Oleh: Abdul Rosyidi
Beberapa tahun lalu, sebelum kasus-kasus kekerasan seksual ramai di media, kami sudah gelisah. Dari lingkungan sekitar, rumah, sekolah, kampus, dan pesantren, saya melihat tanda-tanda bahwa masalah ini ada di mana-mana, meski belum punya bahasa yang meyakinkan untuk menyebutnya.
Ketika mulai belajar kerangka konseptual tentang kekerasan seksual dan seksualitas bersama NAPIESV di 2019, rasanya saya menemukan sebuah kunci. Ternyata, pengalaman yang selama ini kerap dianggap “biasa” atau “tabu dibicarakan” punya nama: “kekerasan seksual”. Saya sadar, di satu sisi bahasa ini lahir dari perjumpaan kita dengan modernitas, di sisi lain banyak lembaga sosial, termasuk pesantren, masih hidup dengan sistem nilai lama. Di titik inilah saya kerap merenung, mungkin ini disebut sebagai “gagap seksualitas”, di mana nilai lama dan nilai baru saling berbenturan.
Pesantren memang dibangun di atas pondasi sistem kehidupan lama yang homogen dan komunalistik, dengan salah satu nilai utamanya yakni ketaatan. Prinsip ketaatan (sami’na wa atho’na) memudahkan transmisi ilmu dan akhlak yang terbukti berhasil melewati zaman. Tapi hari ini kita mendapati fakta, banyak kasus di mana ketaatan bisa berubah menjadi ruang kultus yang rawan disalahgunakan. Banyak kasus kekerasan seksual terjadi justru karena relasi kuasa yang timpang ini.
Itu satu masalah. Di sisi lain, pendidikan seksualitas di pesantren masih sebatas mengelaborasi secara kognitif fungsi biologis menjadi seorang manusia: haid, mimpi basah, nifas, dan lain-lain. Kitab-kitab fiqh klasik yang menjadi rujukan tidak mengaitkan pembicaraan itu semua dengan kesadaran akan diri sendiri, kesadaran sebagai makhluk yang bertubuh, bagaimana berelasi dengan baik, atau bagaimana hubungannya dengan kesehatan mental. Alih-alih demikian, ajaran dari kitab mempunyai kecenderungan untuk membungkus aspek seksualitas dengan narasi-narasi tentang kesucian dan ketabuan.
Kita harus mengakui, banyak pesantren masih mengajarkan seksualitas secara biologis-prokreatif, dengan rujukan kitab fiqh klasik seperti Qurrat al-‘Uyun dan ‘Uqud al-Lujain. Sumber ini, yang lahir berabad-abad lalu, memposisikan seksualitas sebagai objek pengaturan moral, bukan sebagai bagian integral dari kemanusiaan dan spiritualitas. Akibatnya, terjadi kesenjangan pengetahuan yang berimplikasi langsung pada cara memahami dan menangani kekerasan seksual.
Lebih dari itu, dari penelitian yang kami lakukan sejak 2020, ada tiga kesalahpahaman besar yang kerap membuat jurang pemahaman antara budaya lama dan baru. Pertama, kekerasan seksual dalam budaya lama dianggap sama dengan zina/penetrasi di luar nikah; Kedua, tidak ada pemahaman tentang consent (persetujuan) karena basis pemahaman dalam budaya lamanya memang tidak demikian; Ketiga, tidak ada pemahaman tentang “relasi kuasa” karena ini dikursus yang relatif baru, sehingga aspek consent yang bisa jadi tidak sah dalam relasi kuasa yang sangat timpang tidak dapat dipahami.
Karena kesalahpahaman-kesalahpahaman itulah, di dalam sistem sosial lama, santri yang mengalami kekerasan seksual (korban) seringkali ikut dihukum. Banyak kasus berakhir dengan hukuman ta’zir untuk kedua pihak, seolah-olah mereka sama-sama bersalah.
Suara Akar Rumput
Di titik inilah saya memikirkan sebuah pendekatan baru, sebuah teologi yang bisa menjadi cara untuk membaca ajaran agama, tapi berangkat dari pengalaman nyata orang-orang di bawah, terutama yang tertindas dan menjadi korban. Bukan teologi dari atas, dari menara gading, tapi dari suara santri yang mengalami sendiri kekerasan seksual.
Sebut saja pendekatan itu sebagai teologi akar rumput atau disingkat TAR. Secara konseptual, pendekatan ini beririsan dengan teologi pembebasan, yang lahir di Amerika Latin pada 1960-an dalam hal keberpihakan pada orang yang “dilemahkan” (korban) dan orientasinya pada transformasi sosial. Namun, pendekatan ini juga sekaligus kritik atas teologi pembebasan yang pada praktiknya kerap melewatkan tahapan penting: “mendengarkan” suara-suara penderitaan dari bawah.
Pendekatan baru ini penting untuk mengingatkan kembali betapa pentingnya memulai gerakan dari grassroot, dari cerita dan pengalaman orang yang mengalami kekerasan seksual, sebelum kita sampai pada perumusan dengan basis teks dan doktrin. Kita perlu mengingat kembali suara-suara dari pengalaman mereka sebelum lebih jauh merancang aksi. Perlu ada upaya untuk melakukan perubahan mulai dari cara kita membangun pengetahuan.
Dalam penerapannya pada isu kekerasan seksual di pesantren, pendekatan ini mengandaikan berbagai langkah, tapi yang pertama dan utama adalah “mendengarkan” serta menghimpun cerita dan pengalaman orang yang mengalami sebagai sumber utama pengetahuan.
Berikutnya adalah membangun ruang-ruang diskusi yang aman antara santri, mahasiswa, dan alumni. Diskusi dilakukan di ruang publik yang informal. Kegiatan ini bertujuan membalik arus pengetahuan, yang awalnya dari atas ke bawah, menjadi dari bawah ke atas. Dengan pendekatan ini, kita menegaskan bahwa penghapusan kekerasan seksual tidak bisa dimulai dari teks normatif atau fatwa elit, tetapi dari pengalaman orang yang mengalami kekerasan seksual.
Buku Hitam
Di Umah Ramah, semangat itu kami coba hidupkan, salah satunya lewat diskusi buku “Memahami Kekerasan Seksual dengan Lebih Dalam”, atau yang sering disebut “Buku Hitam”. Kami mengajak anak-anak muda, santri, mahasiswa, dan alumni pesantren untuk bicara secara terbuka.
Diskusi ini tidak berlangsung di ruang seminar mewah, di dalam hotel, atau di aula megah kampus, tetapi di selasar, taman kota, lapangan, pokoknya tempat di mana cerita bisa mengalir tanpa beban.
Saya percaya, kita tidak akan bisa menghapus kekerasan seksual tanpa melibatkan orang yang mengalaminya sebagai pusat pengetahuan. Dari merekalah kita belajar, dan dari sanalah perubahan harus dimulai.
Tahun ini, “Buku Hitam” itu kami cetak kembali, dan ini cetakan yang ketiga. Tentu dengan berbagai perbaikan, yang kebanyakan berangkat dari perhatian teman-teman muda kami saat diskusi-diskusi buku sebelumnya. Nah, bagi siapa saja, individu maupun komunitas, yang merasa butuh untuk memahami kekerasan seksual dengan lebih dalam, dengan cara-cara yang berbeda, sebagaimana yang sedikit saya singgung di atas, sangat boleh untuk menghubungi kami. DM Instagram Umah Ramah atau hubungi Sofa (WA: 083148579861). []
Beli bukunya di sini: