Memahami Kekerasan Seksual dari Lensa Karma

First slide

23 Oktober 2025

Oleh: Napol Riel

Apa yang sebenarnya “dilukai” pada orang yang mengalami kekerasan seksual hingga dampaknya sebegitu berat? Pertanyaan itu terus mengusik pikiran saya.

Selama enam bulan di Umah Ramah, saya melakukan riset kecil dengan membaca berita kasus kekerasan seksual di media online. Di beberapa kesempatan saya juga mendengarkan cerita orang-orang yang pernah mengalami kekerasan seksual. Kisah-kisah memilukan yang saya baca dan dengarkan itu mengungkapkan dampak yang tak main-main pada orang yang mengalami kekerasan seksual.

Para pelaku yang hampir semuanya laki-laki, begitu enteng melakukan kekerasan seksual kepada tubuh lain. Sedangkan yang mengalaminya, yang kebanyakan adalah perempuan muda dan anak-anak, menanggung dampak begitu berat. Di banyak kasus, kekerasan itu bahkan dilakukan selama bertahun-tahun oleh seorang ayah kepada anaknya sendiri.

Ketidakberdayaan, depresi, menyalahkan diri sendiri, malu, merasa tidak suci, panik dan cemas berlebih, bahkan sampai bunuh diri, atau dibunuh pelakunya. Trauma itu tersimpan di tubuh orang yang mengalami kekerasan seksual selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidupnya.

Suatu ketika, saya membaca buku berjudul Karma: Panduan Seorang Yogi untuk Menciptakan Takdir Anda, yang ditulis oleh Sadhguru. Melihat judul dan sampul yang dominan hitam, awalnya saya ragu. Ada kesan muatan “berat” di sana. Saya lebih tertarik pada buku Sadhguru yang satu lagi, Inner Engineering, hanya karena warna sampulnya cerah. Terkesan lebih “ringan” dibaca. Saya putuskan membaca kedua buku itu secara bergantian setiap berganti bab. Tapi akhirnya saya justru lebih dulu mengkhatamkan buku Karma yang gelap itu.

Banyak informasi penting saya dapatkan. Khususnya yang menjawab keresahan saya tentang apa yang sebenarnya dilukai dalam peristiwa kekerasan seksual. Mungkin sedikit dari apa yang saya dapatkan dari membaca buku ini bisa memantik kesadaran bersama tentang bahaya kekerasan seksual. Khususnya bagi laki-laki, yang kerap salah memahami, berasumsi, bahkan menormalisasi tindakan bernuansa seksual yang dilakukannya kepada tubuh lain. Banyak laki-laki yang kami temui di Umah Ramah mengaku tidak menyadari bahwa catcalling juga bentuk kekerasan seksual.

Apa Itu Karma?

“Karma” memang bukan kata yang familiar di lingkungan mayoritas Muslim. Tapi kata itu cukup sering saya temukan dalam tulisan, atau konten media sosial yang membahas tema spiritualitas berdasarkan ajaran Hindu-Buddha. Ungkapan seperti “Hati-hati, nanti kena karma”, juga tidak asing didengar dalam obrolan sehari-hari.

Secara harfiah, karma berarti tindakan (action). Banyak orang memahami tindakan dalam kotak hitam-putih. Baik-buruk. Pahala-dosa. Surga-neraka. Karma dianggap seperti tabungan amal perbuatan. Sadhguru melihat pemahaman seperti itu bukan saja keliru, tapi tragis. Pemahaman itu menciptakan masyarakat yang bingung dan penakut, yang menggunakan istilah karma sesukanya tanpa pernah tahu makna sebenarnya.

Karma, tidak ada hubungannya dengan itu semua. Karma bukan hukum yang dipaksakan dari luar, melainkan cara alamiah segala sesuatu bekerja. Ia menegaskan bahwa kita tidak bisa menyalahkan siapa pun atas hidup ini. Tidak orangtua kita, guru, negara, politisi, nasib, bahkan tuhan. Dengan mengatakan “Ini karmaku,” kita mengakui tanggung jawab penuh atas hidup kita.

Untuk lebih mudah memahaminya, Sadhguru mengumpamakan karma seperti sebuah kantung. Setiap diri kita memiliki kantung karma dengan bobotnya masing-masing. Kantung itu mencakup segala hal yang membentuk kita di segala dimensi: fisik, pikiran, mental, dan energi. Termasuk makanan yang kita makan, oksigen yang kita hirup, informasi yang kita konsumsi, warna kulit leluhur kita, fitur wajah orangtua kita, bakat turunan, warisan trauma, dan banyak lainnya. Tanpa beban karma, kita tak mungkin hidup sampai detik ini. 

