Trauma bisa kita pahami sebagai kejadian luar biasa yang bersifat mengancam fisik dan harga diri individu serta dianggap dapat menyebabkan kematian sehingga menimbulkan rasa takut yang luar biasa, rasa tidak aman, dan rasa tidak berdaya ketika peristiwa itu terjadi.
Trauma bisa terjadi dengan paparan langsung maupun tidak langsung terhadap peristiwa yang intensitasnya di luar pengalaman manusia sehari-hari, mengancam fisik dan jiwa, rasa tidak berdaya untuk mengatasi ancaman tersebut, merasa tidak aman setelah peristiwa berlangsung, dan kebingungan terhadap apa yang terjadi, mengapa itu terjadi, dan mengapa terjadi pada dirinya.
Esensi trauma adalah efek kejut luar biasa, sifat-sifat peristiwanya menakutkan, dan respons dari pribadi yang tidak berdaya.
Sifat pengalaman traumatis adalah subjektif. Peristiwa trauma bisa terjadi pada siapa saja tapi apakah peristiwa tersebut berdampak traumatis atau tidak tergantung pada pemaknaan individu.
Psikoanalisis meyakini bahwa trauma berkaitan dengan pengalaman subjeknya yakni bagaimana kapasitas subjek dalam menggapai atau bereaksi terhadap peristiwa yang dia alami. Ini juga berarti peristiwa yang terjadi tidak selalu bersifat “luas biasa” menurut khalayak untuk bisa disebut traumatis, akan tetapi pasti bersifat “luar biasa” bagi individu yang bersangkutan.
Beberapa peristiwa kecil secara umum tidak bersifat traumatis tapi bagi individu yang memaknainya sebagai perstiwa luar biasa bisa saja berdampak traumatis, seperti kompor meledak, jatuh dari tangga, digigit ular, atau barangkali “hanya” disuit-suit saat berjalan di gang sempit.
Memahami Trauma Perspektif Neuro-Sains
Manusia dilengkapi dengan mekanisme organis yang memungkinkannya untuk menanggapi lingkungan secara efektif. Salah satu contoh adalah mekanisme fight or flight, melawan atau lari. Mekanisme ini dilengkapi dengan cara berpikir dan emosi tertentu yang dalam konteks survival (upaya bertahan hidup) telah menjadi prosedur tetap ketika menghadapi tekanan dan stresor di lingkungannya.
Trauma memang sering dipicu oleh peristiwa eksternal tetapi pemaknaan subjektif terhadap traumalah yang menyebabkan peristiwa eksternal tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam pikiran. Van der Kolk (1994) menunjukkan bahwa traumatisasi terjadi ketika sumber daya eksternal dan internal tidak memadai untuk merespons atau menyesuaikan diri terhadap ancaman-ancaman eksternal tersebut.
Ketika manusia dihadapkan pada stresor yang serius, maka salah satu bagian dari otak kita yang disebut amigdala akan melakukan sebuah asasemen, apakah situasi tersebut membutuhkan suatu tanggapan sistemik. Jika jawabannya iya, maka amigdala akan segera merangsang sistem saraf simpatetik untuk menyiapkan tubuh bereaksi fight or flight, melawan atau lari.
Sirkuit di dalam amigdala kemudian melepaskan hormon beta-endorfin yang berfungsi untuk menekan rasa sakit dan memicu keluarnya kortisol. Hormon kortisol berperan dalam proses belajar, memori, dan emosi. Kortisol juga memengaruhi penyimpanan dan penggunaan glukosa, karenanya berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh.
Sifat endorfin sama dengan morfin yaitu memberikan rasa tenang, mengurangi rasa sakit, dan mengurangi agresi. Kalau pemanfaatan hormon ini terjadi sesekali saja, maka itu biasa saja karena itulah mekanisme pada saat manusia menghadapi stresor dalam hidup. Akan tetapi masalah muncul ketika hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi adiktif. Bisa jadi karena hidup penuh dengan kecemasan dan ketakutan. Ketika hidup selalu merasa terancam dan takut, maka pola produksi dan penggunaan hormon ini berubah.
Pada saat individu sudah mengalami adiksi endorfin, dia akan mengalami gejala seperti putus obat ketika tidak ada apa-apa di sekitarnya. Hal ini terjadi karena rasa nyaman yang diakibatkan endorphin. Dalam kondisi tidak terancam dan aman, individu akan merusaha untuk menciptakan ancaman tersebut, bisa dengan melukai diri sendiri, mengganggu orang lain, mencari sensasi, atau melakukan tindakan-tindakan berisiko tinggi.
Hormon kortisol membantu individu untuk memberikan perhatian serius pada stresor. Namun karena tidak setiap hari menghadapi stresor yang serius maka produksi kortisol yang cukup tinggi dan berlangsung cukup lama akan mempunyai pengaruh buruk pada mekanisme produksinya.
Kortisol membantu memproses suatu pengalaman ke dalam memori jangka panjang. Kadar kortisol yang rendah akan menyebabkan rasa takut dan cemas untuk tetap berada dalam memori jangka pendek. Ini bisa menjadi mimpi buruk dan ingatan intrusif (gangguan ingatan). Sebaliknya, jika kadar kortisol tinggi, maka individu akan merasakan gejala hyper-vigilant, sangat sensitif terhadap ancaman yang sangat kecil atau bahkan tidak mengancam. Gejala ini mengganggu relasi dengan orang lain.
Jenis-Jenis Trauma
Briere (2006) membedakan trauma sebagai berikut:
1. Trauma karena kekerasan antarindividu yang bersifat massal seperti terorisme, tawuran, kerusuhan masal, konflik antarsuku, atau konflik militer bersenjata.
2. Trauma karena bencana alam.
3. Trauma karena kecelakaan transportasi.
4. Trauma karena kekerasan domestik dan antar pribadi seperti pendisiplinan dengan menggunakan hukuman fisik yang keras, kata-kata yang melecehkan, dan kekerasan seksual.
5. Trauma karena tindak penyiksaan.
6. Trauma karena jenis pekerjaan yang berhubungan dengan peristiwa atau cerita pengalaman orang yang bersifat traumatis. Seperti pemadam kebakaran, tantara, psikolog, psikiater, pekerja sosial, dan sebagainya.
Sumber: Memahami Trauma dengan Perhatian Khusus pada Masa Kanak-Kanak (Prof. Irwanto, Phd. dan Hani Kumala, M.Psi., Psikolog)