Kartini Saja

First slide

21 April 2021

Oleh: Abdul Rosyidi

Kartini, anak yang paling sering mempertanyakan agama Islam kepada ayahnya, Adipati Ario Sosroningrat. Dia mempersoalkan kenapa saat orang mempelajari Islam, dia tidak belajar agamanya tapi hanya menghapal bacaan dan doktrin yang bahasanya tidak dimengerti?

Bahkan satu waktu dia sempat mengeluarkan pernyataan yang sangat nyleneh bahkan untuk ukuran laki-laki pada zamannya.

“Lebih baik dunia tanpa agama karena agama hanya membuat satu sama lain berbeda. Padahal setiap agama mempunyai tujuan yang sama,” kata Kartini.

Kartini begitu gelisah.

Rupa-rupanya, spritualitas Jawa telah “mendidik” Kartini menjadi orang yang mampu mengatasi sisi doktrinal agama yang seringkali mengkotak-kotakkan manusia. Nilai-nilai budaya Nusantara itu ternyata lebih dulu merebut hatinya.

Pada perkembangan selanjutnya, spiritualitasnya itu menemukan “kenyamanan isi” saat dia bertemu dengan gagasan-gagasan humanisme Eropa. Kebarat-baratan inilah yang sering didengung-dengungkan. Dikatakan bahwa Kartini terpengaruh pemikiran Eropa. Dia orang Indonesia yang teracuni budaya Eropa. Bahkan ada yang bilang dia “bentukan” wong londo.

Ah, kita melupakan sisi Jawa dan sisi santrinya. Kedua sisi ini seperti tak ada yang mau mengetahuinya. Humanisme menjadi bagian kecil saja dari ide-ide yang memengaruhi pemikirannya.

Oh iya, satu lagi hobinya jalan-jalan ke pasar becek dan kumuh membukakan matanya pada realitas bangsa kita waktu itu. Di dalam pasar, dia menyaksikan anak-anak bangsa jauh dari narasi-narasi ideal dalam spiritulitas Jawa maupun filsafat Eropa.

Semua itu membentuk Kartini menjadi pribadi hibrid, spiritualitas Jawa sekaligus humanisme Eropa. Dia juga adalah medan tegangan antara pemikiran dan praktik, antara teori dan realitas.

Di dalam jiwa Kartini selalu terjadi pertarungan sengit antara yang yang semestinya terjadi (das solen) dengan kehidupan nyata (das sein). Jadi saya kira mungkin dia adalah filsuf, bukan filsuf menara gading melainkan filsuf sosial.

Puncaknya, dia menjadi filsuf santri yang meyakini ada nilai yang adikodrati yang mengatur dan berada di balik alam raya ini. Dialah Sang Pencipta.

Hanya Sang Pencipta yang agung, yang selainNya hina dan fana. Keagungan Sang Khalik ada dalam kesamarendahan makhluk. Maka, di depan mata-Nya semuanya sama, termasuk manusia.

Semua manusia setara tanpa pandang jenis kelamin, kelas sosial, negara, agama, warna kulit atapun tato-tato identitas lainnya.

Makanya, seperti yang dituliskan Pram, perempuan mulia ini lebih suka menyebut dirinya dengan “Kartini” saja, tanpa embel-embel Raden Ajeng di depan namanya, seperti yang hingga hari ini sering kita sebutkan. []

Share to :