Oleh: Khawakibb ***
Sering sekali kita mendengar peristiwa kekerasan dan yang menjadi korbannya adalah perempuan. Perempuan seolah menjadi sasaran empuk para pelaku kekerasan. Ini tidak lepas dari konstruksi pengetahuan kita yang telah mengakar ratusan tahun lamanya, bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan tidak berdaya.
Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan berawal dari cara pandang yang keliru terhadap mereka. Perempuan masih dianggap remeh, dicap rendah, dan seolah “pantas” mendapat perlakuan yang tidak pantas. Asumsi-asumsi yang tidak berdasar tersebut terus dibiarkan sehingga muncul kebencian demi kebencian yang dilumrahkan. Kebencian itu pun kerap berujung pada kekerasan-kekerasan yang dinormalisasikan.
Contoh dari kekerasan itu kerap saya lihat di tengah relasi antara perempuan dan laki-laki. Saat berpacaran, banyak remaja perempuan kita mendapat kekerasan dari pasangannya karena laki-laki yang cemburu buta. Dan baru-baru ini sepertinya semakin banyak saja kasus kekerasan yang dialami perempuan berseliweran di media sosial. Berbagai macam kasus mulai dari menimpa anak-anak hingga orang dewasa.
Dari semua berita itu, yang lebih menyita perhatian publik adalah kasus kekerasan terhadap perempuan yang berujung kematian. Seperti kasus kematian seorang ibu muda di Bekasi. Dia sempat mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan melaporkan kekerasan itu ke pihak kepolisian. Laporan itu tidak ditindaklanjuti dan berakhir “didamaikan”. Setelah itu, kekerasan terjadi lagi dan kali ini perempuan yang mengalami kekerasan itu meninggal dunia di tangan suaminya sendiri.
Kasus lainnya, seorang anak laki-laki usia SMP tega membunuh teman perempuannya dari sekolah yang sama hanya gara-gara sakit hati ditolak cinta. Dan yang terbaru, kasus serupa terjadi pada perempuan yang dianiaya kekasihnya sendiri di Jawa Timur. Kasus ini mendapat sorotan publik karena pelaku adalah anak seorang anggota DPR RI. Tindakan pelaku juga terbilang sangat sadis, dari menendang, memukul kepala dengan botol miras, menelindasnya dengan mobil, hingga akhirnya si perempuan meninggal dunia.
Kasus-kasus pembunuhan seperti itu sangat khas, dalam arti mempunyai perbedaan dengan kasus pembunuhan pada umumnya. Jenis pembunuhan itu kemudian disebut berbagai media dan aktivis perempuan sebagai “femisida”. Saya sendiri masih asing dengan istilah “femisida” sehingga mencari tahu makna kata ini berharap mendapat penjelasan kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Saya baca berbagai artikel dan jurnal. Dari sana barulah saya bisa sedikit memahami apa itu femisida.
Seperti yang disebutkan Komnas Perempuan, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga seseorang boleh berbuat sesuka hatinya.
Tentunya banyak kasus yang menyebabkan kematian seorang perempuan. Akan tetapi dalam femisida, kematian perempuan lebih disebabkan karena adanya unsur-unsur ketimpangan relasi atau diskriminasi gender. Penyebab terbunuhnya perempuan karena ada praktik-praktik patriarki di dalamnya. Jadi, femisida tidak sama dibanding dengan pembunuhan biasa.
Karena femisida berawal dari diskriminasi dan ketimpangan relasi, maka memperkenalkan relasi gender, ketimpangan, dan pentingnya berelasi dengan baik sangat diperlukan anak-anak dan remaja kita sedari dini.
Relasi apapun yang terjalin di antara manusia sudah pasti memiliki dua posisi, yang dominan dan yang rentan. Dalam budaya patriarki yang menempatkan laki-laki di puncak relasi, perempuan memiliki kerentanan dan potensi untuk mengalami diskriminasi serta kekerasan.
Ditinjau dari posisi perempuan yang demikian rendah dalam relasinya itu, kemungkinan perempuan mengalami femisida sangat besar. Apalagi jika perempuan yang “dilemahkan” struktur itu berada dalam kebudayaan yang menempatkannya sebagai “barang” yang bisa dimiliki laki-laki dengan cara menikahinya. Atau jika belum berpasangan, dianggap sebagai “barang” yang dimiliki keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Selain karena faktor-faktor itu, dari pengamatan yang saya lakukan terhadap kasus-kasus femisida, pembunuhan juga terjadi karena abainya aparat keamanan dan negara yang harusnya memberikan perlindungan bagi yang lemah. Dalam kasus ibu muda di Bekasi terlihat bagaimana pihak kepolisian lengah dan menganggap kasus kekerasan terhadap perempuan dianggap sedemikian biasa.
Selain itu karena kekerasan di dalam rumah tangga dianggap masalah privat atau urusan keluarga, membuat banyak orang diam saja. Diamnya banyak orang inilah yang membuat perempuan yang mengalami kekerasan tidak mudah untuk bicara tentang kekerasan yang menimpa dirinya.
Perempuan juga dibuat sedemikian bergantung kepada laki-laki. Perempuan yang karena desakan-desakan kulturalnya, tidak mudah untuk memutuskan hubungannya dengan pasangan laki-lakinya, sekalipun relasi itu membawanya pada lingkaran kekerasan demi kekerasan. Tidak mudah bagi remaja perempuan keluar dari relasi toxic.
Banyak juga diantara perempuan yang sudah menikah “terpaksa” memilih bertahan dalam relasi beracun karena alasan masih sayang atau tak tega dengan anak. Atau karena memikirkan nama baik keluarga. Ibarat dalam pribahasa “air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam”. Berpisah dengan suami akan memunculkan penderitaan baru berupa stigma dan komentar miring. Tapi jika bertahan pun tetap tersakiti.
Oleh karena femisida berawal dari kekerasan-kekerasan kecil yang terus dinoramlisasi, sudah saatnya kita lebih peka terhadap kondisi sekitar. Tindak kekerasan dalam rumah tangga atau di dalam pacaran bukan merupakan ranah privat antara pelaku dan korban. Kita sebagai tetangga, teman, atau orang terdekat perlu mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk mencegah kekerasan itu terus berulang dan menghindari terjadinya peristiwa yang lebih membahayakan.
Kerentanan di dalam relasi itu juga seharusnya membuat pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat secara umum, lebih memperhatikan kondisi perempuan. Semua warga negara, terutama perempuan, harusnya mendapatkan jaminan rasa aman dan keselamatan jiwanya.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama jika adanya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi secercah harapan agar tidak terjadi lagi kekerasan terhadap perempuan. Tapi Pemerintah juga harus lebih gencar melakuan edukasi kepada masyarakat agar tidak ada lagi ketidakadilan gender, ketimpangan relasi, dan diskriminasi terhadap perempuan. Dengan begitu, potensi terkecil kebencian kepada perempuan yang memicu femisida bisa diminalisir. []
*** Penulis adalah peserta Sekolah Sudhamala Angkatan ke-2 yang diselenggarakan Umah Ramah pada tahun 2023.