Kekerasan Seksual selama ini dianggap hanya pemerkosaan. Begitupun yang diyakini para santri saat pelatihan dan diskusi Kespro dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren bersama santri putra (berumur 20-24 tahun) di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, beberapa minggu yang lalu.
Padahal termasuk ke dalam kekerasan seksual adalah hal-hal yang dianggap banyak orang sebagai candaan atau perilaku yang biasa. Seperti candaan seksis, cat calling, memegang atau meraba bagian tubuh orang lain, dan sebagainya. Perilaku tersebut sering dianggap remeh dan sepele dan kerap dimunculkan dalam balutan diksi yang diperhalus: “pelecehan seksual”.
Di dalam pelatihan dijelaskan bagaimana perilaku-perilaku yang dianggap bukan kekerasan tersebut membentuk struktur budaya kekerasan. Dan dalam relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan di tengah budaya patriarkhi yang timpang, budaya kekerasan tersebut mengukuhkan terjadinya kekerasan-kekerasan seksual yang berulang-ulang tanpa disadari.
Anggapan yang wajar terhadap kekerasan seksual sendiri berjalan bersama dengan normalisasi atau penormalan, pemakluman, terhadap budaya kekerasan. Saat ada kasus kekerasan seksual yang mengundang perhatian publik muncul, seperti kasus kekerasan seksual Bechi di Jombang dan Herry di Bandung, banyak orang menaruh perhatian hanya pada kasus, tidak pada budaya kekerasan yang melingkupinya di tengah masyarakat.
Dampak traumatik akibat kekerasan seksual sendiri tidak bisa diukur dari besar kecilnya anggapan masyarakat terhadap bentuk kekerasan seksual tertentu. Trauma bersifat subjektif sehingga peristiwa tertentu bisa jadi tidak menimbulkan trauma bagi seseorang tapi bagi orang yang berbeda bisa sangat mengguncang. Kekerasan seksual, sekecil apapun bentuknya berdasar anggapan masyarakat, akan berdampak sangat buruk bagi orang yang mengalaminya.
Dari sekian pertemuan dalam pelatihan dan diskusi, baik bersama santri putri maupun santri putra, memperlihatkan gambaran umum masyarakat kita bagaimana kekerasan seksual masih belum dipahami secara baik. Selain membuat standar penanganan kasus kekerasan seksual, pesantren dan masyarakat kita secara umum, memerlukan ruang untuk mendiskusikan dan mengurai benang kusut pemahaman terkait dengan seksualitas dan kekerasan seksual. Dengan itu diharapkan kekerasan seksual bisa dicegah sejak dari hulu.***