Menstrual Taboo dan Budaya Berhijab

First slide

7 September 2020

DALAM beberapa literatur Yahudi dijelaskan bahwa penggunaan kerudung berawal dari peristiwa “dosa asal” yaitu saat Hawa menggoda Adam untuk memetik buah khuldi, yang membuat mereka terusir dari surga. Akibatnya, dalam kitab Talmud disebutkan, Adam dan Hawa mendapatkan kutukan berupa sepuluh penderitaan. Salah satu kutukan itu terhadap perempuan adalah bahwa dia mengalami menstruasi. Karena itu, perempuan yang sedang menstruasi dianggap sedang dalam masa tabu dan darah menstruasinya dianggap sebagai darah tabu.

Franz Steiner dan Evelyn Red, sebagaimana yang dikutip Alifathri Adlin mengatakan kata “tabu” berasal dari rumpun Polynesia. Kata “ta” berarti tanda atau simbol dan kata “pu” atau “bu” adalah keterangan tambahan yang menggambarkan kehebatan. Tabu lalu diartikan sebagai tanda yang sangat kuat. Sering juga disebut dengan “tidak bersih” (unclean) meski juga identik dengan kata “suci” (holy) dan “pamali” (forbidden).

Sedangkan menurut Sigmund Freud, orang atau benda yang dianggap sebagai tabu bisa diibaratkan benda-benda bermuatan listrik yang bisa mengalir ke tempat lain jika terjadi kontak. Tabu sendiri biasanya muncul karena ketakutan manusia terhadap sesuatu yang misterius. Tapi yang pasti, menurutnya, tabu muncul dari kepentingan kelas yang diuntungkan. Tabu lahir dari sistem pemujaan kepada dewa dan roh. Digunakan untuk menandai mana yang boleh dan tidak boleh. Tabu bekerja di alam bawah sadar manusia sehingga jarang disadari bahkan ketika sistem pemujaan telah berubah.

Pada saat menstruasi, kaum perempuan dianggap sedang berada di masa tabu dan memerlukan perlakuan khusus untuk menghindari pelanggaran. Pelanggaran terhadap tabu adalah tabu itu sendiri. Sehingga dari dari menstrual taboo kemudian muncul menstrual creation berupa kosmetik, sandal, sepatu, pondok haidl, jilbab, dan cadar. Semua bentuk menstrual creation bisa dikatakan adalah “belenggu” yang sengaja diciptakan untuk membatasi perempuan yang sedang menstruasi agar tidak “menulari” yang lain.

Kosmetik seperti gincu dan sebagainya, awalnya digunakan untuk menandari perempuan yang sedang menstruasi agar orang-orang bisa menghindari bersentuhan dengannya. Sementara sandal dan sepatu awalnya bertujuan agar tanah yang diinjak perempuan yang sedang menstruasi tidak tercemar.

Sedangkan pondok haidl dibuat khusus untuk perempuan yang sedang menstruasi. Pondok ini ditempatkan jauh dari perkampungan dengan tujuan agar perempuan yang sedang haidl tidak mencemari masyarakat. Mereka tidak boleh berada di ruang publik membaur bersama masyarakat, termasuk dengan keluarganya sendiri. Di Nepal terdapat tradisi chaupadi di mana para perempuan yang sedang menstruasi ditempatkan di sebuah gubuk yang sangat tidak layak untuk hidup. Terpisah jauh dari masyarakatnya. Tradisi ini masih berlangsung hingga sekarang.

Adapun hijab atau cadar digunakan oleh kaum bangsawan agar para perempuannya tidak diharuskan “diasingkan” di pondok haidl, jauh dari keluarganya. Jadi pada awalnya, hijab atau cadar adalah pengganti pondok pengasingan bagi perempuan bangsawan yang sedang haidl. Mengapa para keluarga bangsawan ini mampu melakukan perlawanan terhadap tradisi lama “pondok haidl”? Freud menjelaskan bahwa raja, kepala suku, maupun pendeta punya mana yang lebih besar dibandingkan dengan rakyat biasa, sehingga memungkinkannya untuk melawan tabu.

Selanjutnya, pemuka agama Yahudi memulai menerapkan aturan tentang perempuan yang bepergian wajib menggunakan hijab tapi orang Kristen dari Byzantium-lah yang menyebarkan penggunaan jilbab hitam panjang. Ada yang menyebutkan bahwa jilbab sudah menjadi bagian dari tradisi pra-Islam bahkan sudah menjadi pakaian bagi perempuan bangsawan di Kerajaan Persia sejak 500 tahun SM.

