Menziarahi Diri

First slide

18 November 2022

Oleh: Abdul Rosyidi

Selama dua hari, Selasa-Rabu, 15-16 November 2022, keluarga besar Umah Ramah bersama Ibu Nina Jusuf dari National Organization of Asians and Pacific Islanders Ending Sexual Violence (NAPIESV) berdiskusi tentang Seksualitas dan Kekerasan Seksual. Dalam forum ini, pengenalan dan penguraian tentang seksualitas, kekerasan, trauma, depresi, dan proses pemulihan dilakukan secara holistik. Dan proses pemahaman yang menyeluruh itu diawali dengan pemahaman yang berakar pada pengalaman diri.

Di bawah ini adalah sedikit catatan saya tentang proses dua hari tersebut.

***

Di dunia ini, tanpa sadar, kita saling menyakiti satu sama lain. Dari yang paling besar, keji nan sadis seperti kejahatan perang. Ataupun yang paling kecil dan halus, gerak hati. Luka bisa bermetamorfosa menjadi laku. Pun para pelaku banyak yang membabi buta karena luka.

Merasa sehat dan baik-baik saja memang baik. Tapi kalau ada luka yang belum selesai diproses, bisa jadi tanpa sadar luka itu menjadi laku. Dan akhirnya laku itu menyakiti orang lain. Sekalipun kita berniat baik. Walaupun sepemahaman kita, itulah yang baik. Siapa sangka itu malah menyiksa orang lain. Dari sinilah seringkali muncul paradoks dalam kehidupan manusia: baik menurutku bisa jadi adalah kejahatan bagi orang lain.

Dalam tutur kisah sinema dan sastra, seringkali kita disajikan untuk memahami paradoks itu. Kejahatan bukanlah karena pelakunya jahat, akan tetapi karena ada kekeliruan memahami kebaikan. Seperti Thanos yang bercita-cita “menyeimbangkan” semesta. Atau kelompok Akatsuki (bhs. Indonesia = fajar, pencerahan) yang berupaya menghilangkan penderitaan umat manusia.

Orang yang berniat baik, seperti Nagato, Yahiko, dan Konan (pendiri Akatsuki) dalam serial anime Naruto, menggendong luka dan trauma perang dari masa lalunya. Mereka pada akhirnya keliru memahami apa itu yang baik. Kelompok itu ingin menenggelamkan umat manusia dalam dunia mimpi, dunia segala mau, dunia tanpa penderitaan.

Dari banyak kisah sejenis kita belajar, dalam kehidupan nyata di dunia ini, demi tujuan-tujuan yang diyakini sebagai kebaikan, orang-orang bisa saja menghalalkan segala cara, menghilangkan nyawa, menindas, menyiksa, merugikan, atau menyakiti orang lain. Ironinya, mereka kerap tak menyadari kejahatannya sebagai kejahatan, kekerasannya sebagai kekerasan. Sebuah pelacuran kebajikan.

Maka ada baiknya kita mendengar kata bijak bestari “ubahlah diri sebelum mengubah orang lain.” Masuk dan benahi diri dulu sebelum membantu orang lain. Mulai dari ngangen-ngangen ning awak dewek, mawas diri, muhasabah, atau introspeksi. Bahasa kerennya: menziarahi diri.

Setiap orang mempunyai rutenya sendiri saat berziarah ke makam-makam wali. Begitupun saat menziarahi diri. Rute saya biasanya seperti ini:

Pertama, menyelam untuk menemukan, mengakui, dan menerima luka-luka di sepanjang hidup. Saya tidak menampik karena orang yang menampik dan menyangkal luka biasanya tidak akan berhasil menyembuhkan lukanya. Dia bisa melupakannya tapi luka itu tak akan pernah hilang. Alih-alih hilang, sebenarnya luka yang ditampik akan masuk ke alam bawah sadar, tercatat dalam memori tubuh, dan akan lebih susah terurai. Jika sudah bisa menerima dan mengakuinya, biasanya kita bisa beranjak ke level berikutnya.

Kedua, merasakan sakitnya luka. Tahap ini sangat berat akan tetapi menjadi awal yang penting untuk mengurai luka. Merasakan sakit butuh keberanian dan kejujuran. Dukungan dari teman, saudara, guru, atupun orang lainnya menjadi penting. Harap juga diingat, karena ini adalah kegiatan merasa, jadi jangan sekali-kali pakai logika. Kita bisa terjebak pada pikiran tentang validasi orang lain terhadap rasa kita atau munculnya pertanyaan-pertanyaan yang meragukan kapasitas diri. Jadi, nikmati saja sakitnya.

Penziarahan diri tidak boleh berhenti sampai pada level ini. Berkubang dalam kepedihan dan berputus asa dari kehidupan adalah bahaya yang mungkin bisa terjadi. Jadi pastikan diri telah siap untuk merasakan rasa sendiri. Kuatkan keyakinan bahwa segala rasa sakit itu akan berlalu karena derita itu hakikatnya sementara, sama seperti rasa bahagia juga sementara. Sebagaimana malam itu sementara sebelum berganti siang, begitupun siang tidak selamanya.

Ketiga, memaknai luka. Pada tahap ini saya sering menggunakan metode merasakan rasanya orang lain. Sebagaimana yang diajarkan Ki Ageng Suryamentaram. Sambil menikmati sakitnya luka sebenarnya kita bisa sambil melakukan tahap ini secara beriringan bahkan bersama-sama. Berbeda dengan tahap sebelumnya, kemampuan bernalar juga perlu didayagunakan.

Dalam fase inilah prinsip golden rule atau etika timbal balik bisa kita gunakan, “lakukan sesuatu kepada orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan” atau “jangan lakukan sesuatu yang kita tidak mau orang lain lakukan padaku.” Tanpa penziarahan diri, kata-kata ini tak akan sampai ke tujuan.

Lalu apa urgensi penziarahan diri untuk memahami seksualitas dan kekerasan seksual? Secara singkat dapat saya tuliskan bahwa cara ini berguna untuk memahami seksualitas sebagai entitas dan pengalaman diri yang otentik, bukan sebagai teori. Kedua, kesadaran dan pengalaman diri dalam proses pembudayaan kekerasan dalam lingkup keluarga dan komunitas. Ketiga, penyingkapan luka, trauma dan proses penguraiannya yang berbasis pada diri dan komunitas yang meliputi kebiasaan, tradisi, agama, dan kearifan setempat.

Ketiga hal ini amat penting bagi kita untuk memahami kekerasan seksual lebih dalam yang berbasis pada kesadaran individu dan kearifan-kearifan di komunitasnya. Dari individu yang telah sadar inilah diharapkan bisa memberikan pengaruh di dalam komunitasnya untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi masyarakat. Dari kesadaran yang berangkat dari individu ini juga diharapkan semua orang memahami bahwa penyelesaian peristiwa kekerasan seksual haruslah berpusat pada individu yang mengalami.***

Share to :