Membincang Kompleksitas Gender dalam Karya Sastra Indonesia

First slide

8 Desember 2023

Reporter: Prasetyo Aditya

Umah Ramah bekerja sama dengan kedai kopi Rumah Rengganis menyelenggarakan sebuah diskusi bertajuk “Bincang Sastra: Kompleksitas Gender dalam Karya Sastra Indonesia”, pada Sabtu, 18 November 2023.

Diskusi yang dipandu oleh Adhinda tersebut menghadirkan dua orang novelis, yakni Stebby Julionatan asal Probolinggo dan Napol Riel dari Umah Ramah. Khusus bagi Stebby, berkunjung ke Cirebon adalah pengalaman perdananya. Ia mengaku takjub atas antusias penonton yang hadir.

“Ini pertama kali aku datang ke Cirebon. Aku nggak menyangka, teman-teman yang hadir sangat banyak,” ucap Stebby di hadapan kurang lebih 20 orang peserta.

Baik Stebby maupun Napol, keduanya sama-sama pernah menelurkan novel yang berkisah tentang pengalaman ketubuhan minoritas gender, yaitu novel berjudul “Sekong!” karya Stebby dan “Keloid” karya Napol.

Sekong diterbitkan oleh penerbit BasaBasi pada tahun 2021, sedangkan Keloid rilis pada tahun 2022 oleh penerbit Umah Ramah. Menurut masing-masing penulisnya, kedua karya tersebut adalah refleksi dari pengalaman pribadi mereka.

Menelurkan karya yang berkisah tentang minoritas gender tentu bukan perkara mudah. Pasalnya, sebagian besar masyarakat di Indonesia masih memandang persoalan gender secara biner, laki-laki dan perempuan. Artinya, butuh keberanian ekstra dari seorang penulis untuk mengungkapkan sesuatu yang notabene bertentangan dengan pemahaman mayoritas, terlebih jika kisah yang ditulis merupakan pengalaman pribadi.

Situasi tersebut diamini oleh Stebby dan Napol. Setelah melewati pergulatan batin yang panjang, akhirnya mereka memutuskan untuk berani menuliskan pengalaman otentik mereka. Adapun pendekatan sastra mereka pilih lantaran sastra memiliki potensi untuk dapat menyentuh hati pembacanya.

“Aku memilih novel sebagai media ungkap karena aku ingin para pembaca dapat merasakan emosi yang dialami oleh setiap tokoh, sehingga mereka dapat lebih memahami situasi kompleks yang terjadi dalam cerita,” ungkap Napol.

Meskipun kompleksitas gender acapkali tidak diakui oleh mayoritas masyarakat, namun nyatanya, hal tersebut terjadi dalam realitas. Bagi Stebby dan Napol, menghadirkan karya yang berbicara soal kompleksitas gender adalah upaya mereka untuk menyuguhkan realitas melalui bentuk yang tak sekadar bisa dibaca dan diketahui, namun juga bisa dihayati.

Ada sedikitnya tiga pertanyaan dalam diskusi tersebut, salah satunya adalah perihal strategi untuk menghindari bias gender dalam tulisan, khususnya karya sastra. Menurut Stebby, bias gender dapat dihindari dengan melakukan observasi secara mendalam mengenai tokoh dan peristiwa yang hendak ditulis.

“Kalau kita laki-laki dan ingin menulis tentang perempuan atau gender lain, misalnya, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan dialog mendalam dengan subjek yang ingin kita tulis. Kita lakukan diskusi dengan orang yang mengalaminya langsung agar karya yang kita tulis bisa objektif dan tidak mengandung bias,” Stebby menjelaskan.

Diskusi selama kurang lebih dua jam itu ditutup dengan pembacaan kutipan paragraf dan puisi yang ada pada novel Sekong dan Keloid oleh masing-masing penulis. []

Share to :