Oleh: Abdul Rosyidi
Seperti yang kita ketahui, kekerasan seksual disebabkan adanya relasi kuasa yang timpang. Dalam kebudayaan patriarkhi seperti sekarang, dimana ketimpangan itu terjadi, perempuan menjadi pihak yang dilemahkan. Mereka kerap menjadi korban dari sistem kuasa/pengetahuan yang menindas. Semakin tajam jurang ketimpangan, semakin besar potensi kekerasan seksual terjadi. Jurang itu menjadi semakin dalam saat aspek religius dan magi menjadi faktor-faktor penunjangnya.
Tulisan kali ini akan mencoba melihat lebih dalam tentang terjadinya kekerasan seksual yang memanfaatkan kultus penyembuhan dengan mengatasnamakan Tuhan, agama, atau kekuatan supranatural. Kita mulai dari cerita kasus yang hari-hari ini sedang ramai, yakni kekerasan seksual dengan kultus penyembuhan yang terjadi di negara Arab-Afrika.
Setelah menghabiskan waktu lebih dari satu tahun, seorang jurnalis BBC, Hanan Razek melaporkan hasil peliputannya tentang kultus penyembuhan yang mengeksploitasi seksualitas perempuan di Sudan dan Maroko. Laporan itu diluncurkan dalam tertulis dan video dokumenter di platform website dan Youtube BBC News.
Selama peliputannya itu, Razek dan koleganya menemukan kesaksian dari 85 perempuan yang mengarahkan tuduhan kepada 65 dukun di Maroko dan Sudan telah melakukan pelecehan, pemerkosaan, dan permintaan seks sebagai imbalan atau mengklaim sebagai bagian dari ritual penyembuhannya.[1]
Laporan dari Razek menarik karena dia mengungkapkan peristiwa kekerasan seksual di mana pelakunya mengaku melakukan itu demi menyembuhkan korbannya dari penyakit-penyakit non-medis. Penyakit ini dikatakan berasal dari gangguan roh jahat yang dikenal sebagai “jin”.[2]
Masyarakat menyebut para penyembuh itu “raqi”. Mereka dianggap sebagai tokoh religius yang mengatasnamakan agama dan kitab suci untuk melakukan penyembuhan meski dalam praktiknya mereka kerap melakukan kekerasan seksual. Salah satu perempuan yang datang kepada “raqi” disebutkan dalam laporan tersebut, mengalami depresi sebelum akhirnya datang kepadanya. Perempuan itu pun kemudian diobati dengan cara disetubuhi. Sang dukun mengatakan kepadanya bahwa depresinya disebabkan dia disukai jin dan untuk mengusirnya, perempuan itu harus berhubungan seksual dengannya. Pada saat perempuan itu pada akhirnya hamil, sang dukun berkata bahwa dia hamil karena disetubuhi jin.[3]
Tahun sebelumnya, tepatnya pada Mei 2022, juga terungkap kasus yang menggegerkan di mana seorang pria yang mengaku sebagai “penyembuh spiritual” ditangkap atas dugaan kekerasan seksual terhadap ratusan perempuan di Tunisia. Pengadilan menyatakan pria itu telah membujuk ratusan perempuan untuk berhubungan seksual dengan iming-iming kesembuhan dari beban spiritual.[4] Tidak hanya terjadi di tanah Arab, peristiwa serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia. Simon Maybin dan Josephine Casserly, jurnalis BBC pada 2020 pernah mengungkap kekerasan seksual dalam praktik pengobatan tradisional oleh dukun di Peru, sekitaran Amazon.[5]
Netflix pada Maret 2023 juga menayangkan film tentang kekerasan seksual yang terjadi di dalam sekte agama di Korea Selatan. Jung Myung Seok, pemimpin sekte yang disebut Jesus Morning Star (JMS) mengajarkan kepada pengikutnya bahwa hubungan seksual sebagai pengampunan dosa. Dia pun sering mengajak pengikut perempuan untuk berhubungan seksual dengannya dengan iming-iming menjadi “Pengantin Tuhan”.[6]
Tentu publik di Indonesia juga masih ingat kekerasan seksual yang dilakukan Bechi dari Jombang. Dia mengklaim memiliki ilmu linuwih dan bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Bechi kemudian merekrut santriwati sebagai relawan kesehatan untuk kemudian melakukan kekerasan seksual kepada mereka.[7]
Kemampuan supranatural itu katanya ditransfer oleh Bechi kepada para santri relawan. Akan tetapi mereka harus melalui proses rekrutmen dan seleksi terlebih dulu. Dalam seleksi itulah para santriwati disuruh untuk membuka seluruh bajunya. Kemudian Bechi pun memperkosa korbannya. Jika ada santriwati yang menolak membuka baju, Bechi mengatakan bahwa untuk mendapatkan ilmu itu seseorang harus meninggalkan logika terlebih dulu.[8]
Tidak hanya sampai di situ, aksi dukun cabul, yang mengaku memiliki kekuatan supranatural pun bertebaran di mana-mana. Korban-korban yang mengaku dan kasusnya akhirnya mencuat muncul di berbagai kanal berita. Kita tidak bisa membayangkan berapa banyak kasus sebenarnya yang terjadi akibat pengkultusan ini.
Untuk menyebut diantaranya saja, salah seorang dukun di Pidie, Aceh dengan inisial BT ditangkap polisi pada April 2023. Dia telah memperkosa pasiennya sebanyak 84 kali.[9] Dukun lainnya, Ilham, dari Enrekang, Sulawesi Selatan, melakukan kekerasan seksual terhadap pasien yang ingin dia obati. Ilham menyebut pasien perempuan yang datang kepadanya itu diikuti makhluk gaib yang dikirim oleh mantan pacaranya.[10] Dukun lainnya di Lampung mencabuli seorang perempuan dengan alasan untuk mengusir jin dari dalam tubuh gadis itu. Awalnya, keluarga yang melihat korban kesurupan memanggil di dukun yang dikenal dukun. Saat itulah pelaku minta ditinggal berdua saja dengan korban dan kekerasan seksual pun terjadi.[11]
Dukun dan Masyarakat Penunjangnya
Berita-berita di atas tidak mewakili dari sekian banyak kasus yang diberitakan di media dan tentu saja angkanya sangat jauh jika dibandingkan dengan banyaknya kasus yang tidak muncul ke permukaan. Tapi paling tidak itu bisa memberikan gambaran bahwa kultus yang berkaitan dengan penyembuhan, ajaran-ajaran agama, dan magi masih menjadi fenomena global.
Berbagai budaya masih melestarikan kultus terhadap orang-orang tertentu yang dianggap mempunyai kelebihan supranatural. Orang-orang dengan kemampuan ini dipercaya mempunyai kekuatan tertentu sebagai pemberian dan ia mengemban sebuah tugas suci untuk memimbing dan membersihkan masyarakat. Orang-orang suci, sakti, dan bisa menyembuhkan itu tumbuh subur mengisi relung-relung kebudayaan dan agama kita. Secara global gejala orang-orang ini dikaitkan dengan kepercayaan tentang sihir dan ilmu ghaib.
Peneliti memperkirakan setidaknya 1 miliar orang di seluruh dunia percaya pada ilmu sihir atau ilmu ghaib. Katanya, mereka yang lebih religius cenderung lebih percaya bahwa beberapa manusia memiliki kekuatan magis. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa orang-orang di negara-negara dengan institusi yang lemah, tingkat kepercayaan sosial yang rendah, penekanan yang lebih besar pada kohesi, dan bias yang lebih besar terhadap orang-orang dalam “kelompok” juga lebih cenderung percaya pada ilmu sihir.[12]
Peneliti yang lain menyebutkan secara etnografis, ilmu ghaib mempunyai peran fungsional dalam masyarakat, dimana ia menjaga tatanan sosial tetap stabil di tengah masyarakat yang terguncang, baik karena bencana, kelaparan, kemiskinan, penjajahan, ketidakadilan, ketertindasan, dan sebagainya. Keyakinan masyarakat yang sangat besar terhadap ilmu ghaib berkaitan dengan lemahnya institusi masyarakat (dan tentu saja negara), dalam memberikan kepastian dan jaminan hidup atau kesejahteraan anggotanya. Dengan kata lain, kepercayaan pada ilmu ghaib memberikan masyarakat mekanisme penanggulangan menghadapi kemalangan.[13]
Dalam kasus di negara-negara Arab-Afrika seperti Sudan, Maroko, Tunisia, dan negara-negara lain, kemalangan itu semakin berat karena mereka hidup di tengah dentuman perang. Konflik yang tidak berkesudahan tentu saja menimbulkan banyak ketidakpastian hidup. Di negara kita, potensi terjadi kemalangan itu lebih pada kemiskinan, kebodohan (yang sangat besar disebabkan penjajahan), dan tingginya kemungkinan terjadinya bencana alam.
Kesamaan agama yang mayoritas dipeluk masyarakat negara kita dan negara-negara Arab membawa sejumlah kemiripan konsep dan unsur-unsur mistis kultus penyembuhan. Beberapa istilah seperti penyebutan roh jahat sebagai jin, kemudian penyembuhan dengan menggunakan ayat-ayat Qur’an, memberikan petunjuk untuk memahami alam pikir manusia tentang kegaiban. Meskipun terlalu klise, posisi sosial “raqi” di Sudan dan Maroko barangkali mirip dengan “kiai” dan “guru spiritual”. Mereka tidak hanya orang yang berprofesi sebagai penyembuh, melainkan orang yang mempunyai kedudukan sosial cukup tinggi dan diakui kecakapannya atas ritual-ritual agama di tengah komunitas.
Boris Gershman mengatakan intervensi kebijakan dan kelembagaan untuk melawan ilmu ghaib dan praktik perdukunan sebaiknya memikirkan konsekuensi dari perubahan budaya yang teramat drastis. Kebijakan yang pernah dipraktikkan pemerintah Kolonial yang takut pada perdukunan pun berpotensi tidak efektif karena hanya berdasar pada ketakutan pada sihir. Upaya langsung untuk memberantas kepercayaan terhadap ilmu ghaib melalui undang-undang atau perubahan kurikulum kemungkinan besar akan menjadi bumerang.[14]
Cara terbaik menurutnya adalah dengan membuat kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi prevalensi kepercayaan terhadap ilmu ghaib. Gershman percaya, sihir akan menjadi minimal di tengah komunitas di mana dasar-dasarnya membuat kepercayaan itu kurang relevan. Yakni dimana negara dan institusi-institusinya mampu menjaga ketertiban dan jaring pengaman sosial untuk melindungi masyarakat dari guncangan yang merugikan.[15]
Pekerjaan yang Belum Selesai
Kembali ke masalah di atas, masyarakat mendatangi dukun tentu bukan tanpa alasan. Umumnya mereka mempunyai posisi yang sangat lemah, baik secara individu maupun komunal. Bayangkan jika kita menderita penyakit kemudian tidak bisa menjangkau akses ke layanan kesehatan baik karena masalah pendidikan, ekonomi, jarak, maupun kualitas layanan. Apalagi jika saya menderita kesehatan mental atau gangguan kejiwaan, sementara untuk berupaya agar sembuh darinya tidak ada yang paling mungkin selain mendatangi dukun-dukun itu.
Penguatan institusi mungkin bisa menekan orang yang sakit untuk datang ke dukun. Dia mungkin akan ke dokter jiwa dan memeriksakan depresinya. Mungkin para dokter akan mendiagnosa para pasien menderita paralysis alih-alih menyebutnya kerasukan. Akan tetapi, kekerasan seksual masih tetap berisiko terjadi lagi jika patronase dan feodalisme merembesi semua aparat pelayanan publik di negara kita. Bukan tidak mungkin pelaku kekerasan seksual yang dulu adalah dukun, di masa depan adalah dokter-dokter itu.
Satu lagi, masalah institusionalisasi di negara kita mempunyai masalah besar dalam menyerap pengetahuan-pengetahuan dari budaya lokal agar menjadi pondasi bagi bangunan masyarakat dan negara kita. Siapa yang bertanggung jawab atas tidak berkembangnya kebudayaan masa lalu yang berakibat tidak sinambungnya masa itu dengan kehidupan modern kita hari ini. Saya kira masih banyak di luar sana khazanah pengetahuan lokal, ilmu ghaib, dan praktik magi yang baik, yang bukan sihir, tapi tidak mendapatkan cukup perhatian untuk dikaji dan diformulasikan dengan baik oleh sistem hidup modern kita.
Jadi, kekerasan seksual yang terjadi karena kultus mempunyai kompleksitasnya sendiri. Untuk menanggulanginya tentu saja perlu memahami kompleksitas itu disamping melihat pula keterkaitan semua faktor-faktornya yang berkaitan dengannya. Seperti fakta bahwa kekerasan seksual pada perempuan yang berobat kepada dukun berkaitan erat dengan lemahnya kuasa/pengetahuan perempuan di tengah budaya patriarkhi. Perempuan adalah pihak yang paling rentan mengalami depresi karena mereka harus menanggung ekspektasi dan tuntutan masyarakat terhadapnya.
Saat mengalami tekanan batin dan depresi itulah kebanyakan dari mereka tidak mempunyai sumber daya pengetahuan, ekonomi, maupun politik, untuk mengakses layanan dan menyembuhkan diri. Saat layanan satu-satunya yang bisa dijangkau adalah dukun yang berada tak jauh, maka itu menjadi pilihan yang paling rasional. Belum lagi jika dukun yang dimaksud adalah tokoh agama di kampung. Saat mendatangi si dukun, perempuan yang sakit akan mempunyai kebergantungan sangat besar. Interaksi mereka dengan “orang pintar” menyimpan ketimpangan relasi kuasa/pengetahuan yang amat tajam. Belum lagi, sebagai penyembuh, dukun memegang kunci bagi kesembuhan, kesehatan, dan nyawa pasiennya.
Akhirnya, menindak dukun cabul secara hukum memang penting, tapi yang lebih utama adalah mengikis kepercayaan dan ketergantungan masyarakat terhadap kultus terhadap dukun, spiritualis, kiai, atau apapun namanya. Yaitu mereka yang menggunakan hal-hal yang ghaib untuk menundukkan orang lain. Caranya tentu dengan meningkatkan keterjangkauan akses dan kualitas pelayanan kesehatan bagi perempuan dan orang-orang rentan yang memiliki sumber daya terbatas.***
[1] Hanan Razek, Investigating the ‘spiritual healers’ sexually abusing women, akses dari https://www.bbc.com/news/world-africa-65264921
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220511033529-127-795254/tiduri-ratusan-wanita-dukun-cabul-ditangkap-di-tunisia.
[5] https://www.bbc.com/indonesia/majalah-51151077.
[6] https://narasi.tv/read/narasi-daily/profil-jung-myung-seok-pendeta-sekte-korea-selatan-yang-lakukan-kekerasan-seksual-pada-pengikutnya
[7] Abdul Rosyidi, Bechi, Kultus, dan Kekerasan Seksual, akses dari https://umahramah.org/bechi-kultus-dan-kekerasan-seksual/
[8] Ibid.
[9] https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6668996/84-kali-perkosa-pasien-dukun-cabul-di-aceh-dihukum-150-bulan-bui.
[10] https://regional.kompas.com/read/2019/12/30/11522421/dukun-perkosa-seorang-wanita-sebut-korbannya-diikuti-makhluk-gaib-kiriman.
[11] https://regional.kompas.com/read/2019/12/04/18144301/dukun-kampung-ditangkap-cabuli-remaja-yang-sedang-kerasukan.
[12] Tia Ghose, 4 in 10 people worldwide believe in witches, akses dari https://www.livescience.com/four-in-ten-people-worldwide-believe-in-witches.
[13] Boris Gershman, Witchcraft beliefs around the world: An exploratory analysis. PLoS ONE 17(11): e0276872. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0276872
[14] Ibid.
[15] Ibid.