Khataman “Buku Pink”: Menelusuri Akar-Akar Kekerasan Seksual

First slide

11 Desember 2024

Oleh: Napol Riel

Diskusi bagian terakhir (khataman) buku “Pesantren, Seksualitas, dan Kekerasan Seksual” digelar pada Sabtu malam, 30 November 2024 di Kopi Satu Visi. Bedah “buku pink” yang keenam itu digawangi Ayuning Dharma Malik dan tim Umah Ramah. Tema diskusi pamungkas kali ini tentang akar-akar kekerasan seksual dan upaya menyudahinya.

Pertama-tama, Ayuning dengan antusias memaparkan refleksinya. Dia mengaku memeroleh pemahaman lebih dalam tentang kenapa kekerasan seksual terjadi. Ayuning juga menekankan bagaimana kita semua terlalu sibuk menyalahkan pelaku dan orang yang mengalami kekerasan seksual tanpa melihat dan mengurai sebab-sebabnya.

“Biasanya orang menganggap kekerasan seksual terjadi karena pelaku punya pikiran yang kotor, atau memang dianya saja yang seperti itu (jahat, tidak bermoral, dsb). Padahal kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja. Ada akar penyebab kenapa seseorang menjadi pelaku,” kata Ayuning.

Di media sosial, Ayuning melihat tudingan kepada orang yang mengalami kekerasan seksual pun tak sedikit. Netizen kerap kali menyalahkan pakaian atau perilaku orang yang mengalami kekerasan seksual. Padahal kekerasan seksual terjadi karena ada niat dan pelaku memutuskan melakukan itu. Sedangkan orang yang mengalaminya, tentu tidak pernah berharap hal buruk akan menimpanya. 

Salah satu hal yang Ayuning sadari betul dampaknya adalah bagaimana setelah kekerasan seksual terjadi masyarakat melabeli orang yang mengalami itu sebagai “korban.” 

“Ketika pelabelan ‘korban’ terus-menerus ditanamkan ke diri seseorang, ternyata itu istilah yang menurutku jahat banget. Karena, disadari atau tidak, istilah itu terasa seakan-akan elu tuh manusia paling nggak beruntung di muka bumi ini. Siapa sih orang yang mau mengalami hal buruk, yang mau mengalami kekerasan seksual? Nggak ada. Itu kan musibah,” tegasnya lagi. 

Ayuning menyayangkan dunia yang patriarkal masih sangat melemahkan perempuan, kelompok manusia dengan jumlah terbanyak yang mengalami kekerasan seksual. Sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula dengan label-label negatif, belum lagi ditambah pengucilan dari orang-orang sekitar.

Ayuning juga mengatakan diskusi-diskusi tentang seksualitas seperti itu sangat bagus akan tetapi dia berharap agar tidak berhenti hanya sampai kegiatan itu selesai. 

“Pengetahuan yang didapat sebaiknya juga menjadi bahan refleksi kita menuju pemahaman. Hingga kemudian itu bisa diterapkan sebagai laku hidup, karena ini semua tentang bagaimana kita memanusiakan manusia lainnya,” pungkasnya.

Salah satu peneliti dan penulis “buku pink”, Abdul Rosyidi, menyoroti apa yang sebenarnya ingin disampaikan pada Bab VI dan VII di dalam buku.

“Sudah banyak yang bilang bahwa akar kekerasan seksual adalah relasi kuasa. Nah, di bab terakhir ini kami ingin menjelentrehkan (mengurai) bagaimana ‘relasi kuasa’ itu berada dalam hidup kita,” Kang Ochid memaparkan.

Salah satu uraian dalam bab VI diantaranya membahas tentang Patriarki, Kuasa Pengetahuan, Ideologi Prokreasi, Mitos Kejantanan, Fragmentasi Seksualitas, dan Sami’na wa Atho’na (kepatuhan mutlak dalam kultur pesantren). Sedangkan di bab VII berisi usulan upaya-upaya apa saja yang bisa dilakukan bersama. Dari hulu ke hilir, untuk menyudahi kekerasan seksual. 

Kang Ochid pun menanggapi pertanyaan Ayuning tentang fragmentasi seksualitas yang sebelumnya disinggung. 

“Fragmentasi seksualitas itu seksualitas yang direduksi sebagai fragmen-fragmen, kepingan-kepingan. Seksualitas dianggap hanya tentang hubungan seksual saja, atau tentang yang daging, biologis-reproduktif saja, itu seksualitas yang terfragmentasi,” jelasnya.

Jawaban ini merujuk pada makna seksualitas di diskusi bab sebelumnya, bahwa seksualitas mencakup segala aspek dalam hidup manusia (meliputi konteks budaya, agama, tradisi, sosial, ekonomi, dan sebagainya) dalam relasi dengan kebertubuhannya. 

Diskusi bergulir hingga jam 10 malam dengan berbagi pengalaman, refleksi, serta tanya-jawab antar peserta diskusi. Tentang realitas sosial sehari-hari, ketakutan menikah yang banyak dialami Gen Z, apa di balik fenomena childfree di kalangan muda hari ini, kesiapan menjadi orangtua, dan apa sebenarnya tujuan kita hidup. []

Share to :