Oleh: Abdul Rosyidi
Salah satu ciri khas dari seksualitas yang ada dalam tradisi masyarakat Nusantara adalah gana-gini. Gana-gini biasanya dipahami sebagai harta bersama suami-istri, yang digunakan dan diwarisi bersama. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut gana-gini adalah harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri.
Bagi masyarakat di Nusantara, harta keluarga merupakan hasil bersama-sama antara suami dan istri. Hal itu disebabkan karena yang bekerja mencari nafkah adalah keduanya. Ini juga dimungkinkan karena peran perempuan di ramah domestik dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang layak di(per)hitung(kan). Oleh karenanya jika salah satu suami atau istri meninggal dunia, maka harta tinggalannya adalah harta suami-istri yang harus dibagi dua dulu. Separuh harta untuk suami/istri yang masih hidup, sementara sisanya baru kemudian dibagi menurut hukum waris.
Pembagian harta waris dengan cara gana-gini tidak ada dalam teks fiqh (hukum Islam) dan merupakan praksis yang ada secara lokal di Nusantara. Secara tradisi, masyarakat di Nusantara memang berbeda dibandingkan dengan tanah Arab. Di Jawa, laki-laki dan perempuan dianggap sama-sama melakukan pekerjaan demi menegakkan biduk rumah tangga. Hal ini berimplikasi pada pembagian waris yang berbeda dibandingkan dengan di Arab. Hal ini tentu menyimpang dari ketentuan agama tentang waris yang secara tekstual disebutkan secara jelas dan terperinci di dalam kitab suci.
Salah seorang kiai di Cirebon juga pernah memutuskan masalah waris dengan prinsip gana-gini plus prinsip seduluran. Kiai Masduki Ali dari Ciwaringin Cirebon, sebagaimana diceritakan Jamaludin Muhammad pernah mempraktikkan konsep ini. Kiai Masduki pernah diminta membagi harta waris keluarga Asnawi dengan ahli waris seorang istri dan sepuluh anak, tujuh anak laki-laki, tiga perempuan. Kiai Masduki memisah separuh harta sebagai gono-gini dan diserahkan kepada istrinya. Separuh lagi dari harta itu kemudian dibagi secara ilmu waris.
Istrinya lalu mendapatkan bagian lagi yakni 1/8 dari harta waris sementara sisanya untuk anak-anaknya. Anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Sesuai dengan prinsip bagi waris dalam Islam: li al-dzakari mitslu haddi al-untsayain. Akan tetapi setelah itu Kiai Masduki dawuh bahwa seduluran (persaudaraan) lebih berharga dibandingkan dengan harta. Oleh karenanya semua anak, baik laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama.
Dengan demikian, pembagian waris yang dipraktikkan Kiai Masduki sangat berbeda dengan apa yang ada di dalam aturan-aturan tekstual Islam. Beliau sangat mempertimbangkan aspek kultural dan sosiologis masyarakat di tempatnya hidup sehingga prinsip-prinsip tersebut bisa menghasilkan praksis hukum yang berbeda. Dalam hemat penulis, inilah yang sebenar-benarnya Islam, selalu mempertimbangkan konteks.
Kalau kita cermati, seduluran dapat diartikan sebagai hubungan sosial antara saudara dekat maupun saudara jauh, ataupun teman yang sudah dekat dan dianggap sebagai saudara sendiri. Konsep seduluran sangat penting untuk menyangga kehidupan individu dalam ikatan keluarga di banyak suku di Nusantara. Konsep saudara inti yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak di dalam tradisi Cirebon disebut soma yang berasal dari pengucapan berbahasa Jawa somah.
Menurut Hildred Geertz dalam Keluarga Jawa, somah adalah pertalian keluarga yang penting. Masing-masing anggota somah, termasuk anak-anak memiliki hak atas miliknya sendiri. Segala sesuatu yang berada di dalam rumah dibagi kepada para anggota berdasar kebutuhan. Somah juga sistem jaminan sosial di mana orang-orang yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri akan dijamin dalam sistem tersebut.