Hijab sebagai “pengasingan perempuan” atau “pengucilan perempuan” sama sekali tidak dikenal dalam masa Rasulullah. Tradisi hijab dikenal sebagai gaya berpakaian perempuan “kelas atas” di tengah para musafir dan petani miskin. Kalau mau merujuk dari mana gaya berhijab itu datang, jawabannya dari orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.

Fatimah Mernissi mengatakan bahwa ketegasan penggunaan jilbab di tengah kaum muslimin terjadi dua abad setelah Nabi Muhammad wafat.  Yakni saat fiqh disusun dan Islam meluas dan mengakomodir tradisi-tradisi lokal masyarakat di daerah dengan pengaruh budaya Persia dan Romawi.

Quran sendiri mengatakan bahwa perempuan yang sedang haidl merasakan sakit yang sangat (Al-Baqarah [2]: 222). Sebuah nada empatik atas kemanusiaan perempuan sekaligus sebuah misi berat meruntuhkan menstrual taboo di tengah masyarakat. Pada saat ayat ini turun, orang-orang Yahudi terkejut, sesuatu yang selama ini dianggap tabu bagi mereka ternyata bagi Quran itu biasa saja bahkan bernada membela perempuan. Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa pernyataan tentang haidl dalam Quran ini sebagai sebuah pernyimpangan dari tradisi mereka.

Tidak hanya Quran, upaya meruntuhkan menstrual taboo juga dilakukkan Nabi secara praksis. Dalam kehidupan sehari-hari, Nabi tak pernah sungkan untuk berinteraksi secara langsung dengan perempuan yang sedang menstruasi. Beliau pun diceritakan sering minum dalam bejana yang sama dengan istrinya yang sedang haidl. Dalam sebuah hadits, beliau mengatakan, segala sesuatu boleh dilakukan bersama perempuan yang sedang haidl kecuali bersetubuh. Tentu saja ini untuk melindungi kesehatan reproduksi perempuan yang sedang menstruasi, bukan dalam rangka mengucilkan mereka.

Dalam Shahih Bukhari, Nabi Muhammad pernah suatu waktu meminta istrinya, Aisyah untuk mengambilkan pakaian dari dalam masjid. Lalu sontak Aisyah berkata “aku sedang haidl”. Lalu Nabi mengatakan bahwa “haidlmu itu bukan di tanganmu”. Nabi benar-benar ingin mengatakan bahwa tidak ada kutukan sama sekali yang menimpa perempuan saat dia menstruasi. Sehingga perempuan saat menstruasi harus dikucilkan dan dijauhkan dari ruang-ruang publik, seperti masjid dan sebagainya.

Jadi dalam ajaran Islam tidak ada istilah menstrual taboo, sehingga perempuan yang sedang haidl bukanlah manusia yang sedang terkena kutukan. Karena begitu, maka perempuan tidak boleh dikucilkan dari masyarakat. Termasuk mengucilkan mereka dengan mengasingkan mereka di rumah haidl atau menutupi seluruh tubuhnya dengan jilbab dan cadar.

Tapi sepertinya masyarakat Islam hingga hari ini masih meyakini bahwa jilbab memang berasal dari menstrual taboo. Sehingga perempuan-perempuan perlu untuk dihijab dari masyarakat karena kalau tidak akan mencemari seluruh masyarakat. Tabu bekerja di alam bawah sadar manusia sehingga meski ia lahir dari rahim sistem pemujaan kuno akan tetapi banyak orang yang masih meyakininya di zaman modern ini.

Islam yang dibawa Nabi sebenarnya mempunyai semangat untuk meruntuhkan pengaruh buruk dari menstrual taboo tapi kelihatannya ajaran Nabi ini telah terdeviasi. Ajaran Nabi yang pada awalnya memiliki makna serta kekuatan spiritual yang tinggi setelah Nabi meninggal menjadi sebuah ritual yang tanpa makna dan spiritualitas sama sekali. Ajaran yang hanya permukaan itu hanya bersifat emosional, menekan, tak bermakna dan seringkali mengada-ada.

Khalid Abdul Karim mengatakan, masyarakat manapun tidak akan mengalami perubahan hanya karena pengaruh teks. Perubahan terjadi karena perubahan situasi dan kondisi realitas materilnya. Teks membutuhkan waktu yang panjang untuk membuahkan hasil, terutama jika teks itu ingin mengubah tradisi atau sistem sosial dan budaya yang sudah sedemikian dalam tertanam. Semua akan jadi semakin sulit jika sistem lama itu sudah ratusan tahun dipraktikkan dan diyakini. Apalagi jika sistem itu menguntungkan para elit masyarakat. Hari ini, sudah saatnya kita menelaah kembali substansi dan semangat ajaran yang dibawa Nabi dengan sungguh-sungguh.

