Oleh: Ahmad Hadid
Hari lahir Pancasila yang dperingati setiap tanggal 1 Juni mengingatkan kita pada peristiwa perdebatan serius para pendiri bangsa (founding parents) dalam merumuskan dasar negara. Selain memaknai peringatan ini dengan mengeja kembali pemikiran-pemikiran tokoh bangsa, ada baiknya kita merefleksikan pemikiran itu dalam konteks dan tantangan kehidupan berbangsa hari ini. Diantaranya bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu bisa membantu kita dalam mengeliminasi kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan pada perempuan.
Bila mengingat Kembali sepintas sejarah Pancasila, kata itu sebenarnya terlontar secara tidak sengaja dari mulut Soekarno. Menurut kesaksian DR. Radjiman Wedyodiningrat dalam buku Pantjasila (1950) karya Ki Hajar Dewantara, saat sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, kata Pancasila keluar secara spontan dan tidak direncanakan dari mulut Bung Karno, seolah-olah ucapan itu adalah ilham yang timbul dari hati sanubari. Kemudian ucapan-ucapan itu diterima sebagai kenyataan yang dibenarkan, diakui dan disahkan secara yakin dan ikhlas oleh peserta sidang yang sedari awal berdebat serius.
Perdebatan melelahkan tentang dasar negara itu memakan banyak waktu dan energi. Cerminan dari kenyataan, harapan, dan cita-cita seluruh rakyat Indonesia pada kondisi dan waktu zaman itu. Rakyat Indonesia sangat ingin membebaskan diri dari penjajahan yang merusak, menindas, dan menyengsarakan. Pancasila sebagaimana yang telah selesai dirumuskan mereka pada akhirnya mempunyai lima prinsip dasar yakni ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan rakyat, dan keadilan.
Prinsip Ketuhanan dimunculkan untuk menegaskan kehidupan religius bangsa Indonesia yang berbeda dengan bangsa penjajah yang materialistis, mengutamakan kehidupan kebendaan dan merendahkan kehidupan batiniyah. Prinsip Kemanusiaan menegaskan keberadaban sutau bangsa dan menjauhkan dari angkara murka. Prinsip Kebangsaan menegaskan penolakan terhadap kolonialisme dan imperialisme yang merajalela di seluruh Indonesia dan dunia. Prinsip Kedaulatan Rakyat menegaskan perlawanan terhadap paham-paham yang selalu menekan hidup dan tumbuhnya rakyat, baik dalam arti politik dan ekonomi maupun kemasyarakatan dan kebudayaan. Terakhir prinsip Keadilan Sosial menegaskan cita-cita yang positif dan kongkret untuk mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan rakyat secara merata.
Ki Hajar Dewantara melakukan pembacaan dan penafsiran terhadap Pancasila dan menyebutnya sebagai wirama-nya dia. Menurut Ki Hajar, Pancasila mempunyai inti pada perikemanusiaan. Baginya kemanusiaan adalah inti sarinya Pancasila. Ia menggambarkan di setiap poin-poin Pancasila dipertegas dengan akhiran perikemanusiaan. Ketuhanaan menurut adab perikemanusiaan. Kebangsaan yang berdasar pada perikemanusiaan. Kedaulatan Rakyat yang mengingati azaz perikemanusiaan. Keadilan sosial sesuai dengan tuntutan adab perikemanusiaan. dan Keluhuran hidup perikemanusiaan, yang menjadi pangkal induk dari semua prinsip.
Menurut Ki Hajar, memahami dan nengamalkan Pancasila dengan wirama perikemanusiaan ini akan mengilhami prinsip-prinsip yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan pada setiap pribadi rakyat Indonesia. Diantara hasil dari penafsiran tersebut adalah sebagai berikut:
- Jangan sampai hidup kebangsaan itu melanggar atau bertentangan dengan syarat-syarat perikemanusiaan. Kebangsaan itu bentuk umum dari Kemanusiaan.
- Jangan sampai hidup kebangsaan menindas hidup pribadi manusia (baik lahir maupun batin) dengan mengingat sila Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial.
- Hendaklah kita semua bersendi pada kesucian seperti terkandung dalam sila Ketuhanan.
Begitulah kiranya sang Guru Bangsa mengajarkan pada kita tentang wirama Pancasila dengan penafsiran perikemanusiaan. Dengan berporos pada wirama kemanusiaan itulah kita bisa lebih mudah untuk menyadari masalah apa yang masih menjadi tantangan dari cita-cita Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa hari ini.
Dalam hemat saya, permasalahan yang cukup serius dan menggerus-gerus kemanusiaan hari ini adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual terlihat begitu sederhana namun dampak yang ditimbulkan bisa sangat fatal, dari trauma fisik, mental, hingga kematian.
Kekerasan seksual sangat menghantui kehidupan masyarakat, terjadi dimana-mana, setiap hari bahkan setiap waktu. Catatan Komnas Perempuan lima tahun terakhir menggambarkan betapa kekerasan seksual terjadi sangat massif dan terjadi di banyak ruang kehidupan masyarakat, bahkan ruang-ruang privat yang dianggap aman sekali pun.
Di fasilitas umum, di rumah, di lembaga pendidikan, di lembaga keagamaan bahkan di tempat ibadah sekali pun terjadi kekerasan seksual. Meskipun Negara dan berbagai organisasi kemasyarakatan telah membuat aturan, melakukan tindakan dan sosialisasi anti kekerasan seksual, namun permasalahan yang kompleks ini masih belum bisa teratasi. Hal ini menggambarkan bahwa kekerasan seksual telah menjadi bencana kemanusiaan.
Masifnya kekerasan seksual yang terjadi di Negeri ini menggambarkan betapa semangat perjuangan dan pembebasan dari segala bentuk kejahatan kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila belum sepenuhnya bisa kita laksanakan.
Kekerasan seksual adalah kejahatan yang tidak berperikemanusiaan. Kekerasan seksual terjadi saat seseorang merasa memiliki kuasa atas orang lain, dan melakukan tindakan-tindakan yang memaksa, menindas, menyerang otoritas tubuh orang lain secara seksual. Hal demikian sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan kehalusan serta merendahkan martabat kemanusiaan.
Nilai-nilai Pancasila dengan wirama perikemanusiaannya haruslah terus tertanam dan terpupuk di setiap hati sanubari rakyat Indonesia. Sehingga dapat menumbuhkan rasa kemanusiaan yang luhur dan halus tanpa kekerasan di setiap sendi-sendi interaksi kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhirnya, momentum hari lahir Pancasila ini semoga menjadi pengingat dan peneguh komitmen kita semua untuk melawan kekerasan seksual. Menciptakan Negeri yang bebas dari kekerasan seksual adalah tanggung jawab kita bersama. []