang saya sudah mulai bisa. Saya mempunyai kekuatan untuk bertemu dengan saya yang masih kecil dan berterima kasih kepadanya karena kuat meski selalu dianggap kurang,” katanya.
Wellness
Pada hari kedua di sesi pagi, para peserta diajak untuk bersama-sama menemukan proses penguraiannya masing-masing lewat “bagan memahami diri”. Pada sesi bertajuk “Mardika” itu, Ibu Nina (Ma’e) menjelaskan tentang bagaimana proses mengurai, memahami, dan menemukan diri.
Sesi dilanjutkan dengan membicarakan bersama tentang Shifting from Crisis to Wellness, tentang bagaimana mengubah fokus yang awalnya pada krisis menuju pada fokus terhadap kesejahteraan. Pada sesi tersebut, Ma’e menjelaskan bahwa selama ini kita terlalu fokus pada keadaaan krisis. Dalam kekerasan seksual, kita sering terlalu fokus pada keadaan menjadi korban, dan penyebutan-penyebutan yang justru melabeli orang yang mengalami kekerasan seksual.
“Itu kenapa kita sering menyebutnya crisis center, bukan wellness center,” tegasnya.
Menurutnya, penting bagi orang yang mengalami kekerasan seksual untuk beranjak dan mengubah fokus pada wellness dan healing. Akan tetapi wellness dan healing itu abstrak dan subjektif. Setiap orang mempunyai caranya tersendiri dalam upaya-upaya untuk mencapainya. Oleh karenanya menjadi penting untuk memahami bahwa menjadi sejahtera (wellness) itu tidak bisa dilakukan sendirian, harus diusahakan bersama masyarakat sehingga menciptakan lingkungan yang saling mendukung. Maka diperlukan juga bagaimana kesejahteraan itu menurut masyarakat di lingkungan kita.
Setelah itu, para peserta diajak untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang tema dan menyampaikan pendapatnya masing-masing. Adapun pertanyaan itu adalah sebagai berikut:
(1) Apa yang dimaksud dengan “sejahtera” dalam masyarakat kita? Bagaimana contoh konkret kondisi “sejahtera” itu dalam kehidupan nyata?
(2) Apa saja tantangan dan hambatan yang dihadapi ketika kita mengubah fokus dari kondisi “krisis” menjadi “kesejahteraan”?
(3) Bagaimana caranya untuk memastikan agar suara-suara dan kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang pernah mengalami kekerasan tetap diutamakan? dan
(4) Apa saja hasil yang kalian inginkan dari kampanye “Shifting from Crisis to Wellness” ini?
Kalibrasi
Pada hari ketiga, sesi pagi dimulai dengan diskusi kelompok. Peserta dibagi ke dalam tiga kelompok dan masing masing menulis, mendiskusikan, dan mempresentasikan tentang pembelajaran terpenting yang diperoleh dari proses mengurai dan memahami diri pada sesi sebelumnya, hambatan atau tantangan terbesar dalam proses mengurai, dan menceritakan potensi apa saja yang dimiliki, baik pribadi ataupun masyarakat, untuk bisa melakukan proses memahami diri.
Setelah masing-masing kelompok dan individu mempresentasikan hasil kerjanya, pada sesi berikutnya, Ma’e mengajarkan tentang salah satu teknik menyembuhkan dengan metode pemegangan tangan. Teknik ini mempraktikkan cara bagaimana penggunaan energi dari telapak tangan bisa menjadi alat untuk mengkalibrasi energi orang lain dan menyembuhkan. Sekilas, teknik ini mirip dengan raiki dari Jepang, akan tetapi banyak kebudayaan juga menggunakan energi dalam penyembuhan, termasuk cara-cara Nusantara.
Setelah itu, sesi dilanjutkan dengan kalibrasi diri dengan alam. Para peserta melakukan itu di pantai Nguyahan, Gunungkidul, dengan caranya masing-masing. Dalam kegiatan ini, para peserta diajak untuk mengalami secara langsung bagaimana melakukan kalibrasi, baik dengan menggunakan energi dari dalam tubuh maupun memanfaatkan medan energi yang terhampar luas di tengah-tengah alam.
Belajar Bersama Masyarakat
Selain melakukan pembelajaran di dalam ruangan tertentu, para peserta juga melakukan pembelajaran di luar ruangan, seperti di pantai, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Pembelajaran di luar ruangan lainnya muncul atas inisiatif peserta sendiri yakni mengunjungi kelompok ibu-ibu Tandur Bungah di Padukuhan Wintaos.
Pada malam hari, selepas Isya, mereka bertamu ke rumah Ibu RT 01 yang menjadi tempat bagi ibu-ibu membuat tempe yang disebut sebagai “tempe cilik”. Tempe itu dibuat dengan lebih kecil dibanding tempe pada umumnya. Kelebihannya, tempe ini dibungkus dengan daun pisang pada bagian dalam dan daun jati pada bagian luarnya.
Dari para ibu-ibu itu mereka belajar dengan berinteraksi dan bercengkerama baik tentang bagaimana mereka membuat tempe juga masalah-masalah lainnya. Mereka terlihat aktif dalam perbincangan tentang air, ladang, ternak, adat istiadat, dan bagaimana cara orang-orang di Gunungkidul hidup.
Dalam waktu yang relatif singkat, hanya 2-3 hari, kegiatan Retret Sudhamala 2024 tidak bisa dikatakan mampu menjawab semua permasalahan terkait seksualitas dan kekerasan seksual di Indonesia. Akan tetapi paling tidak kegiatan ini ingin membagi pengetahuan, pengalaman, dan sekaligus membawa pesan bahwa masalah-masalah kemanusiaan kita tidak bisa dipisahkan dari diri, lengkap dengan alam dan kebudayaannya. []