Budaya berbeda

Menstrual taboo atau tabu menstruasi seakan berlaku secara universal di seluruh dunia oleh karenanya sulit dipatahkan, seolah-olah begitulah cara dunia ini bekerja. Namun jika kita telisik lebih jauh ternyata setiap kebudayaan mempunyai tabu yang berbeda. Setiap kebudayaan punya cara yang berbeda memperlakukan perempuan yang sedang menstruasi. Budaya yang berbeda akan melahirkan tabu yang berbeda pula.

Alma Gottlieb, penulis Blood Magic: The Anthropology of Menstruation mengatakan, dalam masyarakat yang perempuannya mengalami menstruasi hanya setiap dua tahun atau lebih karena seringnya hamil dan masa menyusui yang lama, mungkin tidak akan mengesankan menstruasi sebagai sesuatu yang negatif.

Yurok, suku asli dari pantai barat laut Amerika Serikat memiliki sekelompok perempuan aristokrat yang melihat periode menstruasi mereka sebagai waktu untuk menyucikan diri. Kelompok ini mengalami menstruasi pada waktu yang sama setiap bulan. Pada saat menstruasi, mereka melakukan serangkaian ritual. Masa menstruasi bagi mereka adalah masa dimana pengalaman spiritual mereka berada pada fase yang paling tinggi.

Perempuan-perempuan Rungus dari Pulau Kalimantan (bagian dari Malaysia), menganggap darah menstruasinya sebagai hal yang biasa saja. “Mereka tidak mengatakan itu murni, mereka tidak mengatakan itu mencemari,” kata Gottlieb. “Itu hanya cairan tubuh yang perlu dievakuasi. Mereka tidak mempermasalahkannya.”

Di Pasifik Selatan, perempuan Ulithi yang sedang menyusui bergabung dengan wanita yang sedang menstruasi di sebuah gubuk, bersama dengan anak-anak mereka. Di beberapa bagian Ghana, Afrika Barat, perempuan-perempuan muda duduk di bawah payung yang indah dan seremonial ketika mereka mulai menstruasi. Keluarga mereka akan memberikan hadiah dan memberi penghormatan padanya. Perempuan menstruasi dirayakan seperti seorang ratu. Perempuan Beng di Pantai Gading, saat sedang menstruasi dianggap sebagai bunga pohon. Bunga di sini merupakan sebuah ibarat, pohon akan menghasilkan buah jika merepa sudah mulai berbunga.

Orang-orang Jawa juga tidak mengenal menstrual taboo. Dalam masyarakat Jawa dikenal prinsip daur hidup yang dialami semua manusia. Manusia hidup melalui beberapa tahap dari masa dalam kandungan, kelahiran, akil-balig, dewasa, perkawinan dan kematian. Setiap fase bahkan di beberapa daerah dimaknai secara lebih spesifik. Seperti di Cirebon, fase kandungan dibagi lagi dengan fase bulan yang melambangkan hal yang berbeda, perlu penanganan dan doa yang berbeda pula.

Pada tiap tahap kehidupan, manusia menghadapi bahaya, kesialan, kegagalan, dan musibah. Bahaya itu akan lebih mengancam terutama saat manusia berada pada masa peralihan dari tahap satu ke tahap di atas. Masa peralihan ini disebut orang Jawa sebagai pancaroba. Untuk memperkuat diri dan menghilangkan bahaya tersebut biasanya dilakukan slametan. Di Keraton Yogyakarta masih dilestarikan upacara tarapan yakni upacara bagi perempuan yang pertama kali mengalami haidl. Masa haidl dianggap sebagai peralihan menuju akil-balig yang rentan terhadap bahaya. Upacara tarapan ini mulai ditinggalkan.

Tradisi berhijab di Nusantara

Tidak adanya menstrual taboo di Nusantara juga berimplikasi tidak munculnya menstrual creation seperti rumah haidl, jibab, cadar yang bertujuan untuk membatasi gerak perempuan dalam tradisinya. Baru pada periode terakhir, penggunaan hijab mulai digunakan orang-orang di Nusantara. Alimatul Qibtiyah dalam Hijab di Indonesia: Sejarah dan Kontroversinya mengatakanbahwa hijab pertama kali dipakai oleh seorang muslimah bangsawan dari Makassar, Sulawesi Selatan pada abad 17.