Posisi Perempuan
Ternyata, gana-gini tidak hanya dipraktikkan di Nusantara, melainkan juga menjadi ciri khas dalam masyarakat di Asia Tenggara. Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin, menyebutkan tradisi tersebut juga berkaitan dengan tradisi lainnya yang menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah ini memiliki tradisi seksualitas yang menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi.
Laki-laki di Asia Tenggara umumnya hidup dan tinggal di rumah keluarga perempuan karena posisi perempuan dan keluarganya yang lebih dihormati dan diakui sebagai pusat kehidupan. Selain itu, pemberian maskawin pada periode tersebut dimaknai sebagai bentuk penghargaan kepada perempuan. Hal ini tidak terlepas pada pandangan masyarakat tentang sakralnya peran reproduktif perempuan.
Adanya maskawin juga sesuai dengan ajaran agama yang datang ke Nusantara, akan tetapi keduanya mempunyai inti dan prinsip yang berbeda. Yang pertama sebagai penghargaan dan penghormatan, sementara yang lainnya mempunyai maksud jual-beli. Maskawin, dalam tradisi baru dianggap sebagai uang tebusan atau uang untuk “membeli” perempuan. Meskipun dalam penafsiran para feminis muslim, Nabi sebenarnya membawa ajaran untuk mengubah tradisi jahiliyah tersebut.
Maskawin di masyarakat Nusantara sebelum abad ke-17 juga bukanlah bentuk dari domestikasi perempuan yang menempatkan perempuan untuk bergerak hanya di ruang domestik: sumur, dapur kasur. Buktinya, telah banyak perempuan yang menempati ruang-ruang di tengah masyarakat sebagai tokoh politik, militer, pengusaha, nahkoda, agamawan, bahkan menjadi seorang ratu.
Hingga hari ini, penerimaan kultural masyarakat di Nusantara terhadap kiprah perempuan di ruang publik, sadar atau tidak, masih terus diakui masyarakat. Praktik hidup sehari-hari membuktikannya. Kita sudah sangat biasa melihat perempuan-perempuan berangkat sendirian di tengah malam ke pasar, dan tanpa mahram. Tak ada protes. Kaum perempuan juga melakukan pekerjaan yang sama di sawah, ladang, dan kebun. Kaum perempuan menjadi pencari nafkah, baik sebagai pencari nafkah tunggal, bersama laki-laki, maupun kepala rumah tangga. Secara praksis, semua itu biasa terjadi di tengah masyarakat.
Kita juga melihat banyak perempuan hebat di negeri ini menjadi pemimpin, dari mulai presiden, menteri, pejabat, anggota parlemen, camat, kepala desa, dan sebagainya. Mereka ada di sekeliling kita. Ini semua adalah bukti bahwa masyarakat masih menggunakan cara pandang lama saat melihat peran perempuan. Masyarakat menerima kepemimpinan mereka dan mengakui kemampuan kaum perempuan.
Semua penjelasan di atas terasa masuk akal karena gana-gini hampir tidak mungkin hidup di tengah masyarakat yang posisi perempuan dan laki-lakinya tidak setara.
Konstruksi Seksualitas
Adanya gana-gini, tingginya posisi perempuan dalam sistem sosial, dan kemandiriannya secara ekonomi juga mempunyai kaitan dengan unsur seksualitas lainnya: hubungan seksual. Dalam urusan seks, ternyata kaum perempuan di Nusantara pada abad ke-15 hingga ke-17, masih memainkan peranan aktif dalam berhubungan seksual. Bahkan disebutkan mereka mempunyai tuntutan kepada pasangannya agar bersikap adil dalam kepuasan seksual maupun emosional.
