Oleh: Mahirotus Shofa
Hari ini, entah sudah berapa kali saya membaca berita mengenai kekerasan seksual. Dari satu surat kabar saja, saya bisa menemukan tiga atau empat berita mengenai kekerasan seksual dengan beragam bentuknya, mulai dari pelecehan seksual sampai dengan perkosaan.
Itu yang ada di dalam berita, belum yang tidak diberitakan, tidak diceritakan, dan tenggelam dalam lalu lalang keseharian. Mungkin dalam sehari saja sebenarnya ada puluhan atau bahkan ratusan peristiwa kekerasan seksual. Entah berapa jumlah tepatnya. Tapi yang pasti banyaknya peristiwa kekerasan seksual membuat masyarakat semakin sering mendengarnya. Mereka menjadi semakin akrab dengan istilah ini.
Meskipun demikian, itu bukanlah sebuah jaminan bahwa kekerasan seksual dipahami secara benar. Bisa dikatakan, maraknya pemberitaan kekerasan seksual tidak berbanding lurus dengan pemahaman masyarakat kita tentang kekerasan seksual.
Sejauh yang saya tahu, pemahaman mengenai kekerasan seksual yang dipahami masih terbatas pada jenis kekerasan seksual yang besar saja, seperti perkosaan. Suatu waktu saya pernah menanyakan hal ini kepada teman. “Pernahkah kami mengalami kekerasan seksual?”
Dengan yakin dia langsung menjawab tidak pernah mengalaminya. Lalu, saya menanyakan lagi apa yang dia pahami mengenai kekerasan seksual? Dengan sedikit ragu dia menjawab kalau kekerasan seksual itu perbuatan perkosaan, pelecehan seksual seperti meraba-raba, suit-suit dan sebagainya.
Lalu saya menanyakan lagi, dari semua kekerasan seksual yang dia sebutkan itu, dia pernah mengalaminya atau tidak? Ternyata jawaban yang keluar berbeda dari jawaban sebelumnya. Dia menjawab kalau dia pernah mengalami itu. Akhirnya, satu persatu pengalaman mengalami kekerasan seksual mengalir dari mulutnya.
Dari sedikit obrolan ini, mungkin kita dapat melihat sebagian orang masih kabur memahami apa itu kekerasan seksual meskipun dia sudah membaca, menghafal, atau mengetahui definisi kekerasan seksual. Pemahaman itu bisa dikonfirmasi andai seseorang bisa menjelaskan dengan jernih dan penuh kesadaran apa itu kekerasan seksual.
Ada orang yang tahu teorinya tapi sering kali merasa ragu ketika tiba-tiba mengalami kekerasan seksual. Atau ada yang merasa takut dan malu untuk menceritakannya, takut dicemooh, distigma, dan sebagainya. Saya tahu betul rasa itu karena hal serupa pun pernah saya alami.
Ketika saya mengalami kekerasan seksual, saya menceritakannya. Namun bukan pengakuan orang lain tentang rasa yang saya alami. Bukan afrimasi bahwa “ya apa yang kamu rasakan itu benar”. Melainkan lebih sebagai penghakiman masyarakat yang berkaitan dengan seksualitas saya, tentang cara berpakaian saya yang salah, jalan saya yang mungkin berlenggak-lenggok, tubuh saya yang berisi, dan masih banyak lagi.
Anggapan-anggapan yang keliru juga semakin membuat kekerasan seksual menjadi sulit dipahami. Orang-orang sebenarnya dapat mengenali peristiwa kekerasan seksual di lingkungan sekitar akan tetapi mereka kemudian menganggapnya sebagai hal kecil biasa. Mereka mengatakan, itu “cuma suit-suit saja, masak iya termasuk kekerasan seksual”, atau “pegang tangan doang, masak kekerasan seksual.” Seolah-olah itu hanyalah pelecehan biasa dan bukan bagian dari kekerasan seksual.
Terlepas dari bentuk, dampak, intensitas, dan durasinya, perilaku itu tetap kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang dianggap kecil-kecil itulah justru yang merenda budaya perkosaan (rape culture) semakin mapan. Budaya dimana kekerasan dianggap biasa dan dinormalisasi terus menerus. Budaya yang melatenkan kekerasan seksual.
Normalisasi kekerasan seksual juga adalah wajah bagaimana masyarakat kita sangat tidak mengaggap serius dampak buruk yang ditanggung orang yang mengalami kekerasan seksual. Dimana dampak itu sama sekali tidak bisa dilihat dari besar kecilnya bentuk kekerasan seksual. Sebagaimana kita tidak bisa mengukur ada tidaknya trauma melalui besar kecilnya peristiwa yang terjadi.
Peristiwa traumatik sangat subjektif. Satu peristiwa tertentu yang tidak berdampak trauma pada seseorang bukan berarti orang lainnya juga akan mengalami hal yang sama. Tentu kita bisa memahami kenapa kecelakaan dan bencana punya dampak berbeda-beda pada orang yang mengalaminya. Ada yang mengalami trauma dan ada yang tidak. Andaipun trauma itu terjadi pada setiap orang, gradasinya juga berbeda-beda.
Jadi, tidak ada satu peristiwa kekerasan seksual itu lebih besar atau lebih kecil dibanding lainnya karena semua kekerasan seksual punya dampak merusak yang sama bagi individu dan masyarakat.
Salah satu cara untuk bisa mendudukkan masalah kekerasan seksual pada tempatnya adalah dengan mengurai dulu seksualitas kita. Selama ini kita masih merasa tabu untuk memahami seksualitas. Karena yang kita tahu membahas seksualitas sama dengan membahas urusan perkelaminan atau hubungan seksual.
Walaupun memang asal dari seksualitas itu seks yang tentu pembahasannya pun akan ke ranah itu. Namun jika ditelaah lebih dalam, sepasang manusia yang akan melakukan hubungan seksual, menyalurkan hasratnya, tentu dia mempunyai segala tahapan. Dari mulai adanya ketertarikan, mencari tahu, mengenal, menjalin hubungan, menikah, kemudian baru melakukan hubungan seksual. Ini semua adalah bagian dari seksualitas.
Dan ketika kita saja tidak memahami seksualitas, saat bicara peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan seksualitas, seperti kekerasan seksual kita tidak bisa memahaminya dengan baik. Pemahaman yang tidak baik terhadap seksualitas lalu membuat kita tidak bisa memahami kekerasan seksual, penyebab, dan akar masalahnya. Makanya banyak sekali orang yang berasumsi kalau kekerasan seksual yang mereka lakukan itu tidak berdampak apapun terhadap orang lain.
Padahal kekeliruan memahami kekerasan seksual dapat berdampak buruk bagi orang yang mengalami maupun masyarakat. Orang yang mengalami dapat merasa malu, bersalah, atau takut untuk berbicara. Masyarakat juga dapat menyalahkan korban atau membenarkan tindakan pelaku. Hal ini dapat menyebabkan kekerasan seksual semakin marak dan sulit dicegah. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang kekerasan seksual di masyarakat.***