Foto Keluarga, Teknologi, dan Perilaku yang Stagnan

First slide

15 Juli 2024

Oleh: Kurnia Ngayuga Wibowo

Jika berkunjung ke ruang tamu, kita akan menjumpai foto keluarga pemilik rumah tersebut. Ada yang menampilkan lengkap beserta keluarga besarnya, ada yang hanya menampilkan keluarga intinya saja, terdiri ayah, ibu dan anak-anaknya, atau ada juga yang menampilkan foto keluarga secara terpisah dalam beberapa bingkai.

Peran foto keluarga yang terpajang di ruang tamu tak hanya menghiasi dinding dari kehampaannya saja, tetapi juga memiliki makna simbolis, sebagai bentuk kehadiran setiap anggota keluarga tanpa perlu menghadirkan diri mereka secara langsung, hingga yang paling utama adalah penanda status sosial tentang siapa dan apa anggota keluarga itu ingin dikenali.

Kita tentu tidak akan menjumpai foto keluarga dalam kondisi menggunakan pakaian tidur. Melainkan dalam kondisinya yang tertata rapi, baik dari segi komposisi masing-masing anggota keluarganya di dalam bingkai foto, maupun dari pakaian yang digunakan adalah yang ditentukan sebagai pembentuk identitas diri masing-masing anggota keluarganya.

Seperti halnya salah satu foto keluarga yang ada di rumah saya. Waktu itu kami sekeluarga sedang melaksanakan mudik dan liburan ke kampung halaman di Yogyakarta, sekitar tahun 2005. Atas salah satu ide dari anggota keluarga, kami memutuskan untuk melakukan foto keluarga di salah satu studio foto di Jogja. Prosesi foto itu diabadikan dengan menggunakan pakaian adat jawa yang mungkin sebagai penegas identitas, bahwa kami berasal dari sana.

Atau ketika saya mengunjungi salah satu saudara yang bapak dan ketiga anaknya berprofesi sebagai tentara. Di dalam foto keluarganya mereka semua menggunakan seragam tugas masing-masing.

Pengabadian anggota keluarga dalam bentuk potret ini tentu saja memiliki sejarahnya yang panjang. Dahulu sebelum fotografi ditemukan atau belum sepopuler seperti sekarang keluarga kerajaan mengabadikan diri mereka menggunakan lukisan. Kemudian sekitar abad ke 19 foto keluarga pertama kali tercatat dalam sejarah dilakukan oleh Ratu Victoria dan Pangeran Albert berpose dengan anak-anak mereka. Mengenakan pakaian kerajaan, lengkap dengan benda-benda yang mungkin hendak menunjukkan status sosial mereka, seperti patung, dan buku (mungkin bible?).

Momen itu juga yang nantinya memunculkan beberapa studio foto yang tersebar ke berbagai penjuru dunia, bahkan ke Hindia Belanda. Sementara itu menurut Groeneveld studio foto di Yogyakarta sudah ada satu dekade sebelum masa kemerderkaan dan dimiliki oleh pengusaha Cina dan Jepang (Irwandi, et al, 2015). Walaupun pada era itu studio foto hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu, seperti keluarga kerajaan, tuan tanah, ataupun pebisnis.

Dahulu bahkan, foto keluarga juga tidak hanya terdiri dari mereka yang masih hidup, tetapi ada juga yang menampilkan mereka yang sudah berpulang. Hal itu biasanya dilakukan ketika salah satu anggota kerabatnya baru saja meninggal dunia. Anggota keluarganya meminta jasa fotografer untuk mengabadikan momen perjumpaan terakhir mereka agar menjadi abadi.

Jenazah biasanya diperlakukan secara khusus, seperti menopang bagian belakang tubuh mereka dengan kayu agar bisa berdiri, atau menempatkannya pada kursi agar mereka tampak dalam kondisi hidup.

