Oleh: Mahirotus Shofa
Fenomena pacaran hari ini sudah menjadi suatu yang biasa saja di kalangan remaja. Bahkan relasi romantis tersebut kerap menjadi pijakan awal seseorang untuk menjalin hubungan di masa depan, yaitu pernikahan. Namun membangun relasi yang sehat tanpa kekerasan ternyata masih sulit dilakukan. Kasus kekerasan dalam pacaran masih banyak terjadi. Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan yang paling banyak ditangani oleh lembaga layanan pada 2022 adalah kekerasan dalam pacaran. Dari 9.086 total kasus kekerasan dalam ranah peronal, kekerasan dalam pacaran mencapai angka 3.528 pengaduan.
Beberapa contoh kasus kekerasan dalam pacaran, khususnya kekerasan seksual, pun telah dituliskan dalam buku Memahami Kekerasan Seksual Lebih Dalam (2020). Salah satu cerita yang banyak disampaikan adalah kekerasan itu terjadi saat mereka menonton bareng di bioskop.
“Sering kali dia minta duduk di tempat yang paling ujung dan gelap. Ketika film mulai diputar mulailah dia memegang tangan, meraba bahu dan payudara. Rasanya ingin teriak dan kabur, tapi apalah daya.”
Kekerasan seksual juga terjadi saat hubungan seksual antara pasangan kemudian direkam sepihak. Rekaman tersebut digunakan untuk memeras baik secara emosi maupun secara seksual. Rekaman itu pula yang menjadi alat untuk melakukan kekerasan fisik saat yang bersangkutan meminta agar rekaman tersebut dihapus dan tidak disebarkan ke internet.
Tindakan manipulatif juga kerap dilakukan oleh pelaku agar pasangannya memberi persetujuan, “Saya memberikan persetujuan saat pertama kali melakukan hubungan seksual dengan pacar saya. Karena dijanjikan mau dinikahi, ternyata bullshit. Dua-tiga kali melakukan hubungan seksual pacarnya ternyata selingkuh dan memilih pacar barunya. Saya ditinggal begitu saja”.
Saat membaca atau mendengar banyak cerita lain yang serupa. Terlalu banyak untuk saya tulisakan satu per satu. Saya begitu miris dan sedih. Mengapa relasi yang berawal dari klaim saling kasih ternyata bisa berujung pada kekerasan bahkan sampai kekerasan seksual.
Selain itu, banyak perempuan korban kekerasan seksual dalam pacaran tidak sadar kalau mereka mengalami kekerasan seksual. Mereka baru sadar ketika kekerasannya sudah parah dan mereka sudah tidak bisa menangani itu. Seperti saat kekerasan seksual telah sampai pada penetrasi atau perkosaan, lalu mereka menganggap diri tidak berharga lagi. Karena merasa sudah tidak “perawan”, mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, dihantui jejak digital yang mengancam, dan lain sebagainya.
Peristiwa yang memilukan itu terus terjadi walau setahu saya sudah terlampau sering dibicarakan. Mengapa demikian?
KH Husein Muhammad dalam buku Fiqh Perempuan mengatakan bahwa disadari atau tidak kita masih berada dalam masyarakat patriarki. Kita masih memapankan peran laki-laki untuk melakukan apa saja dan menentukan apa saja. Dan sebaliknya, perempuan berada dalam posisi subordinat. Perempuan menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan hidupnya kepada laki-laki.
Hal ini sejalan dengan apa yang dijabarkan oleh Ester Lianawati dalam buku Akhir Penjantanan Dunia. Katanya, “Jangan menangis” adalah perintah pertama untuk anak laki-laki. Ia dipersiapkan untuk menjadi pemimpin, oleh sebab itu ia harus yakin, berani, tegas, tidak bimbang, tidak lembek, tidak pemalu, tidak mudah menyerah, dan tidak boleh mengeluh. Ia harus menaklukkan, bukan ditaklukkan. Oleh sebab itu laki-laki juga dilihat dari apa yang ia peroleh, lakukan, dan miliki. Untuk itu ia harus memamerkan kepemilikannya, semua yang telah berhasil ia taklukkan; salah satunya tentu saja adalah perempuan.
Sedangkan perempuan ia adalah objek pemikiran, objek gairah, tidak pernah menjadi subjek. Ia dipersiapkan untuk menjadi ibu yang identik dengan karakter; baik, polos, murni dan suci. Keperawanan menjadi nilai tertinggi perempuan, ketika keperawanan itu hilang, ia kehilangan nilainya, dan tidak lagi berharga.
Oleh sebab itu pula kepada perempuan orang tua selalu mewanti-wanti “Sekali kamu memberikan sedikit, laki-laki akan meminta sedikit lagi, sampai mendapatkan semua yang ia mau. Dari pegangan tangan, kamu berisiko kehilangan keperawanan”. Namun jika anak perempuan diwanti-wanti untuk menjaga keperawanan, anak laki-laki tidak diingatkan untuk ikut menjaganya. Yang diingatkan malah dia harus mendapatkan keperawanan (sebagai bentuk penaklukan).
Dari penjabaran di atas terlihat betapa rentannya perempuan untuk mengalami kekerasan seksual ketika dalam pacaran.
Lantas jika ternyata hubungan percintaan tidak seindah yang dibayangkan, apakah perempuan sebaiknya menghindari berpacaran? Saya kira itu bukan solusinya. Ada yang menyarankan untuk tidak berpacaran dan dianjurkan untuk langsung menikah. Menurut saya ini malah lebih rentan dan risiko yang dihadapi pun akan semakin besar. Karena boro-boro saling mengenal, tahu orangnya saja tidak.
Jadi, apa yang sekiranya bisa kita lakukan untuk meminimalisir agar tidak terjebak dalam hubungan yang tidak baik, dan tentu tidak juga menjadi pelaku? Menurut saya, itu bisa dimulai dengan mengenali diri sendiri. Mengenali segala lekatan nilai yang menempel di tubuh, pikiran dan jiwa kita. Kemudian pahamilah posisi-posisi diri. Karena dengan kita mengenal semua itu, kesadaran kita dengan rasa sendiri pun akan terbuka. Kita tak lagi bias terhadap rasa sendiri.
Dengan berfokus kepada diri sendiri kita juga dapat menyelesaikan persoalan-persoalan dalam diri. Tentang ketakutan, kecemasan, trauma, keinginan, kenyamanan dan kebahagiaan yang bisa kita penuhi dengan tidak bergantung kepada orang lain.
Ketika kita sudah mulai mengenal diri sendiri, kita juga tidak boleh lupa untuk merasakan rasa orang lain karena kita tidak hidup sendirian. Dengan kita peka terhadap rasa orang lain, ini menjadi satu langkah pencegahan terhadap diri untuk tidak menyakiti atau melakukan kekerasan kepada orang lain. Kalau di Umah Ramah, kami selalu diingatkan untuk kembali ke diri untuk mempertanyakan “Andai aku, orang tuaku, saudaraku yang diperlakukan seperti itu, apakah aku akan menerima?” Hal ini dilakukan agar dalam relasi kita tidak hanya mementingkan kenyamanan diri sendiri dan mengabaikan kenyamanan orang lain.
Tentunya hal ini tidak sepenuhnya menjadi jaminan tidak ada kekerasan seksual dalam pacaran. Karena balik lagi, untuk memiliki kesadaran atas diri membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Apalagi jika kesadaran ini baru dimiliki oleh salah satu pihak, misal perempuan. Maka ini akan menjadi pekerjaan panjang untuk perempuan menyadarkan pasangannya. Begitupun sebaliknya. Komunikasi dan perbedaan pendapat yang alot pun tak terhindarkan dalam proses menemukan titik kesadaran bersama. Namun inilah yang membuat relasi antara pasangan lebih bermakna, bukan? []