Oleh: Abdul Rosyidi
Umah Ramah bersama National Organization of Asians and Pacific Islanders Ending Sexual Violence (NAPIESV) melaksanakan kegiatan Retret Sekolah Sudhamala 2023. Kegiatan ini dilakukan di Padepokan Tompak Watu, Girimulyo, Gunung Kidul-Yogyakarta, Jumat-Senin, 10-13 November 2023. Para peserta yang ikut dalam kegiatan ini berjumlah 20 orang, yang terdiri dari 13 perempuan, 6 laki-laki, dan 1 orang queer. Mereka sebanyak 10 orang adalah alumni Sekolah Sudhamala tahun 2023 angkatan pertema dan kedua. Sementara sisanya adalah para pegiat dan anggota keluarga Umah Ramah.
Pada hari pertama, kegiatan dimulai dengan perkenalan masing-masing peserta. Acara berikutnya dilanjutkan dengan pembacaan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama masyarakat setempat dari Padukuhan Legundi, Kelurahan Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Pada hari kedua, kegiatan dimulai dengan sambutan dari Direktur Umah Ramah, Asih Widiyowati dan pengantar kegiatan dari Penanggung Jawab Sekolah Sudhamala, Abdul Rosyidi. Dalam pengantarnya itu, Rosyidi menyampaikan bahwa kegiatan Retret merupakan kelanjutan dari program Sekolah Sudhamala yang telah dilaksanakan pada Juni-Oktober 2023.
Dalam Sekolah Sudhamala, Umah Ramah-NAPIESV memberikan pengetahuan dan pengalaman seputar seksualitas dan kekerasan seksual. Pendekatan yang digunakan dalam sekolah tersebut berbeda karena mengutamakan agar kesadaran yang muncul berangkat dari pengetahuan kognitif yang bersifat teoritik sekaligus pengalaman individu yang intim.
Pemahaman terhadap kekerasan seksual seringkali salah kaprah karena tidak berangkat dari pemahaman yang benar tentang seksualitas. Sementara seksualitas itu sendiri tidak mungkin bisa dipahami tanpa terlebih dulu menyadari keberadaannya di dalam diri. Seksualitas dan hak-haknya, baik tubuh maupun yang selainnya, mesti dipahami dalam “kerangka diri” dan “kerangka masyarakat” secara resiprokal dan berbarengan dalam satu tarikan napas.
Oleh karena itu pada kegiatan Retret tersebut, penyelenggara memilih untuk memberikan tema “Menepi untuk Menemukan Diri”. Dengan harapan, para peserta lebih bisa memahami seksualitas dan kekerasan seksual secara komprehensif, tidak terfragmentasi.
Jadilah pada kegiatan Retret, pembicaraan mengenai penyingkapan diri menjadi inti dari seluruh materi. Ibu Nina Jusuf dari NAPIESV, memberikan materi tentang “Proses Pemahaman Diri” lewat bagan warna-warni yang sangat menarik. Diantara yang dijelaskannya adalah tentang pentingnya bagi seseorang untuk mengenali dan memahami dirinya sendiri. Untuk menjadi diri sendiri, seseorang harus mempunyai rasa merdeka. Akan tetapi rasa itu tidak mudah direngkuh karena kita terkondisi, baik tubuh maupun pikiran.
Memahami diri itu pada akhirnya akan menuju pada memerdekakan diri. Dan kita tidak bisa memerdekakan diri tanpa melakukannya sendiri. Kita tidak bisa memerdekakan diri dengan mengharap orang lain memberikannya kepada kita. Maka itulah ada yang namanya perjuangan.
Ma’e – panggilan akrab kepada Ibu Nina Jusuf
Proses pemahaman dan pemerdekaan diri tersebut ditempuh mula-mula dengan keberanian untuk mengurai ikatan-ikatan yang membelenggu diri. Pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap apapun yang dianggap mapan sangat penting untuk dilakukan. Dari situlah proses mengurai bisa membawa langkah awal yang baik.
Setiap orang sebenarnya mempunyai cara sendiri dalam memahami kehidupan, akan tetapi selama ini kondisi-kondisi tertentu membuat kita tidak berani meyakini kebenaran yang ada di dalam diri. Rasa takut terhadap kebenaran yang muncul dari dalam diri, dari hati nurani, pelan-pelan harus mulai dihilangkan. Caranya dengan terus mengkalibrasi diri, mempertanyakan keberadaan diri kita ini sebenarnya: untuk apa, tujuannya apa, untuk siapa, bagaimana menjalani hidup secara bertanggung jawab.
Dari sini terlihat bahwa rasa bebas atau mardika bukanlah perwujudan dari egoisme ataupun individualisme, melainkan rasa merdeka yang meniscayakan kasih untuk semesta, cinta inklusif. Rasa merdeka yang demikian biasanya bisa kita rasakan saat sudah mencapai kondisi “biasa-biasa saja”, yakni kondisi dimana kita melakukan atau tidak-melakukan sesuatu dengan tidak berdasar pada kecenderungan, emosi, ataupun motif pribadi (kramadangsa).
Pada hari ketiga, para peserta diminta untuk menguraikan tiga hal mendasar terkait kemerdekaan diri: apa makna merdeka bagi diri? bagaimana mengejewantahkan kemederdekaan itu dalam kehidupan sehari-hari? dan bantuan apa yang diperlukan untuk memerdekakan diri? Masing-masing peserta pun menulis dan mengungkapkan tiga rumusan itu secara bergiliran.
Pada hari yang sama, peserta melakukan perjalanan ke Pantai Pok Tunggal, Gunung Kidul. Di Pantai tersebut secara simbolik, dengan caranya sendiri-sendiri, mereka melepaskan reribet (halangan-halangan) yang menganggu dan membebani proses penemuan diri. Pada saat bersamaan, mereka mengkalibrasikan energi di tubuh dengan energi semesta yang melimpah yang terhubung dengan seluruh bagian dunia, lewat angin dan air Samudera Hindia.
Kegiatan pun ditutup selepas Isya pada hari itu. Dalam penutupan, penyelenggara mengucapkan terima kasih dan mengingatkan kembali bahwa proses pemahaman diri tidak akan selesai dengan hanya mengetahui cara-cara mengurai. Begitupun saat sudah berhasil mengurai satu hal, akan selalu ada hal lain yang perlu diurai. Sehingga proses mengurai, memahami diri, dan menjadi merdeka akan terus berlangsung sepanjang hidup. ***