Oleh: Mahirotus Shofa
Suara puan mengalun merdu, bersenandung dengan melodi yang indah. Merasakan setiap kata dan nada yang keluar dari bibirnya. Di tengah megahnya panggung, ia melangkahkan kaki ke kanan dan kiri, menggerakkan seluruh tubuh mengikuti irama lagu, berharap ia bisa menyampaikan pesan entah kesakitan atau kebahagiaan lewat penampilannya.
Tak ingin kehilangan momen, beberapa orang yang menyaksikannya mengambil ponsel mereka, berharap ia bisa menyimpan kenangan indah dan sebagian membagikan kebahagiaannya di sosial media.
Puan tak menyangka penampilannya itu dinilai lain oleh beberapa orang di sosial media. Hanya karena pakaian yang dianggap tak pantas karena memperlihatkan lekuk tubuhnya, ia disalahkan. Tubuhnya dikomentari sesuka hati dan dilecehkan. Busana yang dipakai untuk meningkatkan penampilan, oleh orang lain dibelokkan pada niat yang tak diharapkannya.
***
Kesan apa yang muncul di benakmu saat membaca tulisan di atas? Seorang penyanyi perempuan yang mengenakan minidress, yang pakaiannya bahkan tidak menutup sepertiga kakinya, atau atasan tanpa lengan yang memperlihatkan ketiaknya, yang sebagian dari kita sering mengoloknya sebagai pakaian kurang bahan. Tapi apa yang saya lihat dan ceritakan adalah penyanyi perempuan yang tidak memakai pakaian seperti itu. Meski tidak mengenakan kain di kepalanya, ia mengenakan gaun berlengan panjang yang bawahannya hampir menyentuh mata kaki. Namun tetap saja, pengalaman kekerasan seksual tetap ia terima. Lalu pertanyaannya, apa ini salah pakaian?
Selain itu, menurut data yang dikumpulkan Umah Ramah lewat penelusuran Google selama setahun, sebanyak 682 kasus kekerasan seksual, 680 kasus dialami oleh perempuan, dan dari kasus yang kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan, 522 kasus dialami oleh anak-anak. Lalu, untuk kasus yang diterima oleh anak-anak, apakah juga salah pakaian yang ia kenakan?
Banyak juga berita kekerasan seksual yang terjadi di pesantren. Sehari-hari santri perempuan selalu mengenakan gaun/gamis longgar dan panjang sampai mata kaki, menutup rambutnya dengan kerudung, bahkan ada dari mereka yang mengenakan niqab, yang hanya memperlihatkan area matanya saja kepada orang lain. Tetapi dengan segala pakaian yang tertutup itu, kekerasan seksual tak terhindar tetap mereka terima. Lalu, apakah ini juga salah pakaian?
Sayangnya, dari sekian banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada perempuan, masyarakat cenderung lebih terfokus mencari kesalahan perempuan. Dari mulai pakaian apa yang dia kenakan, memperlihatkan lekuk tubuh atau tidak, jalannya seperti apa, cara bicaranya bagaimana, dan lain sebagainya. Sampai ada pernyataan “bagaimana kalau perempuan melecehkan dirinya sendiri dengan apa yang dia kenakan?”
Padahal, dari sekian banyaknya peristiwa kekerasan seksual, perempuan dan apa yang ia kenakan jelas tidak ada hubungannya sama sekali dengan mengapa orang sampai melakukan kekerasan seksual. Tapi mengapa ketika kekerasan seksual terjadi kepada perempuan, dia selalu disalahkan?
Seksualisasi Perempuan
Berbicara mengenai tubuh perempuan dalam masyarakat patriarki, Abdul Rosyidi, dkk. dalam buku Pesantren, Seksualitas, dan Kekerasan Seksual menuliskan bahwa seksualitas yang merupakan manifestasi dari kemanusiaan telah difragmentasi hanya sebagai yang bisa menunjang prokreasi untuk bisa mendukung keberlangsungan patriarki. Seksualitas perempuan dipandang hanya sebagai yang tubuh, yang daging, yang berfungsi untuk reproduktif. Kepedulian masyarakat dan ajaran-ajaran agama pada perempuan pun sebatas makhluk biologis yang bisa memberikan keturunan. Fragmentasi itu juga mempunyai dampak menjauhkan seksualitas dari kebermaknaan kita sebagai manusia utuh.
Cara pandang seperti inilah yang mungkin membuat perempuan selalu disalahkan. Semua sifat feminin yang pada awalnya netral diseksualisasi sedemikian rupa untuk selalu mengundang hasrat dan fantasi, sekaligus tetap menjamin berfungsinya rahim sebagai penghasil keturunan dari laki-laki. Pakaian perempuan seperti bra, rok, dan celana yang awalnya bertujuan untuk memudahkan mereka beraktivitas pun turut diseksualisasi. Hal itu justru mengurung perempuan dalam peran yang mengundang perhatian seksual, alih-alih kebebasan dan kenyamanan mereka.