Karena teknologi kamera belum secanggih seperti sekarang, sehingga untuk menghasilkan satu foto diperlukan waktu beberapa menit dalam hal pengambilan gambar atau ketika rana ditekan (long exposure). Subjek foto, yakni anggota keluarga akan diminta untuk mematung selama waktu pemotretan. Oleh karena itu hasil fotonya seringkali tidak terlalu tajam karena subjek fotonya akan bergerak walaupun sedikit, sedangkan jenazah yang difoto bersama mereka cenderung lebih tajam.

Pasca proses pemotretan biasanya hasil foto tersebut akan ditambahkan beberapa sentuhan, salah satunya adalah montase foto dengan cara menempelkan negatif foto mata yang lain, ataupun hasil fotonya akan dilukis ulang pada bagian mata. Sehingga anggota keluarga yang sudah meninggal dunia itu seolah tampak hidup dengan mata terbuka.

Kehadiran film 35 mm di pasaran, memunculkan kecenderungan baru, yakni banyak keluarga dari kalangan menengah yang mampu memproduksinya, termasuk di Indonesia. Berbekal kamera saku yang harganya tidak semahal kamera profesional SLR dan cara kerjanya yang lebih mudah, foto keluarga semakin banyak diproduksi, terutama dalam acara-acara penting.

Jika kita menilik arsip foto keluarga pada tahun 90an, ataupun menjumpainya dalam pasar loak. Kita bisa melihat sederetan peristiwa yang biasanya terdokumentasikan, seperti acara pernikahan, khitanan, lebaran, liburan, kelahiran, kelulusan, bahkan saya sempat menjumpai foto prosesi kematian.

Keseluruhan peristiwa itu merupakan momen yang dianggap penting, atau momen yang dirayakan, jarang kita temui momen keseharian, atau istilahnya vernakular. Karena mungkin ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk memproduksinya, seperti membeli film, mencuci, dan mencetaknya. Ada berbagai pertimbangan yang hadir sebelum shutter kemudian ditekan, flash menyala dan menghasilkan foto pada lembaran seluloid dalam kamera.

Dalam arsip yang saya temui di keluarga saya sendiri juga demikian. Sejauh yang saya ingat, saya hanya menemui foto kelahiran, foto ketika saya balita, pernikahan orang tua, kelulusan bapak dari universitas, suasana lebaran dan foto-foto selama kami pergi liburan. Foto-foto remeh seperti suasana dapur, area kamar mandi, ataupun aktivitas keseharian lainnya, jarang sekali direkam.

Ketika kamera digital pertama kali diperkenalkan, terdapat bentuk penyesuaian dalam menggunakannya. Kita tidak lagi dibatasi oleh jumlah roll film yang hanya berjumlah tiga puluh enam, tetapi memiliki jumlah yang lebih banyak menyesuaikan dengan kapasitas memorinya. Dan pertimbangan untuk memotret nampaknya perlahan mulai bergeser.

Saya ingat betul ketika Ibu membeli kamera digital merk Kodak ketika saya masih SMP. Saat itu Ibu masih memperlakukan kamera dengan cara yang sama ketika ia memotret menggunakan film, seperti hanya memotret momen penting dan perayaan, hanya saja dengan kapasitas penampung foto yang lebih besar. Sehingga untuk satu momen ia bisa memotretnya beberapa kali, untuk mendapatkan hasil terbaiknya. Sementara saya pun bisa meminjam kamera tersebut untuk sesuatu yang lebih eksploratif, seperti memotret keseharian di rumah karena hasil fotonya akan dengan mudah untuk dihapus.

Perubahan perilaku secara signifikan baru muncul ketika kamera mulai menyatu dengan ponsel, terutama pada era ponsel pintar. Kamera dan fotografi seolah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian kita. Kita menggunakan foto sebagai sarana untuk berkomunikasi dan bukan lagi perihal membekukan peristiwa tertentu.

