Konfrontasi Diri

First slide

2 Desember 2022

Oleh: Napol Riel

***

Berseteru dengan diri sendiri

yang lampau,

gelap dan tersembunyi:

berdebat perihal

bagaimana mencintai—aku

dan diri lain—tanpa

 ‘untuk’ dan ‘tapi’

Seperti saat Ibu diam-diam

menjahit celanaku yang robek

padahal ia membenci

celana itu..

Ungkapan kasih hanya

akan terlihat sebagai

selubung investasi,

belas kasihan,

atau

permohonan maaf

yang terlambat

sebelum konfrontasi berakhir

damai.

“”

17/11/’22

***

Selama lima hari, kami melalui rangkaian kegiatan penguatan kapasitas di Jogja—seperti yang sudah Umah Ramah dan NAPIESV lakukan tiap akhir tahun sejak 2020. Ini tahun ketiga. Kegiatan-kegiatan itu—setelah melalui proses tiga tahun belajar bersama—semakin memperdalam pemahaman kami tentang seksualitas, kekerasan seksual dan segala interseksinya. Juga trauma dan pemulihannya, yang diurai bersama lewat cerita hidup masing-masing.

Dua minggu setelahnya, selama dua hari kami mengadakan diseminasi di kantor Umah Ramah, mendiskusikan isu-isu serupa bersama lima orang teman baru dari lembaga lain. Kegiatan ini merupakan awal dari rangkaian agenda Umah Ramah dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP). Semakin erat dan berlipat ganda kekeluargaan di Umah Ramah menjadi keniscayaan.

Banyak pelajaran bermakna saya peroleh yang sangat membantu dalam memahami trauma dan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Penting sekali karena ini juga menjelaskan akar kekerasan seksual dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, juga upaya-upaya apa yang bisa dilakukan untuk pemulihan.

Betapa tidak seorang pun terhindar dari trauma semasa hidup. ‘Besar’ atau ‘kecil’, disadari atau tidak, trauma tidak bisa menghilang begitu saja meski terjadi bertahun-tahun lalu. Tubuh kita menyimpan trauma sebagai memori tubuh yang sewaktu-waktu akan menampakkan diri; sebagai reaksi fisik, atau perilaku kita kepada orang lain.

Masalahnya, kemunculan itu di luar kendali kita. Hal ini yang membuat kita sering kali tanpa sadar menyakiti orang lain. Atau malah, merasa perbuatan itu—yang adalah respons trauma—sebagai bentuk cinta. Lain lagi, trauma yang belum pulih juga dapat muncul sebagai blokade diri. Ini yang membuat orang yang mengalami kekerasan seksual menjadi sangat tertutup, depresi, dan bersikap defensif terhadap hal-hal yang memicu traumanya. Maka sangat aneh jika pemenuhan keadilan bagi orang yang mengalami kekerasan seksual tidak berdasarkan cerita/keinginan dari orang yang mengalami.

Pengalaman traumatis tidak mungkin dilupakan, tapi trauma bisa diurai jika kita mau masuk ke dalam diri. Istilah yang didapat dari diskusi kami: “menziarahi diri”. Butuh keberanian besar, karena kita secara sadar ‘mengunjungi’ diri-diri kita di masa lalu, di semesta lampau yang membentuk kita menjadi diri yang sekarang. Kita menyapanya, merasakan kembali apa yang dirasakannya, di masa dan semesta itu. Dari sini kita bisa mulai meraba-raba trauma seperti apa yang dialami. Mengenalinya, merasakan segala emosinya, lalu perlahan menerimanya.

Proses ini tentu tak mudah dan bisa jadi butuh waktu bertahun-tahun. Tergantung sedalam apa luka dan segigih apa kita mau memproses diri. Tiap orang memiliki cara dan waktunya masing-masing. Tapi yang perlu selalu diingat adalah, trauma bukanlah diri kita. Trauma tidak seharusnya mendefinisikan siapa kita. Pada saat seperti apa kita merasa merdeka sebagai diri sendiri? Temukan, dan ingat-ingat perasaan itu.  Barangkali, pada saat itulah diri kita yang sejati terlihat; diri yang tidak lagi dibayangi trauma dan belenggu masa lalu.

Karena hampir tiap orang memiliki traumanya masing-masing, dalam proses memulihkan diri, kita bisa secara sadar memaafkan apa yang sudah terjadi. Orang-orang yang mencederakan kita, sangat mungkin adalah orang-orang dengan trauma besar yang tidak disadari. Maka memaafkan mereka, sesungguhnya adalah salah satu upaya pemulihan diri agar kita bisa terus melanjutkan hidup. Memaafkan tidak harus dengan berhadapan atau berkomunikasi langsung. Tapi yang terpenting adalah dengan kesadaran, bahwa yang sudah terjadi telah dilepaskan dari diri. Dan memaafkan tidak berarti mereka harus terlihat atau ada di hidup kita lagi.***

Share to :