Tapi karena karma juga, seseorang bisa sangat terbebani hingga menjadi seperti robot di hidupnya sendiri. Maka yang perlu dilakukan adalah merilis sebagian beban itu setiap hari hingga terasa lebih “ringan”.

Tindakan apapun bisa memperberat atau meringankan bobot kantung karma. Tindakan yang dimaksud bukan hanya tindakan fisik tapi juga tindakan mental, emosional, dan energi. Sadhguru menyebut, dengan bernapas saja kita meluruhkan beban karma sedikit demi sedikit. 

Semakin intens tindakan, semakin besar beban karma yang luruh, semakin ringan kantung karma kita. Namun tindakan juga bisa menambah beban karma jika itu tidak tepat, merugikan, atau menyakiti (diri sendiri atau makhluk lain).

Maka tindakan apapun tidak bisa hilang begitu saja, namun meninggalkan jejak tertentu pada kantung karma kita dan orang lain. Mungkin timbul sebagai rasa-rasa berat yang menahan kita: penyesalan, rasa bersalah, kecewa, putus asa, dan sebagainya. Pada orang lain yang tersakiti, beban itu mungkin muncul sebagai rasa tak berharga, marah, dendam, sedih, rasa terabaikan, dan sebagainya. Jika tindakan itu meluruhkan sebagian beban karma, timbul rasa-rasa ringan yang melegakan: ketenangan, rasa damai, dan bahagia.

Kekerasan Seksual dalam Mekanisme Karma

Sentuhan pada tubuh meninggalkan jejak karma hingga ke dimensi paling halus; energi. Sentuhan fisik menambah beban memori di tubuh. Termasuk memori yang terakumulasi dari trauma kekerasan, intimasi dengan orang lain, maupun dari aktivitas harian yang melibatkan sentuhan fisik apapun. Premisnya adalah, tubuh mengingat semua jenis sentuhan. Tak hanya sentuhan dengan tubuh, melainkan juga dengan substansi fisik apapun.

Namun apa jadinya jika tindakan seksual dilakukan di luar kehendak salah satu pihak (seperti pada peristiwa kekerasan seksual)? Sentuhan fisik kepada tubuh lain di luar persetujuan menambah beban karma tertentu yang cukup besar. Karena tubuh bersifat konduktor, maka sentuhan bukan hanya soal yang fisik, tapi dimensi-dimensi lain dari diri orang tersebut juga tercampur ke sistem (kantung karma kita).

Itulah kenapa kesadaran akan risiko, persetujuan dan kerelaan dari keduanya sangat diperlukan dalam relasi antar tubuh. Karena berarti kita telah memasuki-mengizinkan orang lain, dengan sistem yang berbeda, mencampuri kantung karma kita ke tingkat yang paling halus. Maka dampaknya adalah, sistem menjadi kacau, mengendap sebagai memori yang sewaktu-waktu akan terpicu sebagai kompulsi atau reaksi tertentu di berbagai level: fisik, mental/pikiran, dan energi. 

Mengurai Karma

Dalam mekanisme karma, seseorang tidak perlu memikul rasa bersalah atau melekatkan identitas korban setelah mengalami kekerasan seksual. Karena karma tidak berarti “seseorang pantas menderita”, melainkan hanya memori energi yang bisa diubah dan dibebaskan melalui kesadaran.

Berikut penjelasan bagaimana karma setelah mengalami kekerasan seksual bisa diurai:

1. Karma bukan hukuman atau kesalahanmu

Sadhguru menegaskan:

“Karma bukan hukuman atau ganjaran. Karma adalah kecenderungan yang kamu bawa.”

Artinya jika seseorang pernah mengalami kekerasan, tidak berarti dia bersalah atau layak disakiti. Kejadian itu hanyalah bagian dari dinamika kehidupan, tetapi penderitaan yang berlanjut setelahnya muncul karena pikiran terus mengulang dan mengidentifikasi dengan peristiwa itu.

Langkah pertama untuk melepasnya adalah menyadari: “Aku bukan kejadian itu. Aku adalah kesadaran yang menyaksikan kejadian itu.”

2. Pisahkan diri dari memori, bukan menolak memori

Sadhguru berkata:

“Masalahnya bukan apa yang terjadi kemarin, tapi apakah kamu masih memikulnya hari ini.”

Trauma, termasuk kekerasan seksual, tersimpan sebagai memori emosional dan energetik dalam tubuh dan pikiran. Ia tidak hilang dengan kita menolak atau melupakannya, tetapi larut ketika kita bisa menyaksikannya tanpa mengidentifikasi diri. Tanpa rasa “ini aku” atau “peristiwa/rasa ini milikku”.

Melalui latihan seperti meditasi keheningan, kamu mulai menciptakan jarak antara dirimu (kesadaran) dan pengalaman. Dalam jarak itu, luka mulai sembuh dengan alami.

3. Tidak membiarkan pelaku menentukan kualitas hidupmu

Sadhguru sering mengingatkan:

“Jika seseorang pernah menyakitimu dan kamu terus menderita, kamu mengizinkan dia menguasai hidupmu.”

Kesadaran ini bukan berarti meniadakan rasa sakit, tetapi mengambil kembali kendali atas hidup. Seseorang tidak bisa mengubah apa yang dilakukan orang lain, tapi ia bisa memutus rantai penderitaan batin dengan memilih untuk tidak bereaksi dari luka itu lagi. Itulah momen ketika karma berhenti berputar dan berulang.

4. Melepaskan identitas “korban”

Sadhguru mengatakan:

“Ketika kamu mengidentifikasi diri sebagai korban, pertumbuhanmu berhenti.”

Mengalami kekerasan adalah kenyataan yang menyakitkan, tapi menjadi ‘korban’ adalah identitas yang bisa dilepaskan. Begitu seseorang melihat bahwa dirinya bukan peristiwa yang pernah dialaminya, tapi kesadaran di baliknya, energi lama mulai kehilangan cengkeramannya. Itulah inti dari pembebasan karma.

5. Menggunakan penderitaan sebagai bahan pertumbuhan

Sadhguru sering mengulang:

“Luka tidak bisa dicegah, tapi menderita adalah pilihan. Luka bisa menjadi kemungkinan bertumbuh yang luar biasa.” 

Artinya, rasa sakit dari pengalaman menyakitkan bisa menjadi pintu menuju kebijaksanaan dan welas asih, jika seseorang melihatnya tanpa kebencian dan tanpa berkubang dalam rasa hancur.

Ketika seseorang menggunakan lukanya untuk memahami penderitaan manusia lain, ia mengubah energi destruktif menjadi daya penyembuh bagi dirinya sendiri dan orang lain.

6. Memulihkan energi melalui sadhana

Karma terkait trauma sering tertanam pada lapisan energi tubuh. Sadhguru merekomendasikan latihan olah batin atau sadhana dalam tiap bab bukunya. Latihan spiritual ini sebenarnya juga selaras dengan kearifan lokal dan nilai keislaman dalam laku sehari-hari, yang bisa membantu melepaskan beban energetik itu.

Contohnya Isha Kriya; meditasi sederhana untuk menciptakan jarak antara kesadaran dengan pikiran dan memori. Atau Shambhavi Mahamudra Kriya; teknik meditasi dan pernapasan untuk menyelaraskan tubuh, pikiran dan energi agar bekerja dalam harmoni penuh, dan membuka ruang batin bagi kedamaian.

Latihan tersebut bisa dilakukan melalui aktivitas sehari-hari seperti berdzikir, berjalan kaki, menyapu halaman, hiking di alam bebas, dan sebagainya. Dengan latihan teratur, energi trauma berangsur-angsur tidak lagi menguasai keadaan batin.

7. Menemukan kembali kebebasan batin

Sadhguru menyimpulkan:

“Kebebasan berarti tidak ada apapun di luar dirimu bisa menentukan siapa dirimu.”

Melepas karma setelah peristiwa kekerasan seksual berarti mendapatkan kembali kebebasan itu; agar kejadian menyakitkan tidak lagi menentukan cara kita mencintai, percaya, dan hidup hari ini.

Melepas karma setelah mengalami kekerasan seksual bukan tentang menghapus atau melupakannya, tapi tentang berhenti menghidupi luka itu sebagai identitas diri. Saat diri menjadi “saksi” yang sadar, bukan korban pengalaman, karma itu mulai larut dengan sendirinya. []

Share to :