Itulah sebabnya, kita semua luput melihat perempuan sebagai manusia utuh yang bukan hanya tubuh, dia juga memiliki akal dan perasaan. Perempuan bukan tidak mampu berpikir, namun selama berabad-abad dicabut aksesnya dari pengetahuan. Dia dirumahkan. Perempuan bukan tidak berani menyuarakan apa yang dia rasakan, namun setiap gagasan yang keluar akan selalu direndahkan dan diabaikan. Kapasitas alaminya untuk berbicara dibuang dan dijauhkan darinya. Begitu jauh hingga lenyap dari pandangan dan membuat perempuan mengabaikan bahwa ia berhak untuk itu. Begitu pun dengan tubuhnya. Ia ada tapi hanya untuk kepentingan laki-laki saja.
Setiap kali mendengar nasihat, “kamu itu sebagai perempuan harus rapi, bisa masak, bersih-bersih, cantik, dan lainnya.” Terasa seolah-olah inilah kewajiban yang harus dilakukan oleh perempuan. Walau tidak secara gamblang tujuannya untuk laki-laki, realitas sehari-hari menunjukkan bahwa tuntutan ini sering kali dirancang dengan tujuan untuk menarik perhatian dan menyenangkan laki-laki.
Jadi ketika saya tahu kemelekatan saya dengan nilai “perempuan”, saya sadar melepaskan seluruhnya tentu tidak mudah, apalagi itu sudah membentuk emosi dan laku hidup saya sampai hari ini.
Kekerasan Seksual
Dulu saya begitu jahat menghakimi perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Saya menyalahkan dan menyebut mereka sebagai perempuan tidak baik. Tidak hanya pada perempuan lain, pada saat saya mengalami kekerasan seksual, saya melakukan hal serupa pada diri saya sendiri. Saya menghakimi dan menyalahkan diri. Saya ingat, pada saat itu kemarahan kepada orang yang melakukan tidak sebesar kemarahan saya terhadap diri saya sendiri. Saya mengutuki diri dengan pengandaian-pengandaian yang tidak masuk akal, “kalau kamu tidak begini pasti tidak akan terjadi.” “Kalau kamu tidak mengenakan pakaian ini, kalau kamu begini begitu, dan lain sebagainya.” Pengandaian yang menghasilkan penyesalan teramat dalam.
Kekerasan seksual bagi orang lain yang tidak mengalami mungkin dianggap biasa saja, perbuatan yang tidak seberapa, candaan yang lumrah saja, tapi tidak bagi kita yang mengalami. Pengalaman itu sedikit banyak mengubah pandangan saya terhadap diri. Saya menjadi merasa rendah dan tidak berharga. Ketika saya mengalami peristiwa kekerasan seksual berulang mulai terbesit di pikiran bahwa saya mungkin pantas menerima itu. Sambil membawa kecemasan dan perasaan marah yang terpendam.
Dari sedikit mengurai ini, sedikit banyak saya jadi paham luka orang yang mengalami kekerasan seksual khususnya perempuan. Seberapa susahnya dia untuk speak up, seberapa takut dan gelisahnya dia ketika berada di ruang publik, atau saking tidak kuatnya dia melukai dirinya sendiri, sampai mengakhiri hidupnya.
Pelajaran Berharga
Hingga hari ini, dengan melewati kehidupan yang tidak mudah sebagai perempuan, saya mendapatkan beberapa pelajaran penting. Pertama, saya lebih mengenal diri saya sebagai perempuan utuh yang eksistensinya tidak serta merta untuk laki-laki, seperti halnya lirik lagu “Hawa tercipta di dunia, untuk menemani sang Adam.” Perempuan diciptakan untuk dirinya sendiri, bagaimana dia bertumbuh dan belajar memahami alam semesta dan isinya, dan mempunyai potensi yang sama untuk menemukan misinya sendiri.
Kedua, layaknya manusia yang merdeka, perempuan memiliki hak yang sama, termasuk dalam mengekspresikan dirinya lewat apa yang dia kenakan. Walaupun saya tidak bisa memungkiri, sebagai manusia sosial kebebasan itu sendiri memiliki keterbatasan. Entah dibatasi oleh norma sosial, hukum dan peraturan, moral, begitu pun hak orang lain. Namun yang perlu ditekankan adalah apa yang orang lain kenakan, tidak bisa menjadi tolok ukur sesorang berhak melakukan kekerasan seksual. Tidak ada yang membenarkan dari sisi manapun seseorang melakukan kekerasan seksual terhadap orang lain.
Ketiga, tidak ada standar yang benar-benar baik dalam berinteraksi dengan orang lain. Setiap orang memiliki cara pandang dan pengalaman yang berbeda. Meskipun niat kita mungkin baik tapi kita tidak bisa memaksakan apa yang kita harapkan akan sama dengan yang dirasakan orang lain. Seperti saat kita mencoba untuk memuji tubuh seseorang, kita perlu melihat reaksinya. Apakah ia tersenyum? Apakah gerak geriknya terlihat nyaman? Karena bisa saja apa yang menurut kita baik berdampak tidak baik kepada orang lain.
Dan jangan lupa, hal ini pun berlaku untuk diri kita sendiri. Saat ada orang lain yang melakukan atau mengatakan sesuatu yang membuat perasaan kita tidak baik-baik saja, maka apa yang kita rasakan benar adanya, dan tidak salah sama sekali. Kita memiliki hak mengatakan ketidaknyamanan kita, persetujuan, atau rasa sakit kita saat menerima itu. Karena yang berhak atas segala yang berkaitan pada dirimu, adalah dirimu sendiri. Kita memiliki otoritas penuh atas tubuh, pikiran dan perasaan kita sendiri. []