Oleh: Dewi Raudlatul Jannah
Kasus pembunuhan terhadap perempuan terus terjadi di banyak daerah. Pelakunya beragam, tapi yang mengherankan kebanyakan mereka adalah orang terdekat: pacar, suami, saudara, atau bahkan orangtua.
Di satu sisi, kabar-kabar itu memberikan informasi tentang peristiwa yang sedang terjadi, akan tetapi berita kekerasan dan kematian di media juga saya rasa menimbulkan efek traumatis. Muncul kegelisahan dan kekhawatiran yang tidak bisa dikesampingkan. Saya sebagai perempuan, dan mungkin banyak perempuan di luar sana, merasa tidak aman, tidak hanya saat berada di ruang publik tetapi juga (lebih-lebih) di ruang domestik.
Belum lama publik dikejutkan dengan kasus pembunuhan dan pemerkosaan seorang gadis penjual gorengan di Padang Pariaman, Sumatera Barat. Pelakunya bukan orang jauh, tetangganya sendiri.
Kasus serupa dialami seorang perempuan berusia lima tahun dengan wajah yang tertutup dengan lakban di Pantai Cihara, Lebak, Banten. Pelakunya ada lima orang dan semuanya dikabarkan sudah ditangkap.
Tak habis di situ, pembunuhan dan pemerkosaan perempuan (13 tahun) juga terjadi di Palembang. Pelakunya empat orang yang merupakan temannya sendiri. Menurut berita di Kompas.com, para pelaku merasa bangga dan menceritakan perbuatannya kepada orang lain.
Kabar lainnya, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Singkawang dari partai PKS menjadi tersangka kasus pemerkosa anak usia 13 tahun.
Kenapa kekerasan-kekerasan itu menargetkan perempuan? Kenapa dari hari ke hari makin banyak saja femisida terjadi? Seorang peneliti asal Amerika, Diana H Russell mengatakan peristiwa femisida adalah pembunuhan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena ia adalah perempuan.
Komnas Perempuan sendiri menyebut femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender yang dimotivasi rasa cemburu, penaklukan, relasi kuasa, dan kepuasan sadistik terhadap perempuan.
Menurut Komnas, femisida adalah kekerasan ekstrem kepada perempuan dan anak. Data menyebutkan tahun 2020 terdapat 95 kasus femisida. Tahun 2021 meningkat 237 kasus. 2022 naik menjadi 307 kasus. Sedangkan pada 2023 tercatat 159 kasus. Kasus kekerasan dan femisida seperti gunung es yang muncul dipermukaan lebih sedikit dari yang terkubur di dalam, artinya ada banyak kasus yang tidak tercatat dan tidak terungkap.
Semakin banyaknya kasus pembunuhan terhadap perempuan memunculkan banyak respon, termasuk di antaranya mereka yang menyebut diri sebagai feminis. Mereka menelusuri akar dari kekerasan tersebut dan menyebutkan berbagai penyebab, utamanya adalah budaya patriarki.
Dalam masyarakat patriarkal, semua kekerasan semata-mata terjadi karena kesalahan perempuan. Saat perempuan mendapatkan kekerasan, bahkan pembunuhan, maka masyarakat patriarkal akan dengan mudahnya mencari alasan untuk menyalahkan perempuan. Misalnya bahwa kekerasan itu disebabkan pakaian yang dikenakan perempuan, tubuh dan penampilan yang menggoda, atau perkataan yang menggairahkan.
Dari sini jelas bahwa kekerasan tidak terjadi di ruang hampa, melainkan berada pada ruang kebudayaan yang menempatkan perempuan pada posisi yang sedemikian rendah. Perendahan perempuan itu membuat feminis menekankan pengarusutamaan gender. Secara praksis, hal itu bisa dilakukan dengan melibatkan perempuan secara aktif dalam berbagai ruang publik dan aspek sosial.
Perspektif Islam
Lalu bagaimana Islam memandang hal ini? Penciptaan laki-laki dan perempuan secara setara oleh Allah SWT adalah dasar dari pemenuhan hak-hak manusia, hak fundamental yang melekat. Hak akan hidup, hak mendapatkan keamanan, hak pendidikan, hak kesehatan, dan lainnya. Tentunya hak itu diberikan bukan atas jenis kelamin tertentu, namun haruslah menyeluruh untuk keterpenuhan kebutuhannya sebagai manusia perempuan dan laki-laki.
Akan tetapi dalam realitanya, pemenuhan hak ini tidak bisa berjalan dengan setara, lingkungan sosial melihat satu jenis kelamin tertentu sebagai superior dan jenis kelamin lainnya sebagai inferior. Relasi kuasa yang berkembang, mengakar, dan menjalar menimbulkan kesenjangan dan penguasaan terhadap yang lemah. Perempuan masih menjadi korban dari relasi ini.
Seorang kyai feminis Cirebon KH Husein Muhammad menjelaskan: “Banyak orang beranggapan bahwa penindasan terhadap perempuan adalah masalah kecil yang tidak harus diperdebatan, padahal penindasan pada perempuan adalah masalah besar, sebab perempuan adalah bagian dari manusia dan bagian dari jenis manusia, dengan adanya subordinasi dan ketidakadilan bagi perempuan berarti ini adalah masalah besar bagi kemanusiaan”.
Pernyataan Buya Husein menunjukkan bahwa masyarakat belum melihat pentingnya isu ini bagi kemanusiaan. Realitasnya masyarakat patriarki kita terus menerus melahirkan berbagai pikiran misoginis yang menimbulkan kekerasan, marjinalisasi, subordinasi, stereotip, beban ganda, dan lainnya.
Bagi saya sendiri, hidup sebagai perempuan pada akhirnya selalu memunculkan pertanyaan kemanusiaan paling mendasar: bagaimana perempuan mencari kebahagiaan? Bagaimana perempuan ingin menjadi dirinya sendiri, apabila lingkungan yang ditinggali begitu menyeramkan? Di mana perempuan bisa mencari kehidupan yang aman tanpa kekerasan dan tanpa pembunuhan?
Bagaimana perempuan menjadi subjek untuk dirinya sendiri, bergerak aktif dalam ruang publik penuh dukungan, lingkungan yang membangun, relasi yang sehat, dan kehidupan yang saling mengasihi?
Apabila melihat kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow, maka dalam diri setiap manusia ada piramida kebutuhan. Mulai dari kebutuhan fisiologis sebagai dasar, kebutuhan akan rasa rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaaan, dan kebutuhan yang paling puncak adalah kebutuhan aktualisasi diri. Lalu, di tengah pengawasan patriarki, di tengah semakin banyaknya femisida dan semakin suburnya kebencian, sebagai perempuan saya bertanya: bagaimana semua kebahagiaan itu bisa digapai? []