Oleh: Siti Jubaidah
Akhir-akhir ini saya sedang merenungkan tentang kelekatan. Mengapa banyak orang sulit melepaskan pasangan setelah memutuskan untuk berpisah? Bahkan ada yang masih bertahan meskipun sudah sering disakiti pasangannya? Beberapa mengaku karena masih sayang, cinta, sudah lama menjalin relasi, sudah melakukan hubungan seksual pranikah, dan masih banyak lagi.
Saya sendiri pernah mengalami situasi tersebut. Saya begitu melekat dengan pasangan. Dari sisi emosional misalnya, saya sangat bergantung dengan pasangan saat ada masalah alih-alih mengelola emosi saya sendiri.
Apa yang menyebabkan saya dan mungkin beberapa orang yang pernah saya jumpai begitu melekat dengan pasangannya? Apakah ini adalah penyebab dari harga diri yang rendah, kurang kasih sayang, perasaan mengasihani diri sendiri atau kesulitan membedakan antara cinta dan asmara? Saya jelas tidak tahu jawaban pastinya seperti apa, tapi mari kita telusuri satu persatu.
Sebelum membahas penyebab dari kelekatan mari kita pahami istilah kelekatan ini. Sebenarnya apa itu kelekatan? Yoon Hong Gyun, dalam bukunya How to Love, Karena Cinta Perlu Belajar, menjelaskan bahwa kelekatan muncul pada hubungan emosional yang terbentuk antara orang-orang terdekat. Kelekatan ada dalam kerangka hubungan interpersonal yang terbentuk sejak masa kanak-kanak dengan orangtua atau orang terdekat dan bertahan dalam waktu yang lama.
Jika anak mendapat perlakuan yang baik dari orangtuanya dia akan tumbuh menjadi pribadi yang positif dan merasa aman (secure) untuk bersosialisasi dengan orang lain. Anak tidak memiliki ketakutan terhadap dunia. Sebaliknya jika sejak kecil anak sudah mendapat perlakuan buruk atau pola asuh yang tidak baik, misalnya orangtuanya atau orang terdekatnya berkata, “kenapa sih kamu bandel sekali?”, “kamu tidak lebih pintar dari anak tetangga”, “tidak ada yang bisa Ibu banggakan sedikit pun darimu”, “dasar anak pembawa sial”.
Hal tersebut jika terus dilakukan secara berulang kemungkinan akan terpatri dalam diri anak dan diinternalisasi ke dalam alam bawah sadarnya. Anak akan tumbuh dengan kelekatan (attachment) yang tidak aman. Ini juga bisa berpengaruh terhadap harga diri anak. Ia selalu merasa bahwa tidak ada satupun hal baik yang ada dalam dirinya.
Kelekatan ini juga berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mencintai. Kelekatan yang tidak aman akan menyebabkan seseorang kesulitan melihat hal-hal positif yang dimiliki dirinya maupun pasangannya sehingga hubungan yang sehat akan sulit terbentuk. Bagaimana dengan harga diri yang rendah? Apa pengaruhnya dalam relasi interpersonal?
Seperti yang diceritakan di atas, bahwa anak akan menginternalisasi kata-kata yang diucapkan oleh orang terdekatnya secara berulang-ulang sehingga membentuk citra dirinya yang rendah. Orang yang memiliki harga diri yang rendah akan sangat sulit menerima kata-kata cinta. Ia cenderung skeptis saat pasangannya mengatakan “aku mencintaimu”. Ia juga cenderung waspada dan menyangkal bahwa dirinya berharga sehingga meyakini dirinya tidak layak untuk dicintai.
Saya jadi teringat kisah-kisah yang pernah saya dengar saat diskusi di Umah Ramah. Seorang perempuan yang sudah melakukan hubungan seks pra nikah bersama pasangannya akan kesulitan melepas ikatan meskipun kekerasan sering ia terima. Beberapa beralasan bahwa ia merasa sudah tidak suci lagi, tidak ada seorangpun yang bisa menerima dia selain pasangannya, dan lain sebagainya. Ia menginternalisasi nilai-nilai keperawanan sebagai harga diri seorang perempuan.
Saya juga pernah mendengar seseorang yang bertahan dalam relasi interpersonal selama bertahun-tahun karena ia merasa hanya pasangannya yang bisa menjadi ruang aman. Ruang ia berkeluh kesah dan berbagi duka lara meskipun dalam hati ia tidak memiliki kecocokan yang berarti dengan pasangan atau seseorang yang takut dengan kesendirian dan kesepian. Ini bisa menjadi indikasi mengasihani diri sendiri.
Lalu, bagaimana dengan cinta dari seseorang yang kurang kasih sayang? Menurut Yoon Hong Gyun, penyebab pertama munculnya masalah kelekatan adalah karena kurangnya kasih sayang. Kurang kasih sayang bukanlah gejala yang ringan, ini merupakan sindrom gabungan dari berbagai gejala yang membentuk lingkaran setan.
Lingkaran setan akibat kurang kasih sayang ini saling berkelindan. Orang yang kurang kasih sayang cenderung merasa bahwa ia tidak memiliki zona nyaman hal ini menyebabkan harga diri seseorang menjadi turun (harga diri yang rendah/rendah diri). Membentuk sindrom anak baik dan mengasihani diri sendiri.
Saat menulis ini, saya jadi semakin banyak merenung. Jika salah satu aspek itu ada dalam diri kita dan mempengaruhi hubungan interpersonal yang tidak sehat, maka bisa jadi saya atau kita secara tidak sadar turut menyuburkan budaya kekerasan. Baik kekerasan secara fisik maupun psikis. Apalagi jika hubungan ini berlanjut sampai ke jenjang pernikahan. Bisa jadi kita akan mewariskan kekerasan dan pola pengasuhan yang buruk terhadap anak-anak. Maka sebelum mencintai orang lain, sangat penting bagi kita untuk mengenali diri sendiri termasuk memahami pemicu dan stressor yang ada dalam diri. []