Oleh: Dewi Raudlatul Jannah
Internasional Women’s Day (IWD) yang diperingati tiap tanggal 8 Maret adalah bentuk perjuangan perempuan yang berlangsung sejak Maret 1911. Tema IWD tahun 2024 adalah Inspire Inclusion atau menginspirasi inklusi. Dikutip dari laman IWD, “Ketika kita menginspirasi orang lain untuk memahami dan menghargai inklusi perempuan, kita menciptakan dunia yang lebih baik. Dan ketika perempuan terinspirasi untuk diikutsertakan, akan muncul rasa memiliki, relevansi, dan pemberdayaan. Secara kolektif, mari kita ciptakan dunia yang lebih inklusif bagi perempuan.”
Peringatan Hari Perempuan Sedunia (IWD) tidak hanya milik satu negara, kelompok, atau organisasi tertentu. Peringatan ini adalah suatu komitmen mewujudkan kesetaraan gender. Membuka peluang keterlibatan perempuan secara luas dengan menerima keberagaman warna kulit, usia, kepercayaan, dan bentuk tubuh adalah upaya untuk mendorong kesetaraan di semua bidang.
Di era ilmu pengetahuan saat ini, kekerasan seksual masih membayang-bayangi tubuh perempuan termasuk dalam ranah media sosial. Seorang sejarawan Maurice Daumas kerap mengingatkan kita bahwa ideologi misoginis begitu kokoh karena Ia memiliki kekuatan transformatif. Tubuh Perempuan dikonstruksikan sebagai tubuh pengundang hasrat dan fantasi, diminta cantik, memikat, harus malu-malu, dan berbagai mitos ketubuhan yang lain.
Dalam perkembangan digital, seksualisasi perempuan laris dalam dunia kapitalisme. Dari rok sampai bra, dari ujung rambut sampai kaki. Tokoh feminis Cathrine De Medicis memakai sepatu hak tinggi agar bisa melihat tamu-tamunya yang datang, kapitalis justru merancang untuk memperindah tubuh perempuan.
Monica Bellucci seorang aktris dan model berkebangsaan Italia ketika berusia 40 tahun dituntut untuk tetap memiliki kulit sekencang gadis usia 20 tahun untuk tetap mendapatkan perannya, Dan dia menjadi gadis Bond tertua, tercantik, dan terseksi pada usia 51 tahun. Betapa sistem kapitalisme membentuk dan melanggengkan steorotipe baru.
Trinitas peran menjadi “perawan-ibu-pelacur” ditulis Ester Lianawati dalam “Dari Rahim Ini Aku Bicara” yang terbit di tahun 2024. Menurutnya, kepemilikan perempuan atas tubuh telah dirampas. Trinitas peran ini membuat langkah dan ruang implementatif perempuan menjadi tertatih dan berdarah-darah. Harapan untuk mendapatkan akses seluas-luasnya di ruang publik dengan keamanan dan kekeleluasaan, menjalani hidup tanpa tuntutan kontradiktif, dituntut menjadi ibu, namun harus tetap memiliki tubuh seperti gadis. Diharuskan menikah dan menjadi isteri namun harus berperan pelacur yang diseksualisasi tanpa henti.
Nyaris kehilangan harapan, jalan menuju kesetaraan gender seperti menemui jalan buntu. Didesak dan dipojokkan oleh sistem yang begitu besar. Dan negara kerap kali ikut melanggengkan kesengsaraan ini. Upaya-upaya feminis dalam pembebasan selalu diputar dalam budaya patriarki untuk penguasaan tubuh perempuan. Tetapi perlu diingat bahwa keinginan perempuan untuk menjadi subjek merdeka akan tetap menyala dan tidak akan padam sedetik pun.
Jika kembali pada narasi sejarah, kita menemukan era Matriarkal. Era di mana perempuan adalah penemu dan pengatur strategi. Sebelum akhirnya pemikiran, gagasan, dan penemuannya dianggap mengalahkan laki-laki. Adalah Perempuan Sumeria, yang pertama-tama menciptkan bir. Ironinya, temuan perempuan Sumeria ini dihilangkan dan dianggap hasil temuan laki-laki sehingga bir menjadi minuman yang identik dengan laki-laki. Tidak hanya bir, komputer pertama-tama dirancang oleh perempuan bernama Ada Lovelace, namun dianggap rancangan laki-laki, Charles Babbage.
Ester menyampaikan, tubuh perempuan menyimpan sejarah, menyimpan cerita. Sebab itu, tubuh ini bisa bicara dan hendaknya dibiarkan bicara. Dalam kisah-kisah yang dibuat oleh sistem patriarki, peran, dan kontribusi perempuan dalam sejarah dihilangkan dan diganti dengan narasi superioritas laki-laki. Padahal, perempuan adalah pencipta peradaban. Tubuhnya adalah tubuh pencipta kehidupan. Sebagaimana keyakinan filsuf Jacques Lacan, bahwa perempuan adalah sumber penciptaan Bahasa. Itulah mengapa dikenal istilah bahasa Ibu.
Akhirnya kita semua sesungguhnya dipertemukan dengan narasi yang sama, yaitu merebut kembali kepemilikan perempuan atas tubuh. Selamat Hari Perempuan Sedunia! []