“Marital Rape”

First slide

1 Juli 2022

Oleh: Winarno

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sangatlah kompleks dan beragam bentuknya. Salah satunya marital rape. Suatu tindak kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri untuk melakukan aktivitas seksual tanpa mempertimbangkan kondisi istri. Menurut Musdah Mulia, istilah marital rape dapat dikategorikan sebagai perilaku perkosaan oleh suami terhadap istri.[1]

Di dalam budaya patriarki tentu aneh dan terdengar tak logis ketika mendengar perkosaan terhadap istri. Karena memang masyarakat kita terkonstruksi bahwa istri harus manut pada suami, dalam kondisi apa pun, termasuk hubungan seksual. Padahal pemaksaan dalam bentuk apa pun dirasa sangat menyakitkan, apalagi marital rape.

Nah, kasus marital rape seringkali mencuat di berbagai media massa, bahkan tercatat di beberapa lembaga layanan atau pendampingan hukum. Komnas Perempuan mencatat selama dua tahun (2019-2020) ada sekitar 157 kasus marital rape. Kasus yang tercatat tersebut hanyalah istri-istri yang berani melaporkan ke lembaga layanan saja. Sehingga kemungkinan bisa tinggi kasusnya jika banyak yang berani bicara. [2]

Inilah beberapa orang yang mengalami marital rape, berulang kali kejadiannya. Bahkan ketika haid pun, suami tetap memaksa. Akibat perlakuan itu, didampingi kakak dan tim pengacaranya, perempuan tangguh itu berani melaporkan ke pihak berwajib.

“Selama tinggal bersama sejak pernikahan itu terjadi, dia mengalami kekerasan fisik, ada visumnya. Kalau secara psikis, dia sudah tak sanggup lagi tinggal di situ karena mengalami hal-hal yang traumatik,”.[3]

Cerita lain dari perempuan yang sudah berkeluarga pun mengalami marital rape. Tidak bisa mengatur libidonya, akhirnya si suami memaksa istrinya, meski kondisi istri tengah melelahkan. Seperti ini pengalamannya.

“Waktu itu, saya pas pulang dari kerja. Lalu saya nyuci, pas sudah selesai, suami saya pulang. Dia langsung “minta” (hubungan seksual). Lalu saya bilang, jangan sekarang soalnya saya cape habis nyuci, tapi suami malah maka. Ya, mau gimana lagi akhirnya saya turuti,”.[4]

Hal yang sama pun dialami perempuan yang mengalami pemaksaan seksual. Umah Ramah mendapati pengalaman menyakitkan ini (marital rape) dari beberapa perempuan yang sudah berkeluarga. Inilah kisah pahitnya.

  1. “Suami datang saat ingin berhubungan seksual. Bertahun-tahun saya hanya dijadikan pemuas hasrat seksualnya saja.”
  2. “Istri harus nurut sama suami, sampai ada istilah suwarga nunut neraka katut (surga dan neraka tergantung kata suami).”
  3. “Nyeri di perut dan sakit punggung belum juga sembuh karena sedang menstruasi, tapi dia minta berhubungan seksual. Padahal sudah saya kasih tahu. Dia malah bilang: sudah lakukan saja. Tugas istri itu melayani suami.”

Dampak kasus marital rape yang paling sadis terjadi di Bali tahun 2014 silam. Seorang perempuan meninggal dunia usia mengalami patah tulang rusuk, memar di dada, dan infeksi di kemaluan setelah dipaksa berhubungan seksual oleh suaminya. Padahal sebelumnya korban sempat menolak berhubungan seks, lantaran tidak enak badan, napasnya sesak dan sakit jantungnya sedang kambuh, tapi suaminya, tak peduli.[5]

Dari beberapa kisah marital rape tersebut, mengutip Elli Nur Hayyati dari bukunya Milda Maria, Marital Rape: Kekerasan Seksual terhadap Istri. Perempuan yang secara berulang dan berkelanjutan menjadi korban pemerkosaan suaminya akan terjangkiti beberapa karakter, antara lain:

  1. Inferior, merasa rendah diri dan tidak percaya diri;
  2. Kerap dan selalu bersalah sebab ia membuat suami “kalap”; dan
  3. Menderita gangguang reproduksi akibat perasaan tertekan atau stres, seperti infertilitas (kurang mampu menghasilkan keturunan) dan kacaunya siklus haid.[6]

Bukan hanya itu, marital rape paling parah yakni bisa juga berujung pada kematian, seperti yang dialami pada perempuan di Bali. Jadi dampak dari kekerasan seksual janganlah dianggap remeh. Meski sudah berkeluarga, consent adalah hal yang penting demi menciptakan hubungan seksual yang nyaman dan aman.

