Keloid Reflections: Seni sebagai Jembatan Berwelas Asih

First slide

20 Mei 2024

Oleh: Reksi Adiwiguna

Pada 24 – 27 April 2024, kami mengikuti 2024 Evolution of Spirituality Conference: Alternative Spiritualities of Celebration, Resistance, and Accountability: Engaging our Colonial and Decolonial Contexts, diselenggarakan oleh Harvard Divinity School. Dalam konferensi tersebut, kami menampilkan karya kolektif kami “Keloid Reflections”, sebuah penampilan tubuh, musik dan puisi berdasarkan novel “Keloid” yang ditulis oleh Napol Riel (selengkapnya bisa baca di Keloid Reflections | Harvard Divinity School (HDS)).

Ini adalah penampilan kami yang ketiga dan terakhir, setelah sebelumnya dipentaskan di perayaan IDAHOBIT (Internasional Day Against Homophobia, Biphobia and Transphobia) Indonesia 2023 dan UCQ-QTSR (University of California Riverside – Queer and Trans Studies in Religion) 2024. Penampilan kali ini berbeda karena ditayangkan di kota yang berbeda dari sebelumnya. Tim kami terdiri dari Reksi Adiwiguna, Napol Riel, Leonarul, Lacahya dan Barrbalion; kini bertambah dengan dilibatkannya Anila dan Li Arofu.

Metodologi Ko-kreasi Welas Asih

Metode penciptaan yang kami lakukan adalah Studio Ko-kreasi Welas Asih. Sutradara kini tidak memimpin ide dan bentuk karyanya, melainkan menjadi fasilitator. Karena setiap ekspresi dan makna yang dibentuk dalam karya ini semua berdasarkan kesepakatan bersama. Metode ini diperkaya dengan praktik welas asih, kami menyambungkan pengalaman pribadi untuk bisa ikut merasakan pengalaman hidup yang diceritakan dalam Novel Keloid.

Proses yang kami lalui diawali dengan membaca novel “Keloid”. Kami membaca dalam kondisi tenang dan siap untuk berwelas asih. Baca dengan tanpa menghakimi. Saat emosi dan pengalaman pribadi muncul saat membaca, berhenti sejenak, kenali emosi dan pengalaman nya, lalu kutip dan tuliskan di daftar tangents.

Kami semakin sadar dengan kenangan-kenangan pribadi yang pengalamannya mirip dengan yang kami temukan dalam novel “Keloid”. Kemudian kami membayangkan seperti apa yang diceritakan itu benar dan merasakan melalui tubuh, pikiran dan emosi sendiri. Kami menciptakan simulasi pengalaman di tubuh sendiri. Kami menyadari bahwa pengalaman yang hadir bisa menjadi kurang nyaman dan perlu diekspresikan segera. Sehingga kami pun membolehkan pembaca menuliskan ekspresi puisi atau kata-kata dalam catatan bersama tersebut.

Setelah catatan bersama terkumpul, kami berdialog dengan Napol dan mendalami setiap poin tangents. Kami memberi jeda untuk setiap pertanyaan dan mengizinkan tubuh dan perasaan ikut mengalami apa yang diceritakan dalam novel tersebut. Wawasan baru terkumpul sehingga kami menuliskan bersama-sama sebuah puisi. Puisi ini kemudian diolah menjadi ekspresi musik dan tubuh. Di pertunjukan yang ketiga, kami menyempurnakan ekspresi itu dengan panduan naskah dramaturgi yang memperkuat pengalaman ketubuhan dan spiritual yang kami rasakan dari pembacaan novel “Keloid”.

Kebangkitan Spiritual Gender dan Seksualitas

Pada pertunjukan yang kedua, kami tiba di wawasan bahwa karya “Keloid Reflections” mengafirmasi peristiwa kebangkitan spiritual gender dan seksualitas. Itu adalah suatu peristiwa ketika seseorang akhirnya mantap untuk melakukan transisi, menerima nilai dan identitas pribadinya. Tidak lagi menutupi atau merahasiakan hal tersebut.

