Paling Tidak: Game Online, Grooming Sexual, dan Peran Kita

First slide

20 November 2024

Oleh: Napol Riel

Pada era handphone Android seperti sekarang ini, online game semakin mudah diakses. Semua orang lintas generasi bisa dengan bebas bermain-main di dunia digital daring ini. Tak terkecuali anak-anak. Banyak aspek positif dari kemudahan itu tapi sekaligus juga akibat-akibat buruk akan terus ada, termasuk terjadinya grooming sexual. Lewat tulisan ini saya ingin membagi sedikit pengalaman dan refleksi terkait masalah ini.

Kata UNICEF, bermain game memliki dampak positif bagi anak-anak. Aktifitas ini bisa melatih ketangkasan berpikir, keterampilan pengambilan keputusan, juga bisa menjadi ruang untuk mengekspresikan diri dan mengasah sisi kompetitif mereka. Game yang dimainkan secara online memudahkan pemain terhubung secara real-time dengan orang lain dalam permainan itu, atau istilah lainnya mabar (main bareng). Keterhubungan jarak-jauh antar pemain yang dimulai dari mabar yang intens, biasanya terhubung juga di media sosial seperti Facebook, Discord, Instagram, bahkan WhatsApp.

Segala kemudahan selalu hadir sepaket dengan risikonya. Kemudahan orang terhubung melalui online game pun bukan tanpa dampak merugikan, apalagi bagi anak-anak. Pernah suatu hari saya mendengar keponakan saya yang masih SD dimarahi ibunya lantaran diam-diam chattingan dengan orang asing yang dikenalnya melalui online game. Ibunya menemukan di dalam chat mereka ada foto vulgar yang dikirim keponakan saya. Keponakan saya tipikal anak yang senang bercerita dan bertanya apapun kepada ibunya. Tapi entah kenapa untuk hal ini, tidak. 

Menilik masa remaja saya dulu, di awal 2000an, online game belum seramai sekarang. Akses ke internet pun masih terbatas dan mahal. Saya mesti mencari warnet (warung internet) yang spesifikasi komputernya kompatibel untuk bisa bermain online game. Meski tinggal di perkotaan, warnet khusus online gaming jumlahnya tak banyak. 

Saat sudah menemukannya pun, sering kali saya akhirnya merasa malu dan canggung untuk masuk ke warnet itu. Tampak luarnya terlihat seperti bukan tempat yang cocok untuk saya. Dan benar lah, setelah saya masuk, terlihat yang bermain di sana sepertinya adalah anak-anak orang kaya. Mereka fokus bermain Ragnarok Online dengan telinga tertutup headset dalam ruangan ber-AC. 

Video game yang paling mudah diakses bagi saya saat itu adalah game PlayStation1. Saya bisa ikut bermain di rumah tetangga atau main berbayar di rental PS terdekat. Selain menghibur, video game membuat saya belajar banyak hal terutama bahasa Inggris. Kala itu tidak banyak game PS1 yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia.

Anak-anak dengan orangtua yang menemani pertumbuhan mereka di rumah mungkin cukup beruntung, paling tidak, seperti keponakan saya yang setelah kecolongan itu ia kemudian diberi pengenalan literasi digital dan bahaya grooming.

Grooming seksual daring

Di media, banyak sekali berita kasus seperti yang dialami keponakan saya. Jelaslah bahwa online game menjadi gerbang terbuka lebar bagi pelaku kejahatan yang menarget anak-anak. Modus paling banyak dilakukan adalah melalui grooming seksual (sexual-grooming). 

Grooming seksual adalah pengkondisian yang dilakukan pelaku untuk mempersiapkan anak dan lingkungannya untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak tersebut. Grooming bisa dilakukan secara online maupun interaksi langsung. Online grooming pada anak bervariasi, dan pelaku menggunakan berbagai teknik manipulasi seperti tipu daya, kontak rutin/intens, seksualisasi, kebaikan dan sanjungan, dan lain-lain.

Seksualisasi yaitu proses di mana seksualitas anak (termasuk perasaan seksual, sensualitas, dan sikap seksual) “dibentuk” dengan cara yang tidak sesuai dengan perkembangannya. Praktik seksualisasi identik dengan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering dianggap sepele, seperti cat-calling, obrolan seksis, bercanda seksis, dan memberikan pemahaman yang keliru tentang sensualitas maupun seksualitas anak. Praktik-praktik seksualisasi ini memupuk tindakan kekerasan seksual dan dampak yang lebih parah terjadi.

Seperti diberitakan BBC kemarin (18/11), sepasang orangtua mengisahkan bahwa di tahun 2023, anak mereka (remaja laki-laki usia 16 tahun) mengakhiri hidupnya sendiri setelah mengalami sextortion. Sextortion merupakan bentuk eksploitasi seksual dengan cara pemerasan atau pemaksaan. Komplotan kriminal dari Afrika Barat menipu korban (yang berada di Inggris) dengan berpura-pura sebagai seorang gadis.

Dalam kejahatan sextortion, setelah pengkondisian terbangun, para korban biasanya dijebak dengan dikirimi foto/video vulgar oleh pelaku sebelum diminta untuk mengirimkan foto/video mereka sendiri sebagai balasan. Korban kemudian diancam bahwa foto/video tersebut akan disebarkan kepada keluarga dan teman kecuali jika mau menuruti tuntutan pelaku; tekanan tersebut diyakini menyebabkan anak laki-laki itu bunuh diri.

Lantas, apa yang paling mungkin diupayakan orang dewasa untuk menjaga anak-anak dari kejahatan seksual online? Mungkin, bisa dimulai dengan memberi penjelasan sederhana tentang pentingnya menjaga data pribadi di media sosial. Juga mengenalkan modus-modus kejahatan di dunia digital. 

Kakak saya menerapkan batas waktu bermain gadget (screen-time) kepada anaknya. Sesekali dia pun ikut bermain bersama, atau sekadar memberi pertanyaan-pertanyaan ringan terkait keseruan anaknya di online game untuk membangun kembali komunikasi dan kepercayaan.

Namun, bagaimana dengan anak tanpa orangtua atau pengasuh yang membersamai mereka di rumah? Atau anak-anak dengan orangtua yang sulit mengakses informasi? Beberapa sekolah mungkin sudah ada yang mulai memberikan pendidikan literasi digital kepada anak-anak, mendorong kreativitas mereka untuk memanfaatkan dan menggunakan media digital dengan bijak. Tapi setelah itu, di luar jam sekolah, apakah menjamin mereka terhindar dari kejahatan daring? 

Hidup sebagai orang dewasa, sering kali saya lupa, bahwa mungkin ada banyak anak-anak di sekitar saya menunggu diajak bicara. Menyadari kerentanan anak sebagai manusia kecil yang belum banyak mencecap pengalaman dan proses berpikir, saya mengingat kembali diri saya saat kecil. Mungkin dunia anak-anak saya jadi lebih bermakna jika paling tidak, ada pendengar dewasa tentang petualangan-petualangan saya di luar rumah. Saya pikir, anak-anak sekarang pun sama. Atau mereka malah lebih merindukan itu? Mengingat aktivitas sehari-hari sekarang pun serba online.

Kesadaran ini menggerakkan saya untuk berusaha membuka diri kepada anak-anak paling dekat; keponakan-keponakan saya. Bukan sebagai “orang dewasa”, tapi sebagai teman bicara saja. Paling tidak, itu dulu. []

Share to :