Menurut Mansour Fakih, perkosaan terjadi di ranah domestik dilakukan tanpa consent atau kerelaan sang istri. Tidak adanya kerelaan ini disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya ketakutan, malu, terpaksa, baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak ada pilihan lain. Jika pun ditolak istri, maka suami akan melakukan tindakan pemukulan atau serangan fisik.[7]

Selain itu juga dalam pemahaman agama bias gender tersebut, kaum perempuan secara seksual dimiliki dan dikontrol oleh laki-laki dan tugas utama istri adalah melayani. Meskipun tidak jelas dari mana pandangan ini datangnya, namun hubungan seksual bagi kaum perempuan lebih dikonstruksi sebagai kewajiban belaka.[8]

Menurut Kathryn Chadwich dan Catherine Little mengutip Puji Tyasari, Marital Rape: Studi Tentang Terjadinya Kekerasan Seksual dalam Perkawinan di Surabaya, faktor penyebab dan dampak terjadinya tindak kekerasan seksual bagi perempuan harus dilihat dengan konteks yang lebih luas. Perkosaan bukan soal ekspresi dari libido suami yang sulit diatur tapi terhadap pihak yang lebih kuat dan berkuasa pada pihak lainnya, yakni perempuan.[9]

Menurut Gadis Arivia, persoalan kekerasan seksual bukan soal pemenuhan hasrat seksual, tetapi soal relasi kuasa.[10] Relasi kuasa disini bukan semata-mata pada jabatan formal di lembaga atau institusi, tetapi soal sistem dan struktur sosial, budaya, politik, pendidikan, bahkan agama yang mempengaruhinya.

Istilah lainnya adalah ketimpangan gender. Posisi timpang itu antara lain disebabkan relasi gender tidak setara. Ideologi patriarki inilah melegitimasi suami sebagai pemegang otoritas kepala rumah tangga sehingga menempatkan istrinya berada di posisi paling bawah.

Meski kasus marital rape masuk dalam delik aduan sesuai amanat UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun dalam praktiknya alat bukti berupa akta pernikahan harus benar-benar dipegang istri. Inilah salah satu bentuk relasi kuasa (administratif) yang dialami seorang istri.

Oleh karena itu, menurut Ninik Rahayu, istri yang tidak menguasai dokumen akta pernikahan dan berbagai alasan lainnya, sehingga menjadi hambatan bagi istri untuk memeroleh keadilan, lantaran teknis administratif. Penegak hukum seringkali luput mempertimbangkan kondisi dan posisi pelaku terhadap korban. Apalagi jika marital rape dilakukan oleh suami terhadap istri tanpa ikatan perkawinan negara, meski sah secara adat atau agama.[11]

Disamping itu pula, kasus marital rape dianggap oleh masyarakat (patriarkhi) adalah urusan privat di dalam keluarga. Apabila kasus ini mencuat maka aib bagi keluarga itu. Demi menjaga nama baik keluarga, secara terpaksa istri-istri itu menutup serapat mungkin agar tidak diketahui pihak luar, disamping soal ancaman-ancaman suami.

Menurut Komnas Perempuan marital rape itu ada dalam kehidupan rumah tangga. Ketidakpahaman masyarakat tentang konsep marital rape terjadi karena dipengaruhi oleh kultur dan hukum perkawinan di Indonesia. Karena pada umumnya suami dianggap sebagai pencari nafkah dan istri seseorang yang harus siap melayani suami, termasuk dalam hubungan seksual.[12]

Menurut Milda Maria, KDRT hingga saat ini tampak kurang mendapat perhatian serius di kalangan masyarakat. Beberapa alasan bisa dikemukakan di sini, yakni: pertama, KDRT cenderung tak kentara dan ditutupi karena rumah tangga adalah area privat. Kedua, KDRT sering dianggap wajar karena memperlakukan istri sekehendak suami masih dianggap bahkan diyakini sebagai hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, KDRT itu terjadi dalam sebuah lembaga yang sah (legal), yaitu perkawinan. Kenyataan ini membuat masyarakat abai dan tak sadar. [13]

Hal inilah membuat masyarakat tidak peduli pada kasus-kasus KDRT, khususnya marital rape. Sebab, kasus ini dianggap angin lalu saja di dalam bumbu-bumbu pernikahan, sehingga masyarakat mengganggap hal ini wajar dan lumrah. Padahal dibalik itu semua, istri yang mengalami marital rape berdampak pada kondisi (kesakitan) fisik dan psikisnya. ***


[1] Musdah Mulia, Mengupas Seksualitas, (Jakarta: Opus Press, 2015), 72.

[2] Tim Komnas Perempuan, Catatan Akhir Tahun 2021: Perempuan dalam Himpitan Pandemi, Lonjakan Kekersan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2021), 17.

[3]Istri Mansyardin Malik Mengaku Dipaksa Melayani, Komnas Perempuan: Marital Rape”, diakses dari tempo.co pada 21 April 2022.

[4] Puji Tyasari, Marital Rape: Studi Tentang Terjadinya Kekerasan Seksual dalam Perkawinan di Surabaya (skripsi), (Surabaya: Program Studi Sosiologi Universitas Airlangga, 2006), 63.

[5] “Konsep Marital Rape, Masih Dianggap Antara Ada dan Tiada, akses dari cnnindonesia.com pada 21 April 2022.

[6] Milda Marlia, Marital Rape: Kekerasan Seksual terhadap Istri, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), 7-8.

[7] Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet. XIV, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 18.

[8] Ibid, 193.

[9] Marlia, Marital…, 112.

[10] Gadis Arivia, Kekerasan Seksual dalam Perspektif Filsafat (makalah), 3-4.

[11] Ninik Rahayu, Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia, cet. III, (Jakarta: BIP Kelompok Gramedia, 2021), 119.

[12] Konsep…, diakses dari cnnindonesia.com pada 21 April 2022.

[13] Marlia, Marital…, 3-4.

Share to :