Oleh: Abdul Rosyidi
SEBUAH pertanyaan survei diberikan kepada responden perempuan: “Apakah Anda setuju dengan poligami?” Dan tebak apa jawabannya. Mayoritas banyak yang menjawab mereka setuju poligami. Alasannya karena poligami adalah ajaran agama.
Tapi saat subjek yang sama ditanya kembali, apakah setuju jika suami Anda sendiri yang berpoligami, kawin lagi? Jawaban mereka tidak setuju.
Bagi saya ini aneh. Mereka setuju poligami tapi pada saat yang sama tidak setuju poligami kalau pelakunya suaminya.
Pertanyaan lain ditujukan kepada perempuan yang bekerja sebagai profesional di kantor-kantor yang banyak bertebaran di Malaysia. Mereka ditanya tentang kepemimpinan perempuan. “Apakah pendidikan, kapasitas, dan kapabilitas yang tinggi menjadi faktor bagi perempuan untuk bisa memimpin?”
Kebanyakan mereka menjawab bahwa mereka merasa profesionalisme berguna saat berada di dalam kantor. Para perempuan bisa menggunakan seluruh kemampuannya di sana. Tapi hal itu tidak berguna saat mereka berada di dalam rumah.
Saat berada di rumah, mereka sepenuhnya mengalah pada suami. Mengerjakan banyak pekerjaan rumah yang dirasa itu sebagai tanggung jawab mereka.
Entah kenapa waktu itu saya langsung terpikir pada “doublethink.” Sebuah istilah yang disebutkan George Orwell dalam novel 1984. Orwell memaksudkan istilah itu untuk sikap politik yang menerima dua hal yang saling bertentangan secara bersamaan. Dalam kutipan di novelnya yang dia tulis besar-besar, sebagai sebuah slogan Partai:
“War is peace, freedom is slavery, ignorance is strength”.
— Perang adalah damai, kebebasan adalah perbudakan, kebodohan adalah kekuatan —
Saya tambahkan:
— Setuju poligami tapi tidak setuju poligami —
— Perempuan cakap menjadi pemimpin tapi tak bisa jadi pemimpin —
Semua slogan itu saling bertolak belakang. Tapi manusia bisa bekerja untuk mewujudkan yang demikian paradoks. Mungkinkah terwujud? Nyatanya begitu.
Nah mari kembali ke pembahasan awal, jadi apa sih yang membuat pikiran kita masih tidak bisa adil terhadap perempuan. Bahwa di satu sisi kita mengakui mereka memang cerdas, mampu memimpin, cakap bekerja, tapi di sisi lain kita percaya bahwa mereka tak bisa memimpin?
Sudah kodratnya katanya. Ajaran agama demikian katanya. Begitulah dari sananya, katanya.
Keyakinan dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan, itu abai terhadap realitas tapi terus kita yakini. Keyakinan itu demikian kuat dan menjadi ideologi yang keras. Sebuah paham yang melebihi kewarasan. Keyakinan yang menindas perempuan itu terus dikekalkan lewat bahasa. Menjadi sebuah common sense, tertanam jauh di alam bawah sadar. Lalu terlihat seperti dari sananya.
Penindasan terhadap perempuan (dan semua jenis penindasan) selalu datang dari pikiran yang tidak adil, pikiran yang mendua, tidak konsisten. Tapi terus dilembagakan dalam budaya. Untuk membongkarnya dibutuhkan pikiran yang kritis dan rasa empatik. Termasuk jika yang menindas itu bercokol dalam ajaran keagamaan kita.[]