Oleh: Ahmad Hadid
Seorang pemuda bernama Baridin dikisahkan terlahir dari keluarga buruh tani miskin. Ia bekerja meluku (membajak sawah dengan kerbau). Suatu hari saat hendak pergi ke sawah ia bertemu dengan gadis cantik bernama Suratmina. Ia tergila-gila, kesemsem (kasmaran) dan jatuh cinta pada gadis itu.
Dia menceritakan kisah cintanya kepada ibunya, Mbok Wangsih dan memintanya untuk melamarkan Suratmina untuk menjadi istrinya. Mbok Wangsih berangkat menuju rumah Suratmina dengan tujuan melamar. Sampai di rumah tujuan, Mbok Wangsih mengutarakan maksudnya, namun maksudnya untuk melamar ditolak mentah-mentah.
Bapak Dam, ayah Suratmina yang kaya raya mengusir, memaki-maki dan melempar barang-barang seserahan bawaan Mbok Wangsih. Singkat cerita Baridin tidak terima penolakan itu, ia bertekat untuk membalas perlakuan kasar anak dan bapak kaya raya itu. Ia bertirakat tidak makan dan minum selama empat puluh hari, dan melakukan amal-amalan ilmu, dikenal dengan nama kemat jaran goyang.
Suratmina pun tergila-gila pada Baridin. Tapi pada saat Ratmina sudah jatuh cinta padanya, Baridin yang kadung dendam sudah tidak mau menikahinya. “Baridin emong kawin karo wong wadon edan.” “Baridin tidak mau menikah dengan perempuan gila.” Akhir cerita ini tidak happy ending. Suratmina yang gila kemudian meninggal dalam pengaruh kemat jaran goyang. Tak berselang lama, Baridin pun mati. Badannya tak kuat menanggung syarat kematnya.
***
Cerita rakyat Baridin & Suratmina adalah kisah yang mengangkat romansa si miskin dan si kaya. Cerita ini menjadi sangat populer di Cerbon dan sekitarnya sejak dikemas dalam bentuk drama tarling oleh Grup Putra Sangkala pada tahun 1970-an.
Tentu saja cerita ini tidak bebas nilai, sebagai hasil konstruksi manusia pasti mengandung ideologi dari penciptanya, yakni masyarakatnya. Cerita rakyat adalah sistem tanda yang dapat dimaknai dengan berbagai sudut pandang. Yang menarik dari cerita Baridin adalah sisi maskulinitas yang membentuk Baridin sebagai laki-laki.
Unsur-unsur maskulinitas dalam cerita Baridin sangat kentara dalam kultur masyarakat Cerbon dan sekitarnya. Slogan “cinta ditolak, dukun bertindak” kerap kali dianggap sebagai hal wajar yang dilakukan laki-laki saat ungkapan rasa cintanya ditolak perempuan. Slogan semacam itu menggambarkan bagaimana laki-laki menjadi sosok yang dominan dalam relasi percintaan. Kultur masyarakat pun terlihat sangat mendukung laki-laki untuk menjadi “penakluk” perempuan meskipun dengan cara-cara yang berlebihan dan tidak wajar.
Masyarakat Cerbon atau spesifiknya Desa Jagapura dalam latar tempat cerita Baridin secara sosio-kultural adalah masyarakat patriarkal, yakni laki-laki menjadi subjek utama dalam struktur sosial. Hal demikian digambarkan dalam bentuk struktur terkecil kekerabatan dalam masyarakat Cerbon, yakni keluarga batih (bale somah atau kulawarga) yang dikepalai oleh bapak sebagai kepala somah.[1]
Dahulu atau mungkin sampai sekarang Jagapura adalah sebuah desa yang mayoritas masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani. Jagapura terletak di perbatasan jalur tengah antara Cirebon dan Indramayu. Letaknya yang di tengah tersebut juga merupakan posisi antara pesisir dan pegunungan yang secara demografi merupakan dataran rendah. Hal demikian menjadikan Desa Jagapura memiliki lahan pertanian yang luas.