Apa yang kita lakukan dalam pesan daring melalui aplikasi whatsapp misalnya. Maupun rangkaian foto dan bahkan video yang kita unggah setiap harinya melalui instagram stories dan akan lenyap dalam waktu 24 jam.

Joan Fontcuberta dalam salah satu esainya di buku Pandora’s Camera (2014) menjelaskan bahwa posisi fotografi hari ini bukan lagi tentang merekam peristiwa, tetapi lebih menunjukan eksistensi diri kita sendiri ke hadapan publik. Semakin banyak kita memproduksi sebuah foto, maka semakin nyata bahwa “And their photos are conceived not as ‘documents’ but as ‘amusements’, as vital outbursts of self-affirmation”.

Alih-alih menghasilkan suatu nilai tertentu melalui kedekatan yang intens. Kedekatan kita dengan aktivitas fotografi tanpa disadari mereduksi nilai dari setiap peristiwa yang kita rekam. Setiap foto yang dihasilkan tidak lagi memiliki makna tertentu, karena kemudahan kita untuk menghasilkan suatu foto dan menghapusnya dalam waktu yang bersamaan.

Dalam hal ini, walaupun aksesibilitas terhadap fotografi semakin mudah dan murah, ternyata dalam kenyataannya kita tetap membutuhkan peran institusi untuk menentukan mana foto yang memiliki kesan dan mana yang tidak. Terutama dalam hal ini adalah foto keluarga.

Sebagai contoh, ketika salah satu anggota keluarga wisuda. Kita akan beranggapan bahwa ada sesuatu yang kurang jika hanya memotretnya menggunakan handphone pribadi, atau jika memiliki kamera professional sekalipun. Kita merasa memerlukan institusi untuk membentuk suasana wisuda semakin terasa.

Seperti halnya adalah meminta jasa foto wisuda dengan latar belakang lukisan rak buku yang biasa dijumpai di pelataran kampus, lengkap dengan cetak kilat digital mereka, ataupun studio foto profesional yang sudah kita pesan jauh-jauh hari sebelum acara wisuda itu berlangsung.

Atau ketika momen lebaran, kita mungkin berfoto dengan anggota keluarga setelah Shalat Ied dan bermaaf-maafan, tetapi foto itu mungkin sebatas berlabuh di unggahan sosial media masing-masing. Sementara yang dicetak dalam ukuran yang pantas lengkap dengan bingkai untuk dipajang pada dinding ruang tamu kita adalah foto tertentu dan biasanya dilakukan di studio foto oleh profesional. Bahkan kejadian itu tidak dilakukan setiap tahun, foto keluarga yang ada dalam ruang tamu adalah foto yang sama dengan lebaran lima atau sepuluh tahun lalu.

Hal ini menandakan bahwa perkembangan teknologi fotografi mungkin akan menyentuh beberapa hal dengan pengecualian tertentu. Kita mungkin semakin akrab dengan foto, menggunakannya dalam keseharian, bahkan memproduksinya sebanyak mungkin tanpa kita sadari. Namun ada pengecualian dalam foto keluarga, karena dengan beragam kemudahan dan kecepatan proses tadi ternyata mereduksi nilai dari foto itu sendiri, sehingga kita merasa perlu institusi lain untuk menambatkan nilai yang lebih besar pada foto yang dihasilkan agar pantas berada pada dinding ruang tamu.

Pada akhirnya, teknologi fotografi telah mengubah bagaimana manusia berinteraksi dengan foto dalam keseharian mereka, tetapi dalam kasus tertentu seperti foto keluarga hal ini tidak terjadi. Kita masih menggunakan cara konvensional untuk memproduksi foto keluarga yang kita anggap pantas untuk menghiasi dinding ruang tamu. ***

Caption: Ratu Victoria dan Keluarga (1890-an) oleh John Jabez Edwin Mayall, akses dari https://www.iphotography.com/blog/the-history-of-royal-family-portrait-photographs/

Share to :