Meskipun demikian, mengutip sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jean Gelman Taylor, Alimatul menuliskan bahwa tidak ada gambar hijab di foto-foto perempuan Aceh pada tahun 1880-an and 1890-an. Hanya beberapa pahlawan perempuan Indonesia yang memakai hijab di masa lalu, banyak di antara pahlawan perempuan muslim justru tidak memakainya. Ini menunjukkan bahwa pemakaian hijab adalah pilihan personal, bukan seruan agama.

Hingga 1970, penutup kepala perempuan di Nusantara yang popular adalah kerudung, kain tipis panjang penutup kepala yang disampirkan ke pundak, dengan leher masih terlihat. Sedangkan jilbab baru dikenal pada 1980-an. Gaya berpakaian seperti ini pengaruh dari Revolusi Iran pada 1979. Semangat Revolusi Iran yang anti-Barat masuk ke Indonesia dan mendorong aktivis Islam menunjukkan identitas keislaman mereka, salah satunya dengan penggunaan jilbab. Jilbab makin popular saat Orde Baru melarang penggunaannya di sekolah umum lewat SK 052/C/Kep/D.82.

Pasca-reformasi, ketika pemaknaan atas identitas keislaman makin beragam dan mendapat ruang di muka publik, komersialisasi pun memasuki jilbab. Sebagai bagian dari sebuah mode, model jilbab dan pakaian muslim berkermbang pesat mulai jilbab segi empat sampai burka, pakaian muslimah bercadar. Identitas keislaman bertemu dengan kapitalisme menghasilkan ceruk pasar yang cukup menggiurkan. Apalagi Indonesia adalah negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia.

Penggunaan hijab pada perempuan Islam, dengan berbagai variasinya, dengan demikian adalah sebuah budaya dari masyarakatnya. Ia terus berubah dari ruang satu ke ruang lainnya, dan dari waktu ke waktu. Dari situasi satu ke situasi yang berbeda dan konteks yang beragam pula. Dari pengaruh mitologis, menstrual taboo, ideologis, hingga modus ekonomi. Hijab tidak berkaitan sama sekali dengan esensi ajaran agama Islam.

Abu Hurairah r.a. menuturkan bawa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kalian, tidak juga pada harta kalian, tetapi Dia melihat hati kalian dan amal-amal kalian.” (Shahih Muslim, no. 6708).

Keislaman dan kesalehan seseorang sama sekali tidak bisa diukur dari gaya berpakaiannya, apakah dia memakai hijab atau tidak, hijab jenis apa yang dipakai, merek hijabnya ataupun dari harganya berapa. Sehingga memakai hijab bukanlah bagian dari ajaran agama, tapi lebih pada budaya masyarakat Islam sebagai ekspresi atas situasi dan kondisi zamannya. Setiap orang dan setiap budaya bisa memaknainya secara berbeda dan itu sah-sah saja.[]

Bacahan Bacaan:

Alifathri Adlin, Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006)

Alimatul Qibtiyah, Hijab di Indonesia: Sejarah dan Kontroversinya, akses dari https://theconversation.com/hijab-di-indonesia-sejarah-dan-kontroversinya-112029.

Gita Laras Widyaningrum, Potret Tradisi Chaupadi, Mengasingkan Wanita yang Sedang Menstruasi, akses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/131269637/potret-tradisi-chaupadi-mengasingkan-wanita-yang-sedang-menstruasi?page=all.

Khalil Abdul Karim, Mujtama’ Alaqah ar-Rajul wa al-Mar’ah fi Ahd an-Nabiy wa al-Khulafa’ ar-Rasyidin, terj. Khairon Nahdiyyin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

Kontjaraningrat, Kebudayaan Jawa, cet. II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994)

Nur Janti, Membuka Bab Sejarah Jilbab, akses dari https://historia.id/kultur/articles/membuka-bab-sejarah-jilbab-PKkye.

R.A. Maharkesti,Tarapan Di Lingkungan Kraton Yogyakarta, akses dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/tarapan-di-lingkungan-kraton-yogyakarta/.

Sigmund Freud, Totem and Taboo: Resemblances between Phychic Live of Savages dan Neurotics, terj. Kurniawan Adi Saputro, (Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus, 2017)

Susan Brink, Some Cultures Treat Menstruation With Respect, akses dari https://www.npr.org/sections/goatsandsoda/2015/08/11/431605131/attention-trump-some-cultures-treat-menstruation-with-respect.

Share to :