Di samping itu, Pada tahun 1970-an dalam dunia pertanian di Indonesia merupakan masa peralihan dari pertanian tradisional menuju modern ditandai dengan program revolusi hijau. Hal demikian menuntut para petani untuk beradaptasi dengan sistem pertanian modern. Bagi petani yang cepat beradaptasi dengan dunia baru, mempunyai modal, dan menguasai alat-alat produksi, perubahan ini adalah sebuah peluang besar. Tapi bagi petani kecil atau hanya sekadar buruh tani seperti Baridin, perubahan membuatnya semakin melarat dan tertinggal.
Revolusi hijau juga memberikan dampak negatif seperti ketergantungan petani terhadap pestisida dan bahan kimia yang tidak ramah lingkungan, tidak meratanya alat-alat modern sehingga menimbulkan kesenggangan, dan muncul kapitalisasi dalam sektor pertanian.[2]
Demikianlah cerita Baridin, populer dan hidup sampai sekarang dalam kultur masyarakat agraris-patriarkal yang sedang dan terus berinvolusi.
***
Maskulinitas dalam hal ini adalah konstruksi masyarakat terhadap kelelakian atas laki-laki, dimana berbagai nilai melekat di dalamnya sebagai patokan menjadi laki-laki “ideal”. Maskulinitas bukanlah bawaan dari lahir melainkan konstruksi sosial. Secara garis besar nilai-nilai yang diutamakan dalam maskulinitas adalah kekuatan, kekuasaan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, dan kerja.[3]
Untuk menganalisa maskulinitas dalam sebuah cerita rakyat kita bisa menggunakan konsep tujuh area yang dikemukakan oleh Janet Saltzman Chafetz, yakni: (1) penampilan fisik, (2) fungsional, (3) agresif seksual, (4) emosi, (5) intelektual, (6) interpersonal dan, (7) karakter personal lainnya.[4]
Dalam cerita, sosok Baridin dianggap sebagai pemuda tertampan di antara pemuda lain di kampungnya. Anggapan itu muncul dari teman-teman perempuan Suratmina. Namun tidak bagi Suratmina, menurutnya Baridin adalah pemuda jelek, kucel dan dekil yang mengenakan pakaian kampungan dan serba tambalan.
“Bocah blesak, mambue blenak, pikirane soak”. (Pemuda jelek, baunya tidak enak, pikirannya rusak).
Secara fungsional, Baridin digambarkan sebagai tulang punggung keluarga, gambaran itu terlihat dari ungkapan Mbok Wangsih saat diminta untuk mengembalikan tumpeng milik Mang Bun.
“Mbok ora gableg duit, kan kacung Baridin sing mekaya”. (Ibu tidak punya uang, kan hanya Baridin yang bekerja).
Secara agresif seksual, Baridin dan tokoh laki-laki dalam cerita tersebut digambarkan sangat agresif dalam hal seksual. Gambaran itu terlihat dari percakapan yang sering merayu, menggoda, dan mengungkapkan lamaran terhadap Suratmina.
Secara emosi, Baridin digambarkan sebagai tokoh yang keras kepala, suka mengancam, dan pendendam. Gambaran itu terlihat dari percakapan dengan Mbok Wangsih saat memaksa ingin melamar Suratmina.
“Mbok, lamaraken Suratmina anggo Baridin, lamun ora Baridin mati bae”. (Ibu, lamarkan Suratmina untuk Baridin, jika tidak Baridin mati saja).
Secara intelektual, Baridin digambarkan sebagai tokoh yang dolog (dungu). Ia adalah pemuda yang tidak pernah berpikir panjang serta tidak bisa memikirkan sebab akibat dari tindakan yang dilakukannya. Gambaran tersebut terlihat dari percakapan saat ia mengutarakan lamarannya kepada Suratmina.
“Gawe geblog waguwe pelog, wonge goblog kaya jaka dolog”. (Bikin [kue] geblog bumbunya kelapa, orangnya goblog seperti Jaka Dolog).
Secara interpersonal, Baridin digambarkan sebagai tokoh yang ceroboh, tidak bertanggung jawab, dan tidak punya wewenang atas apapun. Kecerobohannya terlihat dari percakapan yang sering menyuruh atau melakukan pekerjaan tanpa menimbang akibatnya.
Konsep maskulinitas yang terakhir adalah karakter personal lainnya, Baridin digambarkan sebagai tokoh yang nekat. Dapat dilihat dari ia mengamalkan kemat jaran goyang demi mendapatkan balasan cinta yang ia harapkan. Baridin nekat puasa selama empat puluh satu hari empat puluh satu malam tanpa makan dan tanpa tidur.