Kami merasakah gejolak dan pemahaman yang membuka mata. Kami menyediakan ruang bersama yang aman untuk mengingat kembali pengalaman pribadi yang mendekati cerita “Keloid”. Pengalaman itu memberikan khazanah pengalaman baru bahwa perkembangan spiritual dan gender seksualitas yang dilalui seorang transpria adalah nyata dan tidak dibuat-dibuat.

Pengalaman Berlatih Berwelas Asih

Saat menambahkan dua orang baru dalam proses karya kami, kami mengundang Li dan Anila untuk membaca catatan tangents dan naskah dramaturgi. Kami mengalami kesulitan dalam berwelas asih. Saat memasukkan pengalaman orang lain pada tubuh diri sendiri, kami merasakan sensasi tubuh, pikiran dan emosi yang serupa mendekati dengan yang diceritakan dalam “Keloid”. Pengalamannya tidak nyaman dan melumpuhkan selama beberapa waktu.

Karenanya, kami menentukan waktu transisi antar sesi latihan. Saat tidak latihan, kami mempersilakan diri untuk rawat diri; termasuk tubuh, emosi dan pikiran. Sama seperti saat kami di Cirebon, kami semua termenung. Masing-masing dari kami mengingat kembali pengalaman pribadi terkait yang diceritakan “Keloid”. Rasanya seperti mau mati, karena prosesnya begitu sulit bagi kami pada waktunya. Sehingga kami memberikan ruang bersama untuk diam dan mengurai pengalaman.

Kami merasakan sensasi di tubuh dan pikiran yang tidak nyaman seperti sakit kepala, mual, hingga muntah. Kami berjuang dalam merasakan sensasi itu hingga kami berhenti pada pertanyaan: “wawasan apa yang selama ini tubuh kita tolak?” Kami memperoleh jawaban bahwa selama ini mungkin kita tidak begitu berwelas asih pada orang-orang di sekitar.

Novel “Keloid” telah menjadi media pertama dalam berlatih studio ko-kreasi welas asih. Pertunjukan “Keloid Reflections” mengingatkan saya tentang upaya welas asih supaya masyarakat bisa menerima dan melibatkan transpria, yang merupakan minoritas. Dalam aksi welas asih itu, kita berusaha berada dalam sepatu seorang transpria, menghayati bagaimana ia menjalani hidup kesehariannya. Dan untuk memahami dan menerima itu semua, datang bersama dengan pengalaman ketubuhan yang lain dan berbeda dari tubuh sendiri. Diibaratkan seperti mau mati, kita benar-benar mati berkorban demi seseorang yang ingin kita kasihi.

Pesan dari Keloid Reflections

Setelah pertunjukan, moderator dari konferensi berbagi tentang kebingungan yang mungkin dialami oleh banyak orang queer of faith dari berbagai belahan dunia. Pesan yang dibagikan dari Keloid Reflections mengingatkan kita bahwa keterlibatan dalam sebuah masyarakat itu tidak sekadar penerimaan, melainkan mengakui pengalaman orang yang terpinggirkan termasuk transpria sehingga bisa paham dan mengakomodasi.

Saya teringat mengenai istilah “hablum minannas”. Saya mengakui betapa sulitnya melakukan “hablum minannas”. Sampai-sampai harus “cost a live”, mengorbankan sebuah hidup untuk bisa memahami seseorang dan mampu memperlakukan seseorang dengan layak. Dari penemuan itu, saya belajar bahwa seseorang dipandu untuk rela ‘mati’ demi setiap orang yang berada di muka bumi ini. Seseorang kemudian bisa mengesampingkan pengalaman pribadi dan memahami pengalaman orang lain. Ternyata ada bayaran tinggi, kematian dan hidup kembalinya ruh pribadi, yang membuat seseorang mampu memberdayakan sesama umat manusia ciptaan-Nya.

