Oleh: Abdul Rosyidi
Kamasalah lahir dari hasrat seksual yang tak tertahan. Ia tak dikehendaki, muncul dari birahi yang salah tempat, salah waktu, dengan pemaksaan, kekerasan, dan kesewenang-wenangan. Ada sebuah hadits yang berbunyi: Jika seseorang mengajak isterinya berhubungan intim, maka si isteri harus memenuhinya sekalipun sedang berada di punggung unta
Saat mendengar hadits itu, saya ingat Batara Guru yang memaksa berhubungan dengan Dewi Uma, istrinya, di atas punggung Lembu Andini, saat mereka sedang berjalan-jalan sore, saat senjakala. Dewi Uma menolak, tapi hasrat itu kadung tak terbendung. Air mani yang muncrat dari Batara Guru itu nyemplung ke samudera. Saat kedua dewa dewi kembali ke kahyangan, air kehidupan Batara Guru menjadi makhluk berbentuk raksasa sebesar gunung: Kamasalah.
Kelahiran Kamasalah adalah sebuah masalah. Di lautan, dia membuat keonaran, muncul api di mana-mana, binatang-binatang laut mati. Batara Baruna pun melaporkan kejadian tersebut ke Batara Guru. Batara Guru tahu itu ulah Kamasalah, dan dia juga tahu Kamasalah adalah anaknya. Setelah bertemu dengan Batara Guru, Kamasalah diberi nama Batara Kala, Batara yang lahir di saat waktu (kala) yang tidak tepat.
Setelah bertemu dengan ayahnya pun, Batara Kala, tetap membawa masalah. Dia makan anak-anak yang salah kedaden (Sukerta), dan salah laku (Sengkala). Dari sinilah ada ritual ruwat di Jawa, untuk melepaskan anak manusia dari keadaan salah, dari incaran Batara Kala.
Selain melahirkan Kamasalah, peristiwa di atas Lembu Andini, itu membuat Dewi Uma dikutuk suaminya sendiri, menjadi Durga Ra Nini yang berbentuk raksasa menyeramkan. Dalam lakon Sudamala, Durga kembali menjadi wujud dewi saat berhasil diruwat Sadewa.
Hasrat seksual, dari dulu, ternyata selalu menjadi biang masalah. Masalah ini menjadi sulit dihindari karena hasrat seksual adalah sesuatu yang kodrati, bahkan adikodrati. Dalam cerita di atas, dewa paling tinggi sekalipun, Batara Guru, tak mampu menghindarinya. Mitologi kuno ini mengajarkan bahwa yang perlu menjadi perhatian bukanlah pada yang kodrati, yang tak bisa kita upayakan. Akan tetapi pada hal-hal yang bisa kita pahami dan lakukan.
Pertama, hasrat seksual adalah kodrat dan tak bisa dihindarkan. Bahwa hasrat seksual adalah sebuah pemberian, anugerah. Dalam cerita di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita tidak boleh menyalurkannya sembarangan. Perlu dilakukan di waktu dan tempat yang tepat. Kedua, tidak boleh ada pemaksaan dan kekerasan dalam hubungan seksual. Penyaluran birahi perlu dilakukan dengan kesediaan kedua belah pihak. Tidak adanya persetujuan dari orang yang terlibat dalam penyaluran hasrat bisa menimbulkan banyak masalah.
Ketiga, jikapun terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka perlu diadakan ruwat, untuk memahami dan menetralisir pengaruh buruk dari hasrat. Ruwat di sini tidak harus sesuai dengan ritual yang biasa dilakukan, akan tetapi prinsip-prinsip utamanya bisa diambil, dimaknai, dan dilakukan sesuai konteks hari ini. Salah satu prinsip yang penting dalam ruwat adalah bahwa ritual ini adalah upaya kolektif, baik orang yang bersangkutan, keluarga dan lingkungannya, untuk bersama-sama mengurai masalah tersebut. Sebagaimana tidak ada ruwat yang tidak diritualkan, dan tak ada ritual tanpa pertunjukkan yang ditonton banyak orang. []
Ilustrasi: Kepala Kala di Candi Jago.