Dari analisa tersebut didapatkan gambaran atas sosok Baridin yang lemah dan tersakiti. Gambaran tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang yang ideal dalam maskulinitas, yakni kekuatan, kekuasaan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, dan kerja. Namun, dalam posisi terlemah sekalipun masih ada cara yang bisa dilakukan oleh laki-laki untuk tetap menyakiti dan mendominasi.
Hal ini menjadi menarik jika dibandingkan dengan cerita roman lainnya yang sezaman, yakni cerita tentang Siti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Rusli, saat posisi lemah dan tersakiti berada pada perempuan, maka tidak ada cara lain selain pasrah dengan keadaan.
***
Roman cerita Baridin adalah tentang cinta dalam suasana alam patriarki, dimana perempuan tidak punya otoritas atas dirinya. Baridin digambarkan sebagai pejuang cinta yang menggebu-gebu dan pantang menyerah meskipun sudah berkali-kali mengalami penolakan. Terlihat dari perkataan Baridin:
“Bagen mlarat Baridin lanang, demen wadon iku wenang”. (Biar miskin tapi Baridin laki-laki, menyukai perempuan itu benar belaka).
“Demen iku soal ati, dudu soal ekonomi”. (Cinta itu soal hati, bukan soal ekonomi).
“Bagen ning lêk-lêke naga pasti tek udag”. (Biarpun [ada] di leher naga, pasti saya kejar).
Kalimat di atas menggambarkan bahwa mengungkapkan cinta adalah otoritas laki-laki dan tidak boleh ditolak. Jika mendapatkan penolakan maka cinta patut untuk diperjuangkan sampai dapat, bagaimanapun caranya.
Selain itu, alam patriarki juga digambarkan pada kalimat yang diucapkan Bapa Dam. Ia sangat ingin menjodohkan anaknya (Suratmina) dengan orang kaya.
“Ratmina ku ayu anake wong sugih sing ngelamare kudu wong gedeyan, wong sugih”. (Ratmina itu cantik, anaknya orang kaya raya. Yang melamar harus orang besar, orang kaya juga).
Framing tentang patriarki yang lain juga terlihat pada adegan percakapan di pasar, yang menekankan bahwa perempuan tidak boleh rewel, tidak boleh kasar, tidak boleh melawan laki-laki. Jika perempuan mengabaikannya maka akan ada malapetaka yang menghampirinya.
Dalam alam patriarki, pembahasan cinta selalu bias. Termasuk dalam drama tarling Baridin. Laki-laki digambarkan sebagai pihak yang dibenarkan untuk agresif dalam menuntut cinta dari perempuan yang dituju. Perempuan dalam konstruk ini hanya berperan sebagai objek pasif saja. Laki-laki dibenarkan untuk merayu, menggoda hingga berwenang untuk mengutarakan lamaran tanpa melihat bagaimana perasaan, penerimaan, dan keinginan perempuan. Persetujuan perempuan dapat daiabaikan melalui persetujuan bapaknya.
Cerita Baridin menurut saya bukanlah kisah cinta, melainkan tentang hasrat laki-laki yang ingin memiliki, menguasai, dan mendominasi perempuan. Cinta seharusnya mengharapkan yang terbaik untuk semuanya bukan untuk memenuhi hasrat semau-maunya. Sebab cinta adalah tautan rasa bukan perebutan kuasa. []
* Disampaikan pada Diskusi Keprapag Maskulinitas #2, 31 Januari 2024.
[1] Mohammad Suganto Prawiraredjo, Cirebon: Falsafah, Tradisi dan Adat Budaya, (Jakarta: PNRI 2005), hal. 97.
[2] https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/10/161812669/revolusi-hijau-di-indonesia. Diakses pada: 32/01/2024, pukul 2.56 WIB.
[3] Barker dalam Moh. Sabab Nasrullah, Maskulinitas Laki-laki Pedesaan: Studi Citra Tubuh Laki-Laki di Pusat Kebugaran, (Surabaya, Universitas Airlangga) hal. 7.
[4] Sugiarti dkk. Representasi Maskulinitas Laki-Laki dalam Cerita Rakyat Nusantara, (KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, dan Pengajarannya, Vol 8, No.1, April 2022) hal. 184.