Kesimpulan

Refleksi atas “Keloid Reflections” mengungkapkan bahwa seni dapat menjadi medium yang kuat untuk mempraktikkan dan memahami welas asih. Melalui proses ko-kreasi yang inklusif dan kolaboratif, setiap individu terlibat dalam perjalanan spiritual yang mendalam, di mana mereka tidak hanya mengeksplorasi identitas dan pengalaman pribadi tetapi juga belajar untuk merasakan dan memahami pengalaman orang lain.

Pertunjukan ini, yang merupakan hasil dari metodologi ko-kreasi welas asih, telah menunjukkan bagaimana seni dapat menjadi jembatan untuk memperkaya pemahaman kita tentang gender, seksualitas, dan spiritualitas. Dengan mengambil perspektif orang lain, khususnya transpria, para peserta dan penonton diajak untuk merenungkan dan menghargai perjuangan serta keberanian yang diperlukan dalam proses transisi dan penerimaan diri.

Implikasi dari pengalaman ini bagi diri pribadi dan komunitas yang lebih luas adalah peningkatan kesadaran dan empati terhadap isu-isu minoritas dan marginalisasi. Ini mendorong komunitas untuk tidak hanya menerima tetapi juga aktif melibatkan dan mendukung individu-individu yang seringkali tidak terlihat atau didengar. Dengan demikian, “Keloid Reflections” berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya welas asih dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan penuh kasih.

Dalam konteks yang lebih luas, refleksi ini menantang kita untuk mempertimbangkan bagaimana kita dapat menerapkan prinsip-prinsip welas asih dalam kehidupan sehari-hari kita, baik dalam interaksi pribadi maupun dalam kebijakan dan praktik sosial. Ini adalah ajakan untuk bergerak melampaui toleransi menuju penerimaan yang aktif dan inklusif, di mana setiap individu dihargai dan diberdayakan untuk berkontribusi pada kebaikan bersama. Wallahu a’lam bish-shawab.

Refleksi Pribadi

Proses kreatif dalam “Keloid Reflections” telah membawa saya pada pemahaman yang lebih dalam tentang spiritualitas dan kemanusiaan. Melalui metodologi ko-kreasi welas asih, saya belajar bahwa seni bukan hanya ekspresi estetika, tetapi juga alat yang ampuh untuk membangun jembatan empati dan pemahaman. Pengalaman ini telah mengajarkan saya pentingnya mendengarkan dan merasakan, bukan hanya dengan pikiran, tetapi juga dengan hati dan jiwa.

Dampaknya terhadap pemahaman saya tentang spiritualitas dan kemanusiaan adalah signifikan. Saya menyadari bahwa setiap individu memiliki cerita yang unik dan perjalanan yang berbeda. Mengakui dan menghargai perjalanan tersebut adalah inti dari spiritualitas inklusif dan welas asih sosial. Proses ini juga menegaskan bahwa keberanian untuk berbagi dan menerima pengalaman pribadi adalah langkah penting menuju pemahaman yang lebih luas tentang diri kita dan orang lain.

Harapan dan aspirasi saya untuk masa depan adalah terciptanya masyarakat yang lebih inklusif, di mana setiap orang, terlepas dari latar belakang atau identitasnya, dapat merasa diterima dan dihargai. Saya bermimpi tentang dunia di mana spiritualitas tidak membatasi, tetapi membebaskan; sebuah dunia di mana welas asih sosial bukan hanya konsep, tetapi praktik sehari-hari yang kita lakukan dengan tulus.

Saya berharap bahwa kita semua dapat belajar dari “Keloid Reflections” untuk melihat ke dalam diri kita sendiri dan menemukan keberanian untuk menghadapi ketakutan dan prasangka kita. Dengan melakukan itu, kita dapat membuka jalan bagi pemahaman yang lebih besar dan cinta yang lebih dalam, tidak hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk seluruh umat manusia. []

Share to :