Oleh: Asih Widiyowati
SAAT dulu saat masih di pesantren saya hampir tidak pernah melihat organ reproduksiku seperti payudara, vagina, klitoris. Jangankan melihat membicarakannya saja kita hampir tidak pernah karena itu saru dan beberapa ustadz bilang katanya nanti akan menghilangkan hafalan yang sedang kita hafalkan.
Lalu pertanyaanya, bagaimana kalau kita sedang haid itu darah keluar dari mana? Atau adik atau anak kita bertanya itu adik bayi keluar dari mana?
Coba bayangkan Anda 2-3 tahun lagi akan ditanya anakmu. Atau sekarang kamu sendiri bingung, kenapa ada darah yang keluar dari dalam tubuh.
Saya dulu saat SMP menangis karena ada darah keluar dari saluran vagina. Saya selalu ketakutan setiap sudah tanggalnya belum keluar darah. Saya takut hamil padahal saya tidak pernah berhubungan seksual. Hal ini apakah akan terus kita tutupi karena anggapan tabu dan saru. Lalu siapa yang kita harapkan bisa menjelaskan itu semua?
Anak-anak biasanya punya rasa ingin tahu yang besar. Merekapun bisa dengan polos melontarkan berbagai pertanyaan yang tidak kita duga-duga, termasuk soal seks dan segala tetek-bengeknya. Saya selalu ingat dulu tak pernah sedikitpun saya mendapatkan informasi dari orang tua, guru, dan lainnya. Sehingga membuat saya haru mencari tahu sendiri dari teman-teman dan bahkan dari internet yang kadang justru tak menjelaskan.
Berangkat dari pengalaman itu, saya ingin memantasakan diri dengan berbagi pengalaman dari pelajaran dan pengetahuan, mengikuti pelatihan dan kursus-kursus seksualitas, dan berusaha menjelaskan itu semua kepada anak-anak dengan cara yang sederhana.
Saya yakin, menjelaskan masalah seksualitas sebagai sebuah hal yang wajar dan tidak tabu justru memberikan landasan moralitas yang benar bagi generasi berikutnya. Kata “tabu” berarti pantangan atau larangan yang tak boleh disentuh atau diucapkan. Ya sampai hari ini, masih banyak orang yang beranggapaan bahwa seksualitas adalah tabu.
Perkara seputar seksualitas dianggap tak sepatutnya dibicarakan atau didiskusikan dalam forum-forum terbuka. Kini kita hidup di zaman serba canggih dengan seluruh kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi.
Ironisnya, isu seksualitas manusia masih dianggap tabu untuk dibincangkan di ruang publik. Tidak heran jika pemahaman kebanyakan orang tentang isu ini sangat minim, bahkan di kalangan kaum terpelajar sekalipun. Akibatnya, tidak banyak yang mengerti apa itu seksualitas, apa fungsi organ-organ seksual manusia dan kesehatannya, apalagi berpartisipasi dan ikut andil dalam upaya melindungi dan memenuhi hak-hak seksual sebagai bagian integral dari hak-hak asasi manusia.
Oleh karenanya penting kita mengenalkan pengetahuan seksualitas lingkungan terdekat kita seperti anak-anak kita, adik, keponakan, dan sebagainya bahwa di tubuh kita ada organ-organ seksual seperti pada perempuan ada vagina, payudara, klitoris, lubang vagina, ada rahim. Pada laki-laki ada penis, buah zakar, dan lainnya, di mana itu semua adalah kodrat, pemberian Tuhan.
Lalu bagian-bagin organ seksual punya fungsi yang berbeda. Kita juga harus menjelaskan pada mereka bahwa bagian-bagian yang organ seksual yang tertutup baju dalam tidak boleh disentuh oleh orang lain. Yang boleh menyentuh hanya orang tua dan dokter karena keperluan pemeriksaan.
Pastinya menyampaikan pengetahuan seksualitas pada anak akan berbeda dengan remaja dan orang dewasa. Beberapa hal yang penting saat kita memperbincangkan soal seksualitas dengan anak-anak: mendengarkan dan menjadi teman curhatnya, mengajak mereka membaca buku bagi yang suka untuk membuka wawasan dan pengetahuan, menggunakan alat peraga, berikan materi sesuai usianya.
Upaya mengenalkan dan sharing pengetahuan seksualitas dengan cara yang sederhana seperti membuat meme, quote-quote sederhana dan penyebarkan lewat media sosial. Meski kadang berkumpul dan berdiksui dengan kelompok muda baik mahasiswa, santri terus coba dilakukan.
Saya hanya ingin generasi berikutnya tak seperti saya yang baru mengenal dan menghargai tubuh sendiri setelah berusia 25 tahun saat di bangku kuliah.
Selain itu padangan tabu dan tak membincangkan seksulitas semoga tak menjadi sesuatu yang mendekam aman di batok kepala kita. Meskipun itu butuh waktu karena budaya patriaki dan penasfiran teks-teks ayat yang sempit. Paling tidak ada upaya dan terus bergerak meski pelan.
Sehingga pemahaman seksualitas tak lagi dipandang sebagai konteks maskulinitas, yang menjadikan perempuan hanya objek dan melahirkan pelecehan, pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Di mana pelakunya seringkali orang-orang terdekat seperti ayah, paman, kakek, guru, pacar dan bahkan suami terhadap istri.
Yuk, kita mulai ramah dan saling aware terhadap apa yang terjadi dengan diri kita, orang sekitar kita dan jangan biarkan perempuan dan anak-anak kita sendirian untuk mencari informasi di luar. Melek seksualitas membuat kita aware dan waspada dari pelecehan dan kekerasan seksual.[]