Oleh: Dewi Raudlatul Jannah
Momentum 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, diambil dari tanggal kelahiran Kartini, 21 April 1879, tokoh Perempuan Indonesia yang kontribusi pemikiran dan gerakannya berharga di periode sejarah gerakan Perempuan Indonesia untuk pembebasan.
Patriarki terkejut dengan munculnya suara keberanian dari Perempuan yang lahir dari tanah Jepara itu. Pemikirannya tertuang dalam seluruh tulisannya, mempertanyakan budaya yang diyakini oleh masyarakat jawa namun kontra di hati nuraninya.
Baginya, pendidikan tidak dibatasi dengan jenis kelamin apakah laki-laki atau Perempuan. Pendidikan adalah tentang budi dan jiwa. Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya menyatakan Kartini adalah orang pertama dalam sejarah Indonesia yang menutup zaman feodalisme yang sudah pesakitan.
Mitos Tubuh Perempuan
Tubuh biologis Perempuan dengan konstruk masyarakat padanya (gender) adalah dua hal yang berbeda. Konsep inilah yang oleh masyarakat Indonesia rupanya masih sering dipahami secara keliru. Gender dimaknai sebagai konsep biologis yang diturunkan dari Tuhan. Padahal gender adalah sesuatu yang berubah, dinamis, bergerak, dan berbeda di tiap-tiap zaman. Pemaknaan yang keliru ini membuat Perempuan hidup dalam ketakutan dan penuh rasa berdosa. Dongeng dan mitos pun dibuat para patriark untuk melanggengkan kekuasaannya.
Madeleine Pelletier adalah Perempuan pertama di dunia dengan predikat dokter psikiatri. Ia mendapat gelar pada tahun 1906 dan bergabung dengan partai komunis. Dia lalu bergabung dengan gerakan anarkis karena kekecewaannya terhadap bolshevisme. Medeleine mengutuk setiap perbuatan yang menindas. Tulisan dan pemikirannya yang radikal membuka jalan kesadaran Perempuan.
Dalam catatan Mathilde 2020, Madeleine maju dalam kontestasi pemilihan legislatif meski ia tahu Perempuan tentu saja tidak mungkin bisa dipilih, hingga di kesempatan yang lain ia melemparkan bebatuan ke kaca-kaca.
“Memecahkan kaca dengan batu tentu bukanlah sebuah argumentasi, namun karena laki-laki tuli terhadap kepentingan Perempuan, jadi pecahkan saja kaca-kaca itu.”
Ester Lianawati mencatat dalam tulisannya, “Jadilah cantik dan jangan banyak bicara”. Itu adalah perintah patriarki dari masa ke masa. Seolah menjadi Perempuan pendiam dan tidak banyak bicara adalah sebuah perhiasan yang sangat indah.
Narasi patriarki juga dilanggengkan bahkan diakui oleh para filsuf meski tidak semua. Disampaikan Sidharta Gautama, ditekan oleh Konfusius, dinyatakan Jean-Jacques Rousseau seorang filsuf abad pencerahan, “Perempuan yang sekalipun wajahnya cantik tetaplah tidak dipandang cantik apabila tidak manis tutur katanya. Tidak banyak membantah, jangan terlalu kritis dan tidak agresif.”
Perempuan dibuat sedemikian rupa hingga ia percaya dan yakini bahwa satu-satunya tugas Perempuan adalah untuk memikat.
Mitos kecantikan, mitos keperawanan, mitos tubuh, serupa lingkaran setan yang menjebak Perempuan masuk dalam kegelapan. Tubuh Perempuan bukanlah tubuh yang ditatap, tubuh Perempuan bukanlah tubuh objek seksual, tubuh Perempuan adalah tubuh yang merdeka.
Di daerah Loikaw-Birmania, terkenal dengan Perempuan jerapah di mana leher Perempuan dililit kalung spiral dan perak yang bobotnya delapan kilogram. Tradisi itu ditujukan untuk mempercantik Perempuan dengan pembatasan gerak dan pembatasan suara.
Perempuan dan Perubahan
Tulisan ini akan membawa pembaca pada realitas yang tidak bisa dihindari, bahwa Perempuan menjadi tokoh utama dalam pejalanan perubahan sosial, memiliki karakter berani, cerdas, memiliki strategi, yang dianggap milik laki-laki.
Enheduanna, hidup di Sumeria abad 23 SM. Seorang penulis dan penyair, salah satu karyanya menceritakan kekerasan yang ia alami.
Ada pula Syahrazad yang terkenal dengan dongeng 1001 malam, kepiawannya bercerita berhasil menangguhkan keinginan raja Shahryar untuk membunuhnya. Syahrazad adalah lambang keberanian, kecerdasan, dan kebebasan.
Perlu kita cantumkan Ratu Balqis dalam tulisan ini, Ratu dari Syeba dengan kebaikan dan kebijakannya. Dalam versi cerita yang lain, Raja Sulaiman jatuh cinta dan melamarnya, Ratu balqis menolak karena ia lebih memilih menjadi ratu di kerajannya sendiri dari pada menjadi permaisuri dan harus berbagi dengan 700 isteri dan 300 selir.
Adalah Bertha Pappenheim, Perempuan cerdas yang didiagnosa mengidap histerik mengkonsep terapi dengan bicara, namun Sejarah mencatat Sigmund Freud-lah yang menciptakan teori ini. Freud justeru mengambil konsep ini dari pasiennya, Bertha.
Di Indonesia, banyak tokoh pejuang Perempuan lahir karena kegelisahannya terhadap kondisi sosial dan kondisi Perempuan. Raden Ajeng Kartini ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan Nasional. Lewat korespondensi Kartini memajukan pemikiran Perempuan bumiputra. Ia memimpikan Perempuan di Indonesia tidak hanya melakukan kegiatan domestik namun juga kegiatan publik.
Abad ke-20, sejarah Republik Indonesia memunculkan rasa kesadaran kebangsaan atau nasionalisme. Nasionalisme adalah akibat dari kebijakan politik etis pemerintahan kolonial Belanda. Dalam politik etis, usaha perbaikan Pendidikan melahirkan tokoh kesadaran kebangsaan.
Pendidikan menjadi akar kuat di dalam keluarga Kartini. Sebagai Perempuan cerdas yang berpendidikan, ia mampu melihat bahwa kemerdekaan dan kesetaraan harus bisa dirasakan oleh Perempuan.
Salah satu tulisannya tertuang dalam surat yang dikirimkan kepada Nona Zehandelaar tanggal 23 Agustus 1900, berikut:
“Berkah itu akan menjadi semakin besar jika anak-anak perempuan juga diberi kesempatan mempelajari salah satu kepandaian yag memungkinkannya menempuh jalan hidupnya sendiri. Tentunya apabila setelah mendapatkan pelajaran tersebut ia segera kembali ke dunianya yang dulu. Anak perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan serta pandangannya telah diperluas tidak akan sanggup lagi hidup dalam dunia nenek moyangnya. Dia dimasukkan dalam sangkar setelah dia diajari terbang.”
Kartini dan seluruh pejuang perempuan di Indonesia sudah mewakili suara-suara tubuh Perempuan. Suara-suara yang dulu dibungkam oleh sistem yang biadab yang melanggengkan kekuasaan yang menindas. Hari ini marilah kita merawat pemikiran yang diperjuangkan para tokoh terdahulu. Selamat Hari Kartini untuk seluruh Perempuan yang berjuang!