Menurut Reid, beberapa praktik operasi berbahaya bahkan dilakukan para laki-laki untuk memenuhi kepuasan perempuan secara seksual. Beberapa kelompok masyarakat Suku Iban dan Kayan, di Borneo, masih mempraktikkan pembedahan alat kelamin laki-laki untuk dimasukkan peniti logam yang dilengkapi dengan berbagai roda, taji, dan kancing ke dalamnya. Dalam tradisi lisan mereka merujuk pada sosok perempuan legendaris yang mengatakan bahwa berhubungan seksual tanpa alat tersebut masih kalah nikmat dibandingkan masturbasi.
Ada juga pembedahan yang lebih halus yakni dengan memasukkan bola-bola atau lonceng-lonceng kecil pada kulit lepas di bawah kepala penis. Juru Tulis Cheng Ho, seorang musafir Tiongkok beragama Islam, Ma Huan, mengatakan di Siam pada abad ke-15, jika seorang laki-laki sudah berusia dua puluh tahun, dia akan melakukan pembedahan dan memasukkan butir-butir timah ke dalam kulitnya. Butir-butir itu tampak seperti serumpun anggur. Orang yang kaya mengganti timah-timah itu dengan emas. Bola-bola penis itu juga digunakan di Pegu, Makasar, dan daerah-daerah lainnya. Semua itu dimaksudkan agar perempuan mendapatkan kenikmatan seksual.
Menurut Reid, praktik yang sama sebelum datangnya Islam dan Kolonial, juga sangat mungkin dilakukan di Jawa. Sebab lingga yang berada di Candi Sukuh dan Ceto (abad ke-15), Karanganyar, Jawa Tengah, menunjukkan adanya bola-bola penis sebanyak tiga atau empat buah. Tapi sepertinya pada abad ke-17, praktik seperti itu sudah tidak ditemukan lagi.
Pada periode itu, seksualitas tidak ditabukan atau mungkin tidak dalam posisi yang sedemikian tabu seperti sekarang. Masyarakat pada waktu itu memiliki cara pandang yang berbeda dengan masyarakat sekarang saat melihat seksualitas. Implikasinya, cara masyarakat memandang relasi perempuan dan laki-laki pun berbeda. Perempuan mempunyai posisi yang terhormat di masyarakat, baik dalam kehidupan seksual, sosial, ekonomi, politik, dan agama. Jejak-jejak cara pandang lama itu terekam dalam salah satu tradisi yang hingga hari ini masih ada: gana-gini.
Dari sini kita melihat bahwa relasi perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat selalu berkaitan dalam banyak aspeknya. Masalah relasi ini di ruang sosial dan seksualitas di dalamnya tentu tidak akan terlepas dari aspek agama, politik, hukum, sejarah, bahkan etnisitasnya. Pembacaan yang menyeluruh terhadap masyarakat pun penting untuk mengurai akar sebuah masalah kita di hari ini: diskriminasi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual, KdRT, dan sebagainya.
Terus Berubah
Seksualitas hidup dengan cara orang-orang memaknai diri dan kehidupan. Dengan begitu, seksualitas selalu cair dan berubah dari zaman ke zaman. Seksualitas di Nusantara abad ke-15 hingga ke-17 mungkin menunjukkan catatan yang cukup mengherankan bagi kita yang hidup pada hari ini. Pada zaman setelahnya, pengaruh dari ajaran-ajaran agama semit mulai memengaruhi dan mengubah pandangan masyarakat tentang seksualitas dan turut mengubah pula cara berpikir masyarakat tentang aspek-aspek seksualitas yang lebih luas, politik, hukum, sosial, dan sebagainya.
Tantangan kita hari ini adalah melihat dengan jernih semua pengetahuan, filsafat, dan ideologi yang ada pada masa lalu maupun sekarang, untuk kemudian mengeluarkan visi kemanusiaanya. Visi inilah yang boleh jadi menjadi harapan bagi kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Pada saat masalah-masalah yang berkaitan dengan seksualitas terus menerus terjadi di negeri ini, asa untuk melakukan perubahan tetap ada. Bukankah yang abadi dari hidup ini hanya